Pribumisasi Islam, Bukan Arabisasi

KolomPribumisasi Islam, Bukan Arabisasi

Ragam budaya Indonesia yang mempesona telah membius dunia harus dilestarikan. Islam sebagai agama yang adapaptif bukan anti, dapat menyelaraskan nilai-nilai ajarannya berdasarkan zaman dan tempat keberadaannya. Oleh karena itu, Islam menjadi agama yang relevan bila diimplementasikan di Indonesia tanpa membrangus tradisi dan keragaman yang menjadi perolehan rahmat Tuhan.

Sejarah wali songo tak bisa lepas dari khazanah peradaban Islam di Indonesia yang ramah dalam menyebarkan ajarannya. Meski sanad keilmuannya jelas dari Arab, tetapi mereka tidak membawakan budaya Arab turut dipraktikkan, selain substansi dari nilai-nilai Islam itu sendiri. Sebab Islam bisa ditengarai sebagai agama yang sempit, kalau hanya dibatasi dengan luas negara dan budaya Arab. Padahal hakikat ajarannya tidak demikian.

Tokoh wali songo merupakan contoh hipotesis positif yang membuktikan semakin islami seseorang Muslim, jiwa nasionalisnya semakin masif. Seorang yang nasionalis tidak akan meninggalkan identitas Tanah Airnya, seperti budaya dan bahasa. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menyebutkan pribumisasi Islam adalah bukan upaya meninggalkan norma demi budaya, melainkan agar norma itu menampung kebutuhan budaya dengan menggunakan metode variasi pemahaman nash dan tetap memberi peluang terhadap peranan ushul fiqh dan qawaid fiqh.

Dalam buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita dinyatakan umat Islam Indonesia dinilai kurang percaya diri karena asyik memikirkan cara untuk mengekspresikan yang diambil dari bahasa Arab. Formalisasi ini, tidak lain kompensasi atas ketidaksiapan untuk bertahan menghadapi kemajuan peradaban Barat. Mereka mem-branding kitab al-Quran dan hadis dengan penafsiran dangkal dan ‘sangat keras’ sekali. Tentu hal ini disebabkan karena mereka tidak pernah belajar agama dan ajaran Islam dengan mendalam yang berpusat pada nilai-nilai etika dan moralitas (2006: 246).

Sebagaimana Rasulullah SAW yang mengkhawatirkan umatnya tentang tiga hal. Dalam kitab at–Targhib karya Imam Al-Hafidz Zakiyuddin Abdul ‘Adzim bin Abdul Qawi al-Mundziri dari Abu Malik al-Asy’ari mendengar beliau bersabda tentang kekhawatirannya pada keberlimpahan dunia menyebabkan manusia iri. Kemudian banyak orang yang bukan ahli al-Quran, tetapi mereka berusaha menafsirkannya. Padahal, ada banyak ayat yang hanya Allah SWT yang mengetahui dan orang berilmu tak berani melangkah lebih jauh memaknainya dan hanya membenarkan. Terakhir ulama diterlantarkan dan tidak dipedulikan. Kekhawatiran yang diprediksikan Rasulullah SAW benar adanya, penafsiran Islam yang tafsirkan dengan dangkal dan keras, melahirkan arabisasi ditengarai sebagai rujukan yang paling absolut bagi mereka yang ingin menjadi Muslim kaffah.

Jubah putih dan hitam, sorban, udeng-udeng, cadar, jihad memerangi non-Muslim, dan anti Barat, Asia, Indonesia dengan batik, kebaya, tahlilan, dan tariannya, yang diakui hanya Arab dan Arab. Perlu kesadaran, memurnikan ajaran Islam tidak dibenarkan dengan cara menyudutkan budaya, suku, bangsa dan hal apapun terkait di luar Timur Tengah. Jika memurnikan Islam dilakukan dengan cara tersebut, maka sama halnya memelintir adagium dari ketentuan al-Quran, Ku jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal (QS. Al-Hujurat: 13). Berlandaskan ayat ini, cara terbaik yang ditawarkan Islam adalah berdamai dengan mengakui pluralitas yang dibawakan oleh agama Islam.

Baca Juga  Muhammad SAW, Nabi Cinta

Adapun yang dikikis Islam adalah segala hal yang mengandung unsur ke-mafsadhatan, termasuk perilaku buruk yang ada di Arab. Sebenarnya, Rasulullah SAW bertolak belakang dengan karakter orang arab yang keras karena sosio-geografis wilayah Timur Tengah yang tandus. Salah satu tradisi Arab sebelum Islam, seperti mendoakan mendoakan keburukan bagi para musuh agar dinistakan, diazab Tuhan. Sedangkan oleh Rasulullah SAW hal ini dikikis, sebagaimana perilaku kasar orang-orang Thaif yang melempari batu kepada belaiu sampai darah segar mengalir dari wajah mulianya. Namun sifat beliau yang lembut dan elegan, justru berbalik mendoakan agar kelak anak-cucu orang Thaif dapat menyembah dan beribadah kepada Allah SWT.

Berikutnya salah satu tradisi Arab jahiliah adalah menjawab orang bersin dengan doa yang terangkum dalam buku Sejarah Arab Sebelum Islam (2019). Oleh Islam tradisi ini dikuatkan dengan anjuran, jika ada seseorang bersin, maka hendaknya mengucap hamdalah, bagi rekannya yang hadir menjawab yarhamukallah. Beranjak dari sini, kita dapat melihat, bahwa Rasulullah SAW selektif dalam melestarikan budaya, yang bernilai buruk dikikis dengan lembut dan bertahap, sementara budaya yang baik dilestarikan.

Imam Ibnu Abidin Asy-Syami (1783-1836) seorang mufti agung Damaskus bermadzhab Hanafi pada masa Turki Usmani, merumuskan argumentasi demi Islam yang mudah dan jembar. Ia mengatakan, hukum-hukum Islam akan berubah karena faktor tak terelakkan (darurat) dan perubahan zaman. Bila hukum Islam akan tetap diberlakukan sama kepada seluruh manusia yang berbeda ‘urf (adat,tradisi) seperti sebelumnya, maka ia akan memberatkan dan merugikan. Karena itu, seandainya hal ini diteruskan, justru bertentangan dengan pilar-pilar Islam yang mempermudah, meringankan, dan mencegah mudharatan serta kerusakan.

Dari pernyataan Imam Ibnu Abidin di atas menegaskan, bahwa Islam meniscayakan kontekstualisasi hukum yang berlandaskan prinsip Islam sebagai agama yang mudah. Jelas demikian, pribumisasi Islam penting diimplementasikan di Indonesia, bahkan di setiap pelosok negeri yang terdapat umat Islam. Sebagai manusia yang berakal dan memiliki hati nurani, tentu kita dapat memilah apa yang baik dan buruk. Jangan memaksakan diri untuk bersikap keras dalam beragama, hingga menyulitkan diri.

Meminjam istilah KH. Musthofa Bisri yang mengutarakan, kita adalah orang Indonesia yang beragama Islam, bukan orang Islam yang kebetulan lahir di Indonesia (18/5/2015). Kiranya ungkapan Gus Mus ini dapat dipahami secara jelas lahir di Indonesia bukan suatu kebetulan tetapi takdir. Sebab itu harus pandai-pandai memahami situasi diri masing-masing.

Kepada bangsa Indonesia menjaga kelestarian budaya dan identitas negara adalah keniscayaan. Cinta kepada Tanah Air adalah bagian dari iman menurut istilah fenomenal Mbah Hasyim Asy’ari. Demikian harapan umat Islam di Indonesia harus percaya diri dengan keagamaan dan budayanya sendiri, pribumisasi Islam bukan Arabisasi. Mulai kini kita berusaha belajar beragama Islam secara damai dan melihat inti nilai Islam sebagai keindahan etika dan moralitas serta tidak mengusik orang lain beribadah. Sayangnya hal ini, kurang diperhatikan oleh kolompok yang enggan belajar Islam dengan ramah, hingga kerap kali melakukan protes dan berefek pada keresahan yang berkepanjangan.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.