Membaca Sunnah Rekaan Para Islamis

Dunia IslamMembaca Sunnah Rekaan Para Islamis

Dari idealitas ajaran Islam yang luhur, muncul realitas dari kalangan sempalan Muslim yang menafsirkan Islam secara politis. Mereka menyandang nama sebagai Islamis, yakni para pengusung ideologi Islamisme. Islamisme adalah ideologi politik bersampul agama, sama sekali bukan agenda spiritual. Para Islamis ini tampil dalam berbagai macam identitas kelompok dan gagasan partikularnya, namun mereka dipertemukan dalam satu komitmen bersama untuk menciptakan kembali dunia dalam sebuah tatanan politik yang digadang-gadang berbasis syariat. Meminjam kerangka pandang Bassam Tibi, kehendak menciptakan ‘negara Islam’ itu merupakan tradisi yang dibuat-buat atau suatu sunnah rekaan belaka.

Tibi mengakomodir istilah “tradisi yang diciptakan” (invented tradition) dari Eric Hobsbawm seorang sejarawan Inggris. Secara sederhana invented tradition adalah suatu praktik budaya yang disajikan atau dianggap tradisonal, yang muncul dari orang-orang yang dimulai di masa lalu, namun sebenarnya relatif baru dan sering bahkan secara sadar diciptakan oleh aktor sejarah yang dapat diidentifikasi. Hobsbawm menuturkan, bahwa banyak “tradisi” yang nampak atau mengaku-ngaku tua sering kali adalah sesuatu yang asalnya cukup baru dan kadang-kadang sesuatu yang ditemukan.

Temuan utama kelompok Islamis akan tradisi Islam adalah pemaknaan baru atas Islam yang direduksi menjadi kesatuan antara agama dan tatanan negara (din wa daulah). Pembicaraan mengenai temuan baru di sini memperlihatkan bahwa apa yang mereka gagas tidak dikenal dalam tradisi dan ajaran Islam. Din wa daulah menjadi kredo yang tak bisa ditawar dalam ideologi Islamis. Mereka nyaris menempatkan kesatuan agama dan negara pada titik pijak yang sama dengan syahadat sebagai indikator mengenai seberapa beriman seseorang.

Selain tak diakomodir ajaran Islam, kredo tersebut juga jauh dari pembacaan logis atas sejarah. Kelompok Islamis selalu mengklaim diri sebagai gerakan yang akan membangkitkan Islam dari krisisnya selama ini akibat ekspansi pengaruh Barat dan modernisasinya. Bassam Tibi dalam karyanya Islam dan Islamisme, menegaskan bahwa Islamisme tidaklah mengabarkan suatu kebangkitan Islam, namun mereka justru menyusun kembali Islam di luar warisan sejarahnya. Islamisme dapat dikategorikan menjadi dua jenis berdasar cara kerja mereka, yaitu Islamis institusional dan Islamis jihadis. Sekalipun berbeda cara yang digunakan, tujuan mereka tetap satu.

Baca Juga  Tiga Karomah Syekh Abdul Qadir al-Jailani

Rekaan lainnya atas sunnah ialah definisi kalangan Islamis atas ummah. Ummah diartikan sebagai kewarganegaraan yang semestinya ada dalam tatanan baru Islam (nizham Islami). Mereka menggambarkan ummah sebagai entitas politik. Sejarah Islam awal memperlihatkan sebaliknya. Ummah merupakan suatu wahana untuk mentransendensikan segala batasan politik demi kesatuan. W.M. Watt sebagaimana dikutip Tibi, menggambarkan ummah Islam klasik sebagai “super-kabilah” yang mempersatukan berbagai kabilah dalam sebuah “federasi kabilah-kabilah” untuk tujuan shalat berjamaah (Bassam Tibi, 2016: 5).

Invented tradition menjelaskan kepada kita setidaknya dua ‘sunnah’ bentukan Islamis yang selalu diklaimnya sebagai yang autentik. Pertama, makna ummah yang digeser menuju gelanggang politik. Bukan ummah yang merangkul pluralitas, tapi justru melecehkan keragaman atas nama menegakkan syariat. Kedua, bahwa tatanan politik berbasis syariat yang diasumsikan mengikuti warisan murni dan ajaran Islam era lampau Nabi adalah tak lebih dari proyek baru tradisi para Islamis modern. Semua asumsi mereka gagal, berseberangan dengan sunnah yang diajarkan Islam. Sesuatu yang mereka anggap sebagai agenda agama nyatanya adalah agenda politik.

Atribut dan perangkat agama yang selalu dijadikan kamuflase, membuat kelompok Islamis kerap dianggap sebagai gerakan religius Islam. Siapa yang mengkritisinya dinilai sebagai penista agama, dan yang terlanjur terlibat pada jejaring mereka sering tak sadar sedang terkelabui. Alih-alih menghina Islam, mengkritisi para Islamis adalah pembelaan pada Islam itu sendiri. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.