Jihad untuk Kebaikan Bukan Kejahatan

KolomJihad untuk Kebaikan Bukan Kejahatan

Sekelompok oknum religius di negeri ini memang sedang senang-senangnya menunjukan absurditas di hadapan publik. Belum lama ini misalnya, masyarakat disentak oleh viralnya kumandang adzan yang dimodifikasi menjadi seruan jihad. Dalam berapa video yang tersebar, selain menggunakan atribut religius seperti peci, sarung, gamis, dan busana Muslim, para oknum tersebut juga tampil dengan beberapa bilah pedang dan senjata tajam, seolah-olah panggilan jihad yang menggantikan panggilan shalat tersebut berkonotasi pada jihad perang.

Perbuatan mengubah kalimat yang berkaitan langsung dengan ibadah ini bukan hanya tidak pantas, namun juga sesat. Adzan sejatinya telah baku sebagai panggilan shalat sejak era awal Islam, disyriatkan langsung oleh Nabi SAW. Dalam sejarahnya, lafadz adzan diilhamkan melalui mimpi dua sahabat Nabi SAW, yakni Umar bin Khattab dan Abdullah bin Zaid. Kalimat tersebut disahkan oleh Nabi SAW, kemudian beliau memerintahkan sahabat-sahabat tersebut untuk mengajarkan kalimat adzan itu kepada muadzin, “…berdirilah di samping Bilal, ajarilah dia bagaimana mengucapkan kalimat itu. Dia harus mengumandangkan adzan seperti itu…” (HR. At-Tirmidzi no. 174)

Nabi SAW sendiri memerintahkan agar adzan dikumandangkan sebagaimana yang telah diilhamkan, difungsikan sebagai pemberitahuan tentang waktu shalat dan seruan untuk melaksanakannya. Oleh sebab itu, lafadz adzan merupakan kalimat sakral dalam keseharian umat Islam, seruan itu menghubungkan hati setiap muslim dari waktu ke waktu, sangat tidak patut diubah-ubah dan dipermainkan sembarangan. Mengganti panggilan untuk shalat dengan panggilan jihad merupakan perbuatan mengada-ngada, tidak benar dan tidak berdasar sama sekali, alias bid’ah.

Merusak kalimat adzan adalah penyimpangan pertama dalam kasus ini. Kesalahan fatal lainnya ialah mengidentikkan jihad sebagai perang. Para pelaku yang memelesetkan adzan menjadi seruan jihad, membawakan kalimat “hayya ‘alal jihad” tersebut bagaikan ajakan untuk berkelahi. Mereka berbaris dan menggangakat senjata seperti menunjukkan kesiapan untuk menyerang pihak lain.

Memaknai jihad sebagai perang merupakan kesalahan fatal yang berulang kali dilakukan kelompok-kelompok Islam radikal sepanjang sejarah. Kesalahpahaman terhadap konsep Jihad dalam Islam, telah mencemari agama Islam yang sejatinya adalah agama kedamaian.

Jihad adalah salah satu prinsip dalam doktrin Islam. Jihad secara harfiah berarti berjuang, pengendalian diri, melawan, atau bertahan. Pada dasarnya, jihad mengandung arti etos kerja spiritual dan material yang kuat dalam Islam. Ketakwaan, kecerdasan, kesehatan, keindahan, kebenaran, dan keadilan, tidak mungkin terjadi tanpa kerja keras yang berkelanjutan dan konsisten, dalam kata lain ialah jihad. Oleh karena itu, jihad memiliki makna yang lebih esensial daripada perang.

Di dalam al-Quran, kata jihad tidak merujuk pada peperangan atau pertempuran. Al-Quran menggunakan istilah khusus untuk peperangan, yaitu qital, seperti dalam QS. al-Baqarah ayat 190. Jihad merupakan simbol kuat yang digunakan untuk menggalang antusiasme dan gairah dalam berbagai tujuan kesuksesan dan keberhasilan, berlaku juga dalam konteks peperangan. Meskipun demikian, qital atau perang memiliki pembahasan yang berbeda dari jihad. Setiap referensi dalam al-Quran tentang qital selalu dibatasi oleh kondisi dan syarat-syarat tertentu. Sedangkan, nasehat untuk jihad, misalnya dalam keadilan atau kebenaran, bersifat umum dan tidak dibatasi.

Maka dari itu, sangat tidak tepat apabila jihad selalu diidentikkan dengan perang dan perkelahian, apalagi perbuatan anarkis. Makna jihad seperti yang dilagakan oleh orang-orang yang menyerukan hayya ‘alal jihad menggunakan pedang dan senjata tajam, hanya menampilkan kejahilan dan hawa nafsu jahat diri sendiri. Sudah banyak masyarakat Muslim yang telah memahami bahwa konsep jihad dalam Islam jauh lebih luas daripada peperangan fisik atau perkelahian.

Bahkan, ada lebih banyak kesempatan aplikasi jihad yang sama sekali bukan kekerasan. Rasulullah SAW sendiri pernah heran dengan sahabat-sahabat yang berasumsi bahwa perjuangan di jalan Allah diartikan sebagai ikut berperang. Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah RA, para sahabat sedang duduk bersama Nabi SAW di suatu hari, saat itu seorang pemuda mendekati mereka. Mereka berkata, “andai saja pemuda ini memberikan masa mudanya, usahanya, serta kekuatannya di jalan Allah!”

Baca Juga  Gus Nadir: Kita NKRI, Jangan Tiru Taliban

Nabi SAW mendengar percakapan mereka itu dan beliau bersabda “Memangnya tidak ada perjuangan di jalan Allah selain membunuh? Siapapun yang berjuang untuk orang tuanya, ia berada di jalan Allah. Siapapun yang berjuang untuk keluarganya, ia berada di jalan Allah. Siapapun yang berjuang untuk dirinya sendiri agar mandiri, ia berada di jalan Allah. Siapapun yang berjuang untuk mendapatkan kepentingan dirinya sendiri, ia berada di jalan Setan” (HR. Al-Baihaqi no. 17824).

Sampai di sini, dapat dipahami bahwa jihad sebenarnya melebur dalam kehidupan sehari-hari umat Islam, apapun kerja keras yang kita lakukan dapat diapresiasi sebagai jihad. Nabi Muhammad SAW juga berulang kali mengajarkan bahwa dibanding jihad dalam peperangan, jihad berjuang melawan hawa nafsu diri sendiri itu lebih besar dan hebat, yakni melawan kecenderungan jahat nafsu manusia dan bisikan gelap Setan. Atas dasar ini, banyak ulama menyebutkan bahwa jihad spiritual sebagai ‘jihad yang lebih besar’ sedangkan jihad fisik sebagai ‘jihad kecil’. Melawan hawa nafsu dan godaan setan merupakan perjuangan spiritual murni yang tidak melibatkan perkelahian ataupun kekerasan.

Jihad spiritual lebih penting dilaksanakan daripada jihad fisik, sebab seseorang harus mengetahui dan mengimplementasikan nilai-nilai moral Islam dalam dirinya sendiri dulu, sebelum berangkat ke medan perang untuk mempertahankan keyakinan dan moral dalam dirinya tersebut. Jadi, jihad melawan musuh internal dalam jiwa sendiri lebih utama daripada jihad melawan musuh eksternal, bahkan jihad spiritual merupakan dasar dari setiap perjuangan fisik.

Para ulama selalu mengajarkan bahwa jika seseorang tidak berjuang melawan dirinya sendiri terlebih dahulu, dia tidak mungkin dapat melawan musuh dari luar. Ibn al-Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya yang berjudul Rawdat al-Muhibbin menuliskan bahwa bagaimana mungkin seseorang bisa berjuang melawan musuh-musuhnya dan menjadi adil, jika musuhnya di dalam dirinya sendiri telah mengalahkannya, mendominasinya, serta dia tidak tampu berjuang melawannya demi Allah SWT? Seseorang tidak bisa keluar melawan musuh-musuhnya kecuali dia mendahulukan perjuangan melawan dirinya sendiri.

Sentralisasi jihad spiritual dikonfirmasi oleh banyak teks dalam Islam. Salah satunya, dalam kitab al-Adab al-Sharʿiyyah wa Minah al-Mar’iyyah, Ibn Muflih al-Maqdis mengutip perkataan Hasan al-Basri ketika seorang bertanya kepadanya “Jihad apa yang terbaik?” Hasan al-Basri berkata, “Jihadmu dalam melawan keinginanmu”, ia kemudian melanjutkan, “Musuhmu bukanlah orang yang membebaskanmu jika kamu membunuhnya. Sebaliknya, musuh sejatimu adalah jiwa di dalam dirimu sendiri.”

Secara prinsipil, Islam menggunakan istilah jihad untuk merujuk pada tindakan berjuang dalam menjalankan tugas manusia di bumi ini, yang mencakup semua tindakan kebaikan dan amal shalih lahir maupun batin. Perjuangan untuk membersihkan diri dari kesombongan dan kepicikan, melawan kebodohan dengan menuntut ilmu, berjuang mencari nafkah, menyembuhkan yang sakit, memberi makan orang miskin, serta membela kebenaran dan keadilan, bahkan dengan risiko pribadi yang besar, merupakan bentuk jihad yang sangat jelas dan relevan.

Dengan demikian, jihad bukanlah ‘kedok’ untuk penyerangan, ataupun menyakiti orang lain. Jihad tidak berarti perang atau perkelahian, sebalikanya jihad merupakan perinsip tentang etos kebaikan yang konsisten. Ajaran Islam tentang jihad dalam dimensi spiritual masing-masing indivu, merupakan jihad yang sesungguhnya harus diperjuangkan. Jadi, akankah orang-orang menuruti seruan ‘hayya ala jihad’ yang dibawa oleh oknum-oknum dengan moral dan bobot keilmuan yang agak meragukan itu? Saya pikir masyarakat Muslim negeri ini cukup cerdas untuk memahami bahwa jihad itu untuk kebaikan, bukan untuk teror, kekerasan, pelanggaran, ataupun kejahatan.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.