Estetika Keberagaman yang Membebaskan

KhazanahEstetika Keberagaman yang Membebaskan

Keberagaman yang kita alami dan kita saksikan sekarang ini, bukan begitu saja terjadi, melainkan suatu keberagaman dalam perayaan kebebasan, sekaligus menjadi titik awal perubahan yang lebih hakiki, yakni estetik. Dunia terus mengalami perubahan berdasarkan dialektika pembebasan masa lalu. Keyakinan yang dulu diperjuangkan oleh orang-orang revolusioner, dan kini masih tetap sama di seantero jagat bumi ini, tidak lain adalah terwujudnya humanisme dalam kebebasan yang datang dari kemurahan hati Tuhan Yang Maha Kuasa.

Jauh sebelum masehi, seorang nenek moyang dari bangsa yang besar, dengan menurut pada perintah Tuhannya, Nabi Ibrahim AS siap menyembelih putra kesayangannya yang bernama Ismail di Kubah Batu untuk dikorbankan. Namun, sebelum pisaunya menyayat leher Ismail, sosok malaikat yang diperintahkan Tuhan itu hadir, dan menggantikan Ismail dengan domba jantan yang bertanduk melingkar. Filosofi dari peristiwa ini tentu saja Tuhan berpesan, bahwa pengorbanan dalam bentuk peribadatan kepada-Nya, tidak boleh mengorbankan manusia—Sebuah larangan yang tidak dianut pada zaman kuno (tumbal)—akan tetapi cukup dengan mengorbankan hewan.

Sebagian dari kita, akan tampak mengerikan melihat fenomena praktik pengorbanan manusia. Namun praktik ini sempat menempati posisi sentral dalam kehidupan zaman itu. Bentuk pengorbanan hewan juga berarti harus berani berkorban untuk menggorok hawa nafsu dalam diri, sebelum menyembelih hak-hak kebebasan manusia lainnya.

Begitupun sejarah Moses atau Nabi Musa AS. yang membebaskan kaumnya dari ketertindasan, diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan Firaun Mesir. Dilanjutkan kisah ketenaran dan kegemilangan raja ideal bangsa Yehuda Israil pada kurang lebih 1000 SM. Raja agung itu adalah Nabi Daud AS. yang menaklukkan Kota Yerusalem—tanah yang disucikan agama samawi karenanya paling disengketakan—dengan adil dan welas asih.

Nabi Daud AS. dengan kitab Zabur sebagai nubuatnya, tidak hanya menghormati bangsa Filistin taklukannya itu, tetapi juga mengajak mereka dalam kerjasama erat untuk membangun pemerintahannya. Nabi Daud AS. juga sebagaimana Nabi Ibrahim AS. tetap menghormati keyakinan kaum lain di negeri tersebut. Kesuksesan Nabi Daud di teruskan oleh Nabi Sulaiman AS. sekitar 950-an SM yang telah mencapai kedudukan raja paling legendaris sejagat raya dengan penuh kekayaan dan kebijaksanaan.

Belum lagi pada masa kekuasaan Ptolemeus II (282-246 SM), seorang berparas tampan menawan yang berasal dari Kota Yerusalem, bernama Joseph atau Nabi Yusuf AS. yang berhasil menyelamatkan kaumnya dari keterpurukan dan kemiskinan.

Eksklusivisme bani Israil yang meyakini bahwa mereka adalah bangsa terpilih oleh Tuhan, memulainya dengan racun kesombongan di bawah kekuasaan penguasa Herodes yang militeristik, kian merebak juga pada Wangsa Daud pada saat itu. Selain itu, kekakuan hukum Yahudi oleh segenap penganutnya, dipatahkan oleh kabar Nabi Zakaria AS. Kabar itu mengenai pembebasan tanah suci. Nabi Zakaria mengabarkan kalau sebentar lagi, tanah suci ini akan dipimpin oleh seorang Nabi yang lemah lembut dan penuh kasih terhadap seluruh umat manusia. Ia akan memimpin dengan mengendarai seekor keledai.

Kabar yang dihembuskan oleh Nabi Zakaria, tidak lain adalah Nabi Isa Al-Masih AS. Dengan Nubuat Injil, Nabi Isa AS. berusaha mengintroduksi makna dalam Taurat yang lebih sempurna. Ketika Taurat mengatakan “jangan membunuh”, maka ajaran Nabi Isa AS. mengatakan bahkan marah pun tidak boleh; jika Taurat mengatakan “jangan berzina”, maka ajaran Isa Al-Masih itu menyebutkan, jangankan untuk berzina, memandang wanita dengan penuh birahi saja tidak diperbolehkan. Sebuah hukum universal-substantif yang membebaskan.

Kemudian Nabi Muhammad SAW. sebagai utusan terakhir yang menerima wahyu pertama kali pada bulan Ramadhan 610 M. Kota Mekkah dan negeri Hijaz yang sedang mengalami peningkatan kemakmuran dari segi materil melebihi sebelumnya, justru orang sekitar disibukkan masing-masing dengan mengumpulkan harta kekayaan bagi dirinya sendiri, alias memperkaya diri. Ditambah konflik kesukuan yang suka berperang.

Baca Juga  Islam Menjaga Hak Pekerja

Wahyu yang diturunkan Allah SWT. melalui Nabi Muhammad SAW. bukanlah ajaran baru, melainkan berdasar pada ajaran Nabi-nabi sebelumnya. Nabi Muhammad SAW. menyeru orang-orang Mekkah untuk pasrah keseluruhan hidupnya pada Allah SWT. Allah SWT melalui perantara Nabi Muhammad SAW. menyerukan agar membangun sebuah masyarakat yang adil dan berakhlak mulia, maka akan memperoleh timbal balik berupa kesejahteraan dan kemakmuran hidup.

Oleh karena itu, Islam hadir dalam rangka meneruskan hukum-hukum Taurat, dan ajaran cinta kasih kemanusiaan yang dibawa oleh Nabi Isa Al-Masih AS. secara komprehensif. Nabi Muhammad SAW. tidak hanya manusia yang genius secara spiritual saja, beliau juga ahli ekonomi, pendidik, hukum tata negara, dan politik yang akan membebaskan manusia dari jerat sistem lama yang popular dengan istilah jahiliyyah.

Al-Quran memberikan perintah yang amat jelas dan konkret. Menumpuk kekayaan pribadi adalah perbuatan yang tercela. Sebaliknya, berbagi harta kekayaan secara adil merupakan hal yang terpuji. Nabi Muhammad SAW. menekankan keutamaan sifat welas asih yang dipraktikkan secara nyata: kepedulian terhadap orang miskin, anak yatim, janda, dan orang tertindas adalah kewajiban utama setiap Muslim. (Karen Armstrong, 2018: 324). Karena itulah Nabi Muhammad SAW. hadir untuk membebaskan manusia lemah dan terpinggirkan dari rantai sistem kapitalistik.

Nabi Muhammad SAW. berjihad tanpa henti untuk memulihkan keseimbangan manusia dan alam untuk lebih sempurna sesuai dengan kehendak Allah SWT. Konsekuensinya, tidak boleh ada sektarianisme dalam agama. Beliau mewajibkan seluruh pengikutnya untuk menghormati ahlul kitab (orang-orang yang mengikuti ajaran wahyu terdahulu). Atas dasar itulah, kebebasan dalam keberagaman semakin terlihat indah di negara Madinah.

Jadi untuk apa kita menderita karena ajaran agama yang indah ini? Hidup, semestinya hanya bertujuan untuk mewujudkan kedamaian dan kerukunan yang menciptakan kesejahteraan semesta. Fakta Kebhinekaan agama di Indonesia, melatarbelakangi adanya prinsip kebebasan beragama tanpa ada paksaan pihak tertentu. Bentuk umum kebebasan dapat meliputi juga kebebasan berekspresi dan kebebasan dari rasa takut. Perwujudan itu dapat kita terapkan dalam bentuk menghormati dan menjunjung tinggi keberagaman.

Sehubungan dengan jaman dan situasi kita Sekarang ini, kesadaran pluralisme yang menjadi syarat mutlak tegaknya demokrasi, perlu dipupuk dalam diri setiap anak bangsa, bahwa perbedaan adalah sebuah keniscayaan dari Tuhan. Tidak dapat menghindar, apalagi mengelak. Kesadaran tentang Bhineka Tunggal Ika, harus terus kita dorong melalui pemerintah dan seluruh elemen masyarakat untuk sama-sama memperjuangkan humanisme yang mengakui hak-hak asasi manusia.

Termasuk kebebasan beragama bagi semua warga negara, tanpa terkecuali. Dalam hal ini, negara berkewajiban untuk menjamin kebebasan beragama di wilayah kekuasaannya. Tanpa membedakan suku, ras, etnis, warna kulit, dan pilihan politik. Begitu juga tidak boleh ada penindasan ekonomi, politik, tradisi, budaya, dan seterusnya, demi terwujudnya keharmonisan dalam keberagaman yang membebaskan.

Sepanjang sejarah peradaban manusia, hanya tampak sedikit manusia saja yang dapat merasakan estetika keberagaman yang membebaskan manusia dari ketertindasan dan belenggu hak asasi. Kita seolah diberi kesempatan sekali lagi untuk mempertahankan kebebasan ketika kebebasan itu sendiri sungguh dalam situasi terancam.

Melalui sejarah selaku hakim tertinggi, mari kita semua melangkah berjuang menjaga dan melindungi estetika keberagaman dalam kebebasan—sebuah karya Tuhan luar biasa indah—dalam keharmoniasan, sebagaimana para Nabi membebaskan umatnya yang mengalami belenggu kekuasaan dan kejumudan.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.