Argumen Teologis Pluralisme dan Toleransi

KolomArgumen Teologis Pluralisme dan Toleransi

Dalam konstelasi kehidupan global, pluralisme merupakan sebuah keniscayaan. Terlebih, dalam konteks Indonesia, pluralisme adalah entitas dari Indonesia itu sendiri. Namun, keniscayaan pluralisme tersebut, telah menimbulkan pro-kontra, terutama di kalangan agamawan. Majlis Ulama Indonesia (MUI) misalnya, pernah mengeluarkan sebuah fatwa keharaman pluralisme. MUI berpretensi, bahwa pluralisme bertentangan dengan ajaran agama Islam. Menafikan pluralisme berarti menafikan toleransi, karena toleransi dibangun di atas pluralisme. Padahal, sebenarnya, pluralisme dan toleransi memiliki dasar teologis yang sangat kuat.

Menurut Moh Shofan (2011), pluralisme merupakan upaya membangun kesadaran yang bersifat teologis dan juga membangun kesadaran sosial. Hal itu berdampak pada kesadaran bahwa manusia hidup di tengah masyarakat yang plural dari segi agama, budaya, etnis, dan berbagai keragaman sosial lainnya. Karenanya, dalam pluralisme mengandung konsep teologis sekaligus konsep sosiologis.

Sementara Syamsul Ma’arif (2005) menyebutkan, pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Dengan kata lain, pluralisme adalah toleransi keragaman etnik, suku, agama, kepercayaan atau kelompok-kelompok kultural dalam suatu masyarakat dan negara.

Dengan demikian, pluralisme adalah bentuk penerimaan terhadap keragaman dan kemajemukan dalam suatu masyarakat, negara, atau dunia secara keseluruhan. Pluralisme harus melindungi kesetaraan dan munumbuhkan rasa persaudaraan di antara manusia, baik sebagai individu maupun kelompok. Pluralisme juga menuntut upaya untuk memahami pihak lain dan bekerja sama untuk mencapai kebaikan bersama. Pluralisme berarti semua manusia dapat menikmati hak dan kewajibannya secara setara dan sama dengan manusia lainnya.

Dalam sejarahnya, istilah pluralisme pertama kali muncul pada masa yang disebut Pencerahan (Enlightenment) Eropa, tepatnya pada abad ke-18. Masa ini juga disebut sebagai titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern. Masa ini diwarnai dengan gagasan-gagasan baru pemikiran manusia yang berorientasi pada superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan doktrin agama. Lalu, munculah paham liberalisme yang di dalamnya memuat gagasan-gagasan tentang kebebasan, toleransi, persamaan, dan keragaman atau pluralisme (Anis Malik Toha, 2005: 16).

Pada dasarnya, pluralisme ini lahir atas dasar argumen teologis, sebagaimana dikatakan oleh Gamal al-Banna, bahwa tauhid artinya adalah hanya Tuhan yang tunggal. Segala sesuatu selain Tuhan pasti beragam. Alam semesta, etnis, suku, bahasa, bangsa, komunitas masyarakat, dan ajaran agama pasti beragam, tetapi Tuhan itu tunggal, tidak ada persamaannya. Dengan demikian, siapapun yang mengakui ke-Esa-an Tuhan, maka dia harus mengakui keragaman agama.

Kerangka teologis pluralisme di atas memiliki konsekuensi logis, bahwa Tuhan telah menciptakan keragaman agama dalam rangka untuk mencari titik temu, bukan mencari titik beda, apalagi titik tengkar. Titik temu agama tersebut bisa dipahami dari paham ketauhidan, hari akhir dan amal saleh. Sejauh agama-agama tersebut mengusung ketiga pesan di atas, maka sesungguhnya agama-agama telah membawa misi yang sama.

Argumentasi teologis tersebut di atas, juga diperkuat oleh prinsip dalam Islam, bahwa al-Quran adalah kitab pluralis yang mengajarkan keragaman. Hal ini didasarkan pada Q.S. al-Baqarah ayat 256, yang dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam agama, Q.S. al-Baqarah ayat 62, yang menyatakan Tuhan pun berjanji akan memberikan tempat yang sama kepada semua pemeluk agama di akhirat nanti, yaitu tempat yang tidak ada kesedihan dan ketakutan sedikitpun, dan Q.S. al-Kahfi ayat 29, yang menegaskan terkait kebebasan dalam berkeyakinan, “Barangsiapa ingin beriman, maka berimanlah. Dan barangsiapa ingin tak beriman maka kafirlah.”

Baca Juga  Menyelami Makna Sa’i

Spirit pluralis tersebut juga diperkuat oleh semangat Piagam Madinah yang dibuat oleh Rasulullah SAW bersama kaum Muhajirin dan Anshar yang mewakili Islam, dan juga Yahudi, Nasrani, serta Majusi. Rasulullah membuat Piagam Madinah dalam rangka membangun masyarakat yang plural dan majemuk, yang berbeda-beda suku dan agama menjadi ummatan wahidah (umat yang satu). Umat Muslim beserta pemeluk agama lainnya berhak menjalankan keyakinan masing-masing tanpa ada diskriminasi, bahu-membahu, dan saling menjaga keamanan dalam menghadapi ancaman dari luar.

Piagam madinah yang sangat menjunjung tinggi pluralisme dan perbedaan, pada akhirnya telah melahirkan toleransi. Piagam Madinah adalah terobosan terbesar toleransi dan puncak toleransi yang pernah dibangun Rasulullah SAW. Piagam Madinah secara eksplisit merupakan upaya yang sungguh-sungguh dari Rasulullah SAW untuk membangun toleransi di tengah masyarakat yang plural, majemuk, dan berbeda suku dan agama.

Dalam konteks MUI, fatwa MUI yang menyatakan pluralisme haram tentu keliru. MUI berlasan, pluralisme adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar, sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.

Pada kenyataannya, pluralisme merupakan ajaran yang bersumber dari ajaran Islam itu sendiri. Seperti yang penulis sebutkan di atas, barangsiapa yang mempercayai ke-Esa-an Tuhan, maka dia harus mengakui keragaman atau pluralisme. Pluralisme sebenarnya berusaha mengajak kita agar lebih realistis, bahwa pada hakikatnya agama-agama adalah berbeda. Perbedaan tersebut bisa dilihat dari segi penghayatan agama (syari’at) dan yang lebih penting adalah dimensi simbolik dan sosiologisnya.

Pluralisme sejak awal juga mengakui bahwa agama-agama pada hakikatnya adalah berbeda antara satu agama dengan agama yang lain. Yang menjadi pertanyaan, apakah karena perbedaan tersebut kita dibolehkan untuk saling membenci dan menebarkan konflik antara satu agama dengan agama yang lain?

Di sinilah pluralisme mulai menunjukkan relevansi dan signifikansinya. Pluralisme hadir dalam rangka membangun toleransi di tengah perbedaan dan keragaman tersebut. Menafikan pluralisme berarti menafikan toleransi, karena toleransi dibangun di atas pluralisme. Toleransi diperlukan dalam perbedaan dan keragaman. Bila semua sama, maka toleransi tidak diperlukan lagi. Toleransi berarti, meskipun kita tidak setuju dan tidak sependapat, tetap rukun satu sama lain sebagai manusia. Sebab, setiap orang terikat oleh firman Tuhan la ikraha fi al-din.

Pluralisme memandang, karena perbedaanlah pada umumnya manusia lebih mungkin untuk berseteru dan berkonflik antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Karenanya, diperlukan pluralisme untuk menjadikan perbedaan sebagai potensi dalam membangun toleransi. Bahkan, lebih dari itu, untuk memajukan masyarakat dari keterbelakangan dan keterpurukan. Tugas kita semua untuk mewujudkan masyarakat yang lebih maju dan berkeadaban melalui jembatan pluralisme dan toleransi tersebut.

Dengan demikian, landasan pluralisme dan toleransi tidak perlu dipertanyakan lagi. Sebab, sudah jelas bahwa pluralisme dan toleransi memiliki argumen teologis yang sangat kuat, yang bersumber dari ajaran agama itu sendiri. Karenanya, pluralisme dan toleransi harus menjadi landasan kita dalam membangun bangsa dan negara, serta membangun dunia yang lebih pluralis, toleran, humanis, anti-diskriminasi, dan anti-kekerasan.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.