KH. Wahab Hasbullah, Sang Ulama Nasionalis

KolomKH. Wahab Hasbullah, Sang Ulama Nasionalis

Tanggal 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan. Peringatan ini dimaksudkan untuk memantik jiwa nasionalis generasi bengsa yang sudah mulai terkikis akibat arus globalisasi. Sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan, tidak bisa dilepaskan dari peran para tokoh Islam, mereka bergerak dan mengambil peran penting dalam mendorong perlawanan terhadap penjajah dan merebut kemerdekan, salah satunya yakni KH. Wahab hasbullah yang merupakan seorang kiai nasionalis, dan seorang pembela negara dan bangsa ini sepanjang hidupnya.

Kiai Haji Abdul Wahab Hasbullah, lahir di Jombang pada 31 Maret 1888. Ayahnya bernama KH. Hasbullah Said, seorang pengasuh Pesantren Tambakberas di Jombang, Jawa Timur, sedangkan ibunya bernama Nyai Latifah. Ia disematkan gelar sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada 7 November 2014 oleh Presiden Joko Widodo.

Kiai Wahab merupakan pendiri Nahdlatul Ulama (NU), dan merupakan seorang pelopor kebebasan berpikir di kalangan umat Islam Indonesia, yang menekankan pentingnya kebebasan dalam keberagaman terutama kebebebasan berpikir dan berpendapat. Oleh karena itu, ia membentuk forum diskusi yakni Tashwirul Afkar yang berarti pergolakan pemikiran, di Surabaya pada tahun 1914 M.

Forum diskusi Tashwirul Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren. Namun, juga menjadi media komunikasi dan forum saling tukar pikiran antara generasi muda dan tua. Dengan membentuk Tashwirul Afkar, KH. Wahab Hasbullah telah memberikan contoh kepada generasi penerusnya bahwa prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat bisa dijalankan dalam nuansa keberagaman yang kenal.

Langkah konkrit dari forum diskusi Taswirul Afkar adalah pendirian kelompok kerja yang diberi nama Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) bersama KH. Mas Mansyur pada 1916. Organisasi ini berorientasi pada pendidikan para pemuda. Ide tersebut mendapat sambutan hangat dari sejumlah tokoh masyarakat, diantaranya H.O.S Tjokroaminoto, Raden Panji Seoroso, Soendjoto (seorang arsitek terkenal masa itu) dan KH. Abdul Kahar (seorang Saudagar terkemuka) yang kemudian menjadi penanggung jawab pembangunan gedung Nahdlatul Wathan. Akhirnya Nahdlatul Wathan bergerak dalam pendidikan dan pembinaan kaum muda.

Nahdlatul Wathon sebagai wadah para pemuda NU yang dijadikan markas penggemblengan para pemuda. Mereka dididik untuk menjadi pemuda yang berilmu dan cinta tanah air, setiap hendak dimulai kegiatan belajar, para murid diharuskan terlebih dahulu menyanyikan lagu perjuangan dalam bahasa Arab, yang telah digubah oleh Kiai Wahab dalam bentuk sya’ir, yang sekarang lebih kita kenal dengan mars Ya Lal Wathan.

Kemudian, dalam memperkuat pergerakan ini, Kiai Wahab juga mendirikan Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Saudagar) yang berfungsi sebagai pusat penggalangan dana bagi perjuangan pengembangan Islam dan kemerdekaan Indonesia pada 1918. Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, sedangkan Kiai Wahab menjabat sebagai sekretaris sekaligus bendahara. Hal ini dikarenakan melihat kondisi bangsa yang pada saat itu mengalami kemerosotan hidup, baik dari segi ekonomi, pendidikan, maupun kemerdekaan karena penindasan dari para penjajah.

Baca Juga  Resolusi Jihad Santri Melawan Kepandiran

Ketika Kiai Wahab pulang dari Mekkah, ia begitu antusias menghadapi permasalahan-permasalahan Tanah Airnya, ia sangat bersimpati dengan keadaan masyarakat yang memang sudah lama menderita karena penjajahan, dan ia tersadar bahwa bangsa ini harus keluar dari permasalahan ini. Kiai Wahab adalah cerminan salah satu Kiai moderat yang selalu mementingkan kebutuhan rakyat banyak tapi dengan jalan tengah atau damai.

Berawal dari sebuah tim khusus untuk memenuhi undangan Raja Saud di Hijaz guna menghadiri muktamar seluruh dunia Islam. Kemudian, Kiai Wahab membentuk Komite Khilafat yang beranggotakan para ulama pesantren, dengan nama Komite Hijaz atas izin KH Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari. Komite ini bertujuan untuk mencegah cara beragama model Wahabi yang tidak toleran dan keras kepala, yang dipimpin langsung oleh Raja Abdul Aziz Ibnu Saud.

Hal ini disebabkan pada 1926 Raja Saud akan memberlakukan aturan di Mekkah dengan menggunakan salah satu dari empat madzhab yaitu madzhab Wahabi, jika ada seseorang bermadzhab selain Wahabi, maka dilarang masuk kota Mekkah, dan jika terbukti melanggar dia akan ditangkap. Dari peristiwa tersebut maka dibentuknya Nahdlatul Ulama yang artinya adalah kebangkitan para ulama pada 31 Januari 1926.

Selain motif agama, NUlahir karena dorongan untuk kemerdekaan negara Indonesia. Para ulama berusaha membangunkan semangat nasionalisme melalui berbagai kegiatan keagamaan dan pendidikan, yang maksud dan tujuannya adalah untuk melepaskan belenggu penjajah yang telah berhasil mencengkeram Tanah Air Indonesia selama hampir tiga setengah abad.

Dengan demikian, perjuangan Kiai Wahab dalam melawan penjajah merupakan bentuk kecintaannya terhadap Tanah Air, karena bagi ia cinta Tanah Air (nasionalisme) adalah sebagai bagian dari iman (Hubbul Wathan Minal Iman). Selain itu, ia juga sosok Kiai yang dapat membangkitkan semangat kaum muda untuk membela bangsa dari penjajahan.  

Jika ulama dikatakan sebagai warisan atau pengganti nabi, maka sudah seharusnya suri tauladan kecintaan ulama seperti Kiai Wahab kepada agama dan negara, menjadi hal yang pantas kita lanjutkan. Mencintai Tanah Air merupakan harga mati bagi setiap insan. Mencintai Tanah Air tidak hanya dilakukan dalam bentuk ucapan, melainkan, termanifestasi dalam perilaku, dan moral. Dalam menyambut Hari Pahlawan yang ke 75 ini, mari kita teruskan perjuangan Kiai Wahab dalam mengobarkan semangat cinta Tanah Air.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.