Kerudung di Mata Gus Dur

KhazanahKerudung di Mata Gus Dur

Di negeri ini, kerudung mengalami evolusi yang cukup signifikan. Penutup kepala yang pada mulanya hanya populer di kalangan santri ini, kini telah dipakai berbagai golongan masyarakat Muslim secara luas. Keberadaan kerudung di tengah masyarakat Muslim telah menjadi simbol agama yang cukup kuat dan dihargai.

Evolusi dan perubahan kerudung telah memperkaya preferensi tentang busana Muslimah. Dengan keberagaman ini, Muslimah semakin memiliki keluwesan dalam memakai penutup aurat sesuai dengan keyakinannya. Ada yang tradisioanl, ada juga yang modern. Ada yang polos dan ada yang dihiasi berbagai manik-manik dan sulaman. Ada yang memakainya sampai menutupi seluruh kepala, ada juga yang menganggap cukup dalam batas-batas kesopanan yang berlaku dalam budayanya.

Keberagaman cara menutup aurat yang berkembang di tengah masyarakat adalah rahmat. Khususnya dalam menjalankan kewajiban menutup aurat bagi setiap Muslim, laki-laki dan perempuan. Sangat disayangkan, keberagaman ini tidak selalu dipandang positif, apalagi keragaman di dunia perempuan. Tidak sedikit yang memiliki pandangan ekslusif terhadap penutup aurat perempuan, dalam hal ini kerudung. Eksklusivitas ini tidak jarang menimbulkan konflik. Sampai saat ini, kasus pelarangan jilbab ataupun intimidasi dan stigma negatif terhadap Muslimah yang tidak menggunakan jilbab masih sering terjadi di sekitar kita.

Konflik pendapat tentang jilbab ini, nampak semakin serius mana kala menimbulkan polarisasi masyarakat, antara yang mewajibkan untuk mengikuti model tertentu (syar’i), dengan yang membebaskannya atau tidak memakainya. Persoalan kerudung sebagai titik konflik pernah dijawab oleh Gus Dur pada tahun 1983. Apa yang membuat pemakaian kerudung menjadi masalah sensitif menurut Gus Dur adalah karena kerudung itu sendiri muncul sebagai simbol yang berkembang pada masing-masing kelompok.

Dalam sebuah artikelnya yang berjudul Kerudung dan Kesadaran Beragama, Gus Dur menganjurkan sudut pandang global terhadap penggunaan kerudung, yakni meningkatnya kesadaran beragama dalam diri seseorang. Perilaku seperti itu tidak sepatutnya diremehkan dan disepelekan karena ia merupakan bagian dari kesadaran untuk menegakkan Islam sebagai ‘jalan hidup’. Boleh kita tidak setuju dengan aspirasi holistik seperti itu, namun dapat dihargai sebagai upaya menemukan Islam dalam kebulatan dan keutuhan. Jadi, patut mengapresiasi motifnya yang berwatak transendental.

Kita dapat meneladani sikap Gus Dur dalam menengahi perdebatan tentang kerudung ini. Gus Dur meninggalkan isyarat agar persoalan berkerudung itu ‘dibiarkan’ pada keputusan pribadi masing-masing di kalangan kaum Muslimat. Tidak perlu dicampuri oleh negara seperti pada masa Orde Baru, atau dipaksakan oleh pihak lain di luar pribadi yang mengenakannya. Bahkan terbukti bahwa Gus Dur sendiri tidak pernah mencampuri urusan kerudung isteri dan anak-anak perempuannya.

Gus Dur tidak masuk pada ranah perdebatan tentang jilbab sebagai produk budaya atau agama, maupun batas-batas aurat yang ramai menjadi titik perdebatan. Bagi Gus Dur, yang terpenting adalah memperhitungkan kerudung dari sudut pandang kesadaran beragama secara positif. Membatasi kerudung dengan satu pendapat tertentu tidak memecahkan masalah, tetapi hanya menunda atau memindahkan persoalan saja. Kasus-kasus saling debat akan tetap muncul dengan intensitas dan implikai yang mungkin semakin gawat bagi masa depan kita semua sebagai bangsa.

Baca Juga  Diskursif Agama dan Negara Kontemporer

Tidak heran, eksklusivitas kerudung diperdebatkan dengan cukup serius hingga saat ini, seiring dengan perkembangan modenya. Terbukti dari banyaknya buku-buku, konten medsos, dan komunitas yang menyemarakkannya. Lebih lebih jauh lagi, sebenarnya kegairahan mempersoalkan manifestasi simbolik dari Islam seperti ini, dalam gagasan Gus Dur tentang Pribumisasi Islam, merupakan sebuah indikasi bahwa kaum Muslimin sedang mengalami krisis identitas.

Krisis identitas menjadi sebab mengapa umat Islam sibuk dengan masalah-masalah simbol yang sifatnya pinggiran (periferal). Sangat disayangkan, apa yang disebut dengan islamisasi pada umumnya hanyalah arabisasi budaya. Persoalan meributkan budaya bentuk-bentuk kerudung atau busana Muslimah memang kadang lebih sengit daripada membahas makna esensial dari pesan menutup aurat dalam ayat dan hadis yang berkaitan langsung. Misalnya, spirit tentang melindungi perempuan dari gangguan dan menciptakan lingkungan yang aman bagi perempuan.

Padahal, menjadikan hal-hal yang hanya bersifat tambahan atau bawaan sebagai perhatian pokok, cukup sering membuat masyarakat terjebak dalam seruan Islam yang kosong dan semangat keislaman semu. Kecenderungan ini akan berlanjut terus selama proses identifikasi diri kaum Muslimin belum terselesaikan dengan baik.

Salah satu sumber identitas diri kita sebagai masyarakat Muslim, yang selalu disuarakan Gus Dur, ialah budaya bangsa. Maka dari itu, Gus Dur menekankan pentingnya rekonstruksi hukum agama secara parsial sesuai dengan kebutuhan lokal, bersifat sejalan dengan situasi yang tengah berlangsung. Jadi, alat yang paling efektif untuk mengatur kultur umat Islam ini ialah fikih. Fikih berperan strategis dalam membentuk budaya baru masyarakat.

Meskipun demikian, betapapun pentingnya perubahan-perubahan formalistik fikih, nyatanya, masyarakat tidak bergantung dengan inovasi tersebut, atau dengan kata lain masyarakat tetap hidup dengan budaya tanpa mempedulikan fikih. Jika memang begitu, maka menurut Gus Dur dan banyak diamini cendekiawan Muslim lainnya, masyarakat setidaknya perlu didorong untuk tidak terlalu memikirkan manifestasi simbolik dari Islam dalam kehidupan, akan tetapi lebih mementingkan esensinya.

Dengan demikian, keberagaman kerudung dan busana Muslimah mestinya diterima dengan lebih terbuka, karena berpangkal pada penerimaan keberagaman budaya bangsa kita sendiri. Masyarakat Muslim harusnya sudah keluar dari zona perdebatan, menikmati kehidupan damai yang penuh toleransi dalam perbedaan. Jadi, dengan memahami pemikiran Gus Dur ini, kita dapat memahami bahwa rupa kerudung merupakan ekspresi budaya yang mungkin berbeda-beda, namun esensinya tetap sama, yaitu kesadaran beragama. Inilah yang perlu kita teladani dari Gus Dur, yakni penggunaan kerudung harusnya dikembalikan kepada perinsip kebebasan individu, dalam hal ini perempuan, untuk menentukan sendiri pilihannya dalam berpakaian.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.