Spirit Toleransi Dalam Perayaan Natal

KolomSpirit Toleransi Dalam Perayaan Natal

Setiap penghujung tahun, Umat Kristian selalu merayakan Hari Natal. Meskipun, perdebatan seputar boleh tidaknya memberikan ucapan ‘Selamat Natal’ dan razia atribut-atribut Natal seolah selalu bermunculan dan menjadi perdebatan di semua kalangan. Namun, berbeda dengan para remaja di Jalan Pudaksari, Kelurahan Kutowinangun, Kecamatan Tingkir, Salatiga. Pada Minggu (13/12/20). Bukan hanya mengucapkan ‘Selamat Natal’ saja, akan tetapi juga mereka bergotong royong menghias pernak-pernik pohon Natal berukuran besar yang ada di halaman warganya.

Rutinitas menghias pohon cemara itu dilakukan bersama, kurang lebih sudah empat tahun lamanya remaja Muslim di Salatiga membantu bergotong royong agar perayaan Natal penuh sukacita. Saling menghargai antarumat beragama begitu lah kiranya yang menjadikan kekuatan untuk mereka saling membantu. Perbedaan keyakinan tak menghalangi mereka untuk saling menghormati dan membantu dalam merayakan Natal.

Bagi Umat Kriten, perayaan Natal merupakan ritus keagamaan yang hendak memuliakan Yesus Kritus. Kemuliaan itu tentu tidak sekadar menjadi menara kesucian yang tidak aksesibelitas, melainkan kemuliaan adalah bentuk teosofi dan emanasi yang harus dimanifestasikan ke dalam perilaku yang nyata. Dalam hal ini jelas, esensi dari perayaan Natal sangat penting jika dilakukan dalam spirit kebahagiaan untuk saling menghargai dan menghormati antar umat beragama.

Terlepas dari perbedaan pendapat tentang latar belakang perayaan Natal yang setiap tahunnya diselenggarakan oleh Umat Kristiani di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, perayaan Natal sesungguhnya merupakan sebuah hari yang bersejarah bagi mereka. Hal ini tentu menjadi momentum Natal tepat untuk merajut kembali spirit toleransi antar umat beragama di Tanah Air.

Di samping itu, spirit kemuliaan perayaan Natal yang digunakan sebagai ekspresi transendentalisasi untuk mengenang kelahiran Yesus, harus diwujudkan sebagai cermin untuk memantulkan sifat keluhuran-Nya ke dalam ruang kehidupan. Dengan cara ini lah, perayaan Natal menjadi keniscayaan bagi siapa pun untuk selalu tulus dan ikhlas berbagi tanpa melihat latar belakang keyakinan dan ideologi.

Bila sikap toleransi ini bisa ditumbuhkan, maka dari itu Natal akan menjadi sarana untuk membangkitkan rasa keterlibatan diri secara empatik (empathic engagement) terhadap pihak lain dalam setiap ruang interaksinya. Untuk merajut keluhuran rasa ini, nilai-nilai kasih dan damai yang menjadi sistem kepercayaan dan spiritualitas umat Kristiani patut dimanifestasikan ke dalam laku keseharian.

Namun, jika kita cermati, persoalan intoleransi mengatsnamakan agama sepanjang tahun 2020 memang masih menjadi tinta hitam di negeri ini. Misalnya saja, pemakaian sentimen agama dalam pemilihan calon ketua OSIS di SMAN 6 Depok, pelarangan pembangunan fasilitas rumah dinas pendeta di Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD) di Kecamatan Napagaluh, Kabupaten Aceh Singkil (1/10/2020). Kemudian gangguan sekelompok orang intoleran atas ibadah terhadap jemaat HKBP KSB di Kabupaten Bekasi (13/11/2020).

Lalu muncul penolakan ibadah dilakukan oleh sekelompok warga Graha Prima Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor terhadap jemaat dari Gereja Pantekosta di Indonesia (20/11/2020). Penganiayaan dan pembubaran acara midodareni di Solo, Pembantaian satu keluarga Non-Muslim di Sigi, dan pelarangan ibadah bagi umat Kristen di Kabupaten Mojokerto (21/11/20), serta masih banyak lagi deretan kasus intoleransi yang terjadi di negeri ini.

Setidaknya, Jika dikalkulasi kasus intoleransi dan sentimen agama meminjam data riset SETARA Institute sejak 2007 pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) dan intoleransi menjadi persoalan terbesar pada level negara dengan 846 peristiwa pelanggaran KBB dengan 1.060 tindakan. Sementara pada 2019 terdapat 200 peristiwa pelanggaran KBB dengan 327 tindakan: 168 tindakan negara dan 159 non-negara. Barangkali, jika untuk tahun 2020 terdapat ratusan jumlahnya. Karena faktanya, peristiwa ini semakin bertambah disetiap tahunnya.

Baca Juga  Ngopi ala Sufi

Melihat rangkaian kejadian tersebut, hal ini jelas menandakan peningkatan aksi intoleransi dan kekerasan dalam beragama yang beragam. Padahal jika kita menilik sejarah, Bangsa Indonesia merupakan negara yang plural. Dibentuk dengan beragam suku, agama, ras dan antar golongan yang mengajar kepada kita, persatuan dan kesatuan bangsa merupakan modal utama dalam perjuangan nasional.

Dalam sejarah, sebenarnya kita memiliki tradisi toleransi yang kuat. Kita berharap intoleransi yang kita lihat sepanjang 2007 hingga sekarang yang dalam riset SETARA Institute hanyalah gejala sesaat. Pekerjaan kita sekarang adalah justru mencegah bagaimana toleransi tidak menguat kembali di masyarakat. Adapun terdapat tiga rekomendasi untuk mengatasi problematika dan dilema minoritas agama di Indonesia untuk mencegah intoleransi.

Pertama, penekanan dan pendekatan Hak-hak Asasi Manusia (HAM). Dalam hal ini, pentingnya hak-hak beragama kelompok minoritas adalah termasuk kategori non-derogable rights atau hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara atau pihak siapapun. Walaupun, dalam keadaan darurat.

Kedua, penekanan tentang adanya kewarganegaraan yang setara (non-differentiated citizenship) di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini tentu berkaitan tanpa dibedakan berdasarkan agama atau etnis. Meskipun kewarganegaraan yang setara perlu menjadi prinsip, akan tetapi perlu disadari bahwa ada kelompok-kelompok yang perlu afirmasi politik tertentu dan menuntut negara untuk hadir.

Ketiga, menggunakan pendekatan teologis dengan menekankan bahwa sikap toleran terhadap minoritas bukanlan sesuatu yang asing dari agama. Misalnya saja, tindakan dan sikap yang dilakukan oleh sekelompok remaja yang bukan hanya megucapkan ‘Selamat Natal’ saja, melainkan juga membantu untuk terselenggaranya perayaan Natal di Jalan Pudaksari, Kelurahan Kutowinangun, Kecamatan Tingkir, Salatiga. Hal ini juga membuktikan bahwa bersikap baik kepada mereka yang kelompok minoritas, subordinate, atau mustadh’afin adalah panggilan suci agama dan perintah Allah SWT.

Dari sinilah, sebetulnya setiap individu perlu mengembangkan kesadaran bersama. Toleransi merupakan bagian dari sikap hidup yang dipenuhi dengan kesalingpengertian sehingga menempatkan perbedaan sebagai bagian dari kehidupan. Artinya, setiap subjek manusia harus terus menjadi ‘agen’ yang dapat mengembangkan keluasan berpikir, berkata, dan bertindak. Keberagaman yang dimiliki Indonesia merupakan kekayaan yang harus dirawat melalui nilai-nilai Pancasila sebagai tonggak utama berbangsa.

Jika kita selalu mengembangkan dan menumbuhkan spirit toleransi, dipastikan kita akan selalu mengenal jati diri kebangsaan yang tidak lain adalah kekayaan sebagai modal di masa depan. Mulai dari sini kita menjadi bangsa yang lebih menghargai setiap perbedaan. Menjadi warga negara berarti menjadi manusia yang siap merawat kemanusiaan orang lain sebagai bagian dari hidupnya sendiri.

Dengan demikian, saya percaya bahwa spirit toleransi dalam Natal bukan hanya momen perayaan penting bagi umat Kristiani di dunia, akan tetapi juga bagi setiap insan manusia. Dalam hal ini, kita percaya bahwa sisi kebaikan dan perdamaian dari spirit perayaan Natal adalah satu dari sekian banyak roda gigi penggerak kincir bernama toleransi; baik toleransi spiritual, ideologi, maupun sosial.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.