Arab Bukan Islam

KolomArab Bukan Islam

Sejarah yang sangat jarang kita semua pelajari adalah fenomena bangsa dan rumpun Arab. Baik teritorial, ras, bahasa, sosiologis kebudayaan, kultur kehidupan, maupun dari segi teologis atau keyakinan orang-orang Arab. Jauh sebelum Islam lahir di Semenanjung Arab, berbagai bangsa—Babilonia, Assyria, Phoenisia atau Fenesia, Ameria, Aramia, Kaldea, Abissinia dan Ibrani—berimigrasi dari oasis-oasis yang kemudian melahirkan rumpun Semit sejati. Bahkan Arab merupakan tempat lahirnya agama monoteisme Yahudi dan Kristen dengan karakteristik Semit.

Imigrasi Semit menuju Semenanjung Arab, telah melahirkan berbagai bangsa besar yang membangun fondasi peradaban manusia. Kemungkinan 2500 SM, Ibrahim beserta anak dan istrinya pergi ke satu daerah tihamah di Semenanjung Arab. Selanjutnya Ibrahim meninggalkan Ismail dan Siti Hajar di sebuah lembah kering bagian utara jazirah Arab, yang dikemudian hari dikenal sebagai Kota Mekkah.

Sebelum pergi, ia dan Ismail membuat rumah berbentuk kubus segi empat bernama Ka’bah atas perintah Tuhan. Ismail dan Siti Hajar mulai kelaparan karena tidak adanya makanan dan sumber air, untuk dikonsumsi, tapi kemudian Tuhan menganugerahi mata air yang diberi nama air zamzam. Air ini yang dapat menjadi sumber kehidupan Ismail dan ibunya, Siti Hajar. Ismail lalu dapat meneruskan misi dakwah ayahnya hingga banyak orang berbondong-bondong untuk pergi ke Mekkah.

Ka’bah menjadi daya tarik banyak orang berdasarkan simbol ketuhanan. Oleh karenanya, sejak dulu, kota Mekkah tidak pernah sepi dari kunjungan, dan yang lebih penting, Mekkah, Ka’bah, dan mata air zamzam adalah sebuah determinan, menjadi satu kesatuan yang mempersatukan dengan toleransi tingkat tinggi di antara umat manusia dari berbagai ras, suku, bangsa, dan termasuk keyakinan agama. Bangsa Persia dan umat Hindu pun meyakini bahwa dewa-dewa mereka berada di Ka’bah dan Hajar Aswad. Orang Arab meyakini Ka’bah sebagai “rumah Tuhan” melalui Ibrahim dan Ismail yang diperintahkan-Nya untuk mendirikan bangunan tersebut.

Beberapa kabilah menaklukkan kota Mekkah—Kabilah Jurhum, Khuza’ah dan Quraysh—memimpin Hijaz, terutama Kota Mekkah. Amr bin Luhay dari Khuza’ah yang membawa patung-patung pagan—Al-latta, Al-uzza, Hubal, dan Manat—dari Suriah sehingga mayoritas penduduk Hijaz menganut paganisme. Namun salah sekali jika kita berpandangan bahwa masyarakat Arab Jahiliyah adalah orang-orang bodoh, atau hanya mengenal satu keyakinan, Islam.

Justru dalam pandangan Philip K. Hitti dalam buku History Of The Arabs (2018), bahwa orang-orang badui Arab hanya masyarakat primitif yang antisosial, eksklusif, dan tidak meyakini dalam hati sebuah otoritas kenabian, dan spiritual, namun bersifat demokratis. Bukan bodoh secara pengetahuan dalam membangun peradaban manusia. Bangsa Phoenisia atau Fenisia dan Himyar di Yaman bahkan memperkenalkan huruf alfabet dan baca-tulis.

Tentu saja di Semenanjung Arab juga banyak pula yang meyakini Kristen di sekitar wilayah Khaybar, Fadak, dan Mekkah. Beberapa suku Kristen juga kita tahu seperti Suku Taghlib. Kemudian tradisi Yahudi berkembang di Yatsrib, beberapa oasis di Semenanjung Arab, dan sebagian lagi di Mekkah. Terdapat beberapa suku Yahudi di Yatsrib (Madinah) seperti Quraizah, Nadzir, dan Qunaiqa. Kita pun mengenal pendeta Buhaira saat Nabi pergi berdagang ke negeri Syam, dan Waraqah bin Naufal (sepupu Siti Khadijah) yang menganut Kristen Nestorian di Mekkah.

Malah kita tidak banyak mengetahui bahwa Raja Abrahah dari Arab Selatan yang berusaha menaklukkan Kota Suci Mekkah, pada saat menjelang Maulid Nabi (kelahiran Nabi) dan kisahnya diabadikan oleh al-Quran Surat Al-Fiil, merupakan bangsa Abissinia, kekaisaran Ethiopia yang berkuasa di wilayah Yaman. Tentara Abrahah adalah penganut agama Kristen dan sekutu bagi kekaisaran Byzantium (Konstantinopel).

Meski Mekkah mayoritas meyakini pagan, namun di dalamnya terdapat beberapa keyakinan lain yang masih kuat dalam tradisi Yahudi, Kristen, dan keyakinan monoteisme Abrahamik, yakni disebut hanif. Di antara nama-nama yang masih meyakini hanifisme (monotesime Ibrahim) adalah Zayd bin Amr, Abu Karb al-Humayri, Walid bin al-Mughirah dan lainnya. Bahkan Abdul Muthalib (kakek Nabi SAW) sendiri meninggal dalam keyakinan hanifisme.

Dalam pandangan kebanyakan sejarawan, sebelum usia 40 tahun, Nabi Muhammad SAW meyakini hanifisme sebagaimana ayah dan kakeknya. Beliau beribadah dengan cara menyendiri di Gua Hira sampai pada akhirnya malaikat Jibril datang membawa Wahyu untuk meneruskan ajaran monoteisme yang menjadi cikal bakal Islam sebagai sebuah agama.

Baca Juga  Puasa Menumbuhkan Empati

Di tengah raja-raja yang berkuasa—Kekaisaran Sasanian di Persia, dan Kekaisaran Romawi—Arab tetap dalam kehidupan dan keyakinan yang berbeda-beda. Sampai pada akhirnya Nabi Muhammad SAW menyempurnakan ajaran monoteisme. Betul bahwa di abad pertengahan, tidak ada bangsa yang dapat menaklukkan sebagian besar belahan bumi melalui teologi Islam yang dianut oleh mayoritas Semenanjung Arab. Akan tetapi, tidak semua orang Arab atau rumpun Semit meyakini keyakinan mereka adalah Islam semata.

Ajaran Nabi adalah ajaran perdamaian dan kemanusiaan yang berkeadilan. Fakta tersebut diperlihatkan oleh Nabi sendiri tatkala merebut Kota Mekkah dari Quraysh, melalui perjanjian damai Hudaybiyah. Tidak ada pertumpahan darah sehingga orang berbondong-bondong masuk Islam. Realitas sejarah tersebut tidak terbantahkan. Nabi tidak memaksakan seseorang untuk mengikuti ajarannya. Oleh sebab itu, sampai detik ini Bangsa Arab dalam rumpun Semit, tidak hanya menganut satu agama.

Persepsi dan kesalahpahaman yang salah dari banyak orang berpandangan bahwa Arab adalah “Bangsa Muslim”. Memang betul di Arab mayoritas beragama Islam, tapi kenyataannya, banyak dari kalangan mereka yang juga Non-Muslim. Orang Arab sendiri banyak meyakini tradisi gereja—Katolik Ortodoks Yunani, Katolik Maronite di Lebanon, Katolik Koptik di Mesir, Protestan, dan Katolik Ortodoks di Suriah—yang mayoritas mendominasi Non-Muslim di Arab.

Banyak pula orang Arab yang meyakini Judaisme atau Yahudi, Druze, bahkan ateisme dan agnotisisme. Orang-orang Arab atau ras Semit ini tidak monolitik. Meskipun Bangsa Arab memiliki tradisi, budaya, dan bahasa yang sama, tetapi faktor historis, geo-kultural, dan sosiologis yang saling bersinggungan, melahirkan banyak varian dalam budaya lokalitas di antara Bangsa Arab itu sendiri. Termasuk keyakinan-teologis.

Semenanjung Arab yang menurut Philip K. Hitti juga terdiri dari beberapa negara, seperti Irak, Suriah, Oman, Yaman, Qatar, UEA dan Arab Saudi. Belum lagi wilayah Arab lain seperti Palestina, Libanon, Yordania, Mesir, Maroko, Mauritania, Sudan, Aljazair, Somalia, Kuwait, Libya, Bahrain, Comoros, Djibouti, dan Maroko. Dari masing-masing negara, mayoritas penduduk berada di Mesir, Arab Saudi dan Yaman hampir sama tingkat populasi penduduknya.

Jadi, tolak ukur atau barometer Bangsa Arab adalah Arab Saudi, adalah sebuah kesalahan. Tentu masing-masing pun memiliki karakteristik yang berbeda di antara mereka. Budaya berpakaian Arab pun berbeda, tidak seperti dipahami oleh banyak umat Islam di Indonesia bahwa Arab mesti bergamis atau berjubah, memakai serban, cadar dan berkerudung. Mereka hanya sama dalam etholiguistik dan bukan entitas keagamaan.

Pandangan keliru tersebut membuat sebagian Muslim di Indonesia mendistorsi Islam itu sendiri. Islam adalah sebuah ajaran, sebuah tuntunan kehidupan. Kompleksitas Arab, baik dari segi budaya, ekonomi, politik, dan pemerintahan, sama sekali tidak ada hubungannya dengan Islam. Kita tidak membantah bahwa memang betul Nabi SAW lahir di Arab, al-Quran berbahasa Arab, dan sunah Nabi SAW berbahasa Arab. Akan tetapi doktrin Islam tidak ada kaitannya sama sekali dengan Arab sebagai sebuah bangsa, apalagi kebudayaan negaranya.

Doktrin dan sumber keagamaan Islam bertujuan tidak hanya untuk Arab, melainkan seantero jagat raya yang kita kenal dengan rahmatan lil alamin. Ajarannya tentu ditransformasikan menuju pembangunan masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Oleh karena itu, interpretasi tentang hubungan antara Bangsa Arab dan Islam, sama sekali tidak ada kaitannya dengan realitas sosial kebangsaan.

Tidak ada salahnya kita mengistilahkan Islam Nusantara sebagai identitas kebangsaan yang memiliki ciri khas Islam yang santun, ramah berakhlakul karimah dan berperadaban. Sebagaimana Muhammad Abduh (1849-1905), pernah mengatakan, “Aku pergi ke negara-negara Barat, aku melihat Islam tapi tidak melihat Muslim. Dan aku pergi ke negara Arab, aku melihat banyak Muslim tapi tidak melihat Islam.”

Mengingat carut-marut dari keragaman dan kerumitan Bangsa Arab yang terus dirundung konflik, justru lebih memperlihatkan bahwa ajaran Islam tidak menjadi solusi, dari sebuah transformasi perubahan sosial yang mempersatukan dalam bingkai perdamaian dan peradaban. Sebuah kesalahan besar memandang bahwa Arab mesti Islam, dan Islam adalah Arab.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.