Aisyiyah dan Suara Muslimah Berkemajuan

KhazanahAisyiyah dan Suara Muslimah Berkemajuan

Dunia Islam selama ini dikonstruksikan dari perspektif dan pertimbangan laki-laki. Pola pemikiran patriarki Islam, bersumber pada teks fikih klasik disakralisasi dan dianggap absolut. Abou el Fadl mengatakan, ketika penafsiran atau pendapat pribadi dalam teks klasik itu dipandang mutlak, otoritas agama akan berubah menjadi otoriter. Hukum yang otoriter berjalan turun temurun, menjadi polemik di era modern saat ini, khususnya dalam isu perempuan.

Di dalam bukunya Speaking in the God Name, Khaled Abou el-Fadl menjelaskan dua sisi otoritas. Seseorang dapat menjadi ‘di dalam otoritas’ (in authority), atau ‘sebuah otoritas’ (an authority). Laki-laki selama ini berada pada posisi kekuasaan (in authority), menegakkan aturan tertentu untuk masyarakat atas nama Islam. Sedangkan perempuan selalu hanya menjadi ‘an authority’, mereka tidak pernah memegang posisi resmi kekuasaan agama, dalam penafsiran maupun pengambilan keputusan. Pandangan ini lebih dikenal ungkapan ‘perempuan di bawah otoritas laki-laki’.  Posisi ini membuat suara perempuan harus berjuang lebih keras agar interpretasi yang berpihak pada mereka diterima.

Dewasa ini, siapapun yang tergabung dalam komunitas Muslim modern, dituntut untuk peka terhadap suara perempuan. Ziba Mir Hosseini mengungkapkan, suara Muslim yang paling sering didengar adalah suara hukum, sangat otoriter dan patriarkal. Sedangkan, suara perempuan adalah suara egaliter dalam kehidupan sehari-hari, jarang didengar oleh pihak luar atau diakui. Suara atau pendapat perempuan mulai didengarkan dan terlibat dalam otoritas, salah satunya melalui pergerakan dan organisasi.

Melalui pengelompokan diri dan membentuk organisasi, perempuan berhasil memasukan isu-isu mereka kedalam agenda resmi untuk ditanggapi secara serius, termasuk juga kadang mengubah pendapat agama yang sudah tidak relevan. Mereka beroperasi di banyak tingkatan dan di berbagai wilayah masyarakat, sehingga mempersulit upaya apa pun untuk memiggirkan peran mereka. Seperti yang telah dilakukan oleh organisasi Muslimah bernama Aisyiyah yang berdiri sejak 1917.

Aisyiyah berafilisasi dengan organisasi Muhammadiyah yang berdiri 5 tahun lebih awal. Aisyiyah lahir pada masa yang disebut sebagai age of motion, yaitu masa pergerakan. Saat itu bangsa Indonesia mulai sadar akan potensinya sebagai warga negara yang harus merdeka. Suasana dipenuhi dengan optimisme bahwa kemajuan dapat dijangkau oleh orang Indonesia asli, tanpa intervensi penjajah.

Nama Aisyiyah dipilih dengan cermat, terinspirasi dari salah satu isteri Nabi SAW. Aisyah dipercaya sebagai istri kesayangan Rasulullah SAW, ia adalah perempuan cerdas, mandiri dan tidak malu mengungkapkan pendapatnya. Setelah Nabi SAW wafat, Aisyah menjadi pemegang otoritas agama dan mampu berdiri sendiri. Karakter Aisyah inilah yang ingin dihidupkan Muslimah-Muslimah dalam organisasi ini.

Organisasi Aisyiyah sejak awal berkomitmen untuk mendukung kemajuan Muslimah negeri ini. Mereka menggunakan pendidikan sebagai alat utama untuk membawa kemajuan. Aisyiyah mengembangkan strategi pendidikan yang dimulai secara informal, dimulai dengan aksi sosial mengajari melek huruf dan membaca, kemudian tumbuh menjadi sistem pendidikan yang lebih besar hingga saat ini. Aisyiyah juga bergerak di seputar bidang keagamaan, sosial, dan Kesehatan. Organisasi itu berkembang menjadi sebuah organisasi yang peduli perempuan, anak-anak, dan orang tua. Melalui proyek pendidikan dan sosialnya, Aisiyah mempromosikan peran Muslimah di tengah masyarakat.

Baca Juga  Gus Mus: Indonesia Rumah Kita, Indonesia Wajib Dijaga

Pada tahun 1923, Aisyiyah mulai membuka sebuah rumah ibadah untuk wanita di Kauman, memberi perempuan tempat untuk belajar bersama dan mempraktikkan ajaran Islam di luar rumah. Perempuan Kauman saat itu memiliki kemapanan ekonomi, mereka banyak yang memiliki bisnis batik. Perempuan sering melakukan pekerjaan bersama dengan laki-laki, jadi daripada mendakwahkan hak perempuan untuk bekerja, saat itu ‘Aisyiyah mengajarkan bahwa perempuan memiliki hak untuk istirahat dan menolak pekerjaan yang terlalu berat.

Seiring waktu, para pemimpin Aisyiyah telah terlibat dalam penentuan kebijakan resmi. Mereka juga mampu mengembangkan program keluarga yang komprehensif untuk melindungi perempuan dari penderitaan poligami. Mereka belum bisa melarang praktek tersebut, tetapi berhasil melakukan negosiasi dan membuat kesempatan praktik poligami lebih sempit. Tahun 1994, Aisyiyah menerbitkan “Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah” sebagai bagian dari program pendidikan masyarakat.

Program yang mulai disosialisasikan sejak 1985 itu, menunjukkan komitmen Aisyiyah untuk melindungi hak-hak perempuan dalam keluarga atau rumah tangga. Tidak seperti gerakan feminis pada umumnya, Aisyiyah mendukung pandangan bahwa wanita melengkapi pria. Dengan begitu justru agenda dan programnyanya menjadi masuk akal di tengah konteks masyarakat. Wanita yang bekerja berdampingan dengan pria dapat mewujudkan umat Islam sejati.

Sebelum itu, pada Tahun 1972, ‘Aisyiyah juga mengeluarkan pedoman berjudul ‘Adabul Mar’ah’ bagi anggotanya. Pedoman ini menghembuskan ide-ide kemajuang perempuan, khususnya Muslimah. ‘Adabul Mar’ah meyakinkan perempuan untuk dapat otonom, meluruskan pemahaman agama yang menjadi penghalang kemajuan dan keberdayaan perempuan. Perempuan dibolehkan menjadi pemimpin di wilayah publik, hakim di Pengadilan Agama, dan aktif berorganisasi. Aisyiyah memastikan keimanan dan kesalehan bukan dari ukuran jenis kelamin tertentu tetapi yang paling bermanfaat  bagi  semesta. antara perempuan dan laki-laki harus bekerja sama secara koperatif sebagai khalifah di bumi.

Dengan demikian, Aisyiyah adalah suara kemajuan Muslimah yang bergema di negeri ini. Mereka berhasil menjadi apa yang disebut el Fadl sebagai in authority. Aisyiyah senantiasa melakukan ikhtiar yang menguatkan posisi perempuan dan meningkatkan signifikansinya sebagai partner sejajar laki-laki.  Aisyiyah adalah organisasi yang besar dan kompleks, banyak aspek-aspek penting yang belum diungkapkan. Namun, berdasarkan potongan jejak sejarah di atas, organisasi yang telah berdiri selama 104 tahun ini, secara konsisten mengembangkan karya dan interpretasinya sesuai dengan perkembangan kemajuan Muslimah. Aisyiyah senantiasa menyuarakan kemajuan Muslimah.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.