Makna Sifat Keibuan dalam Islam

KolomMakna Sifat Keibuan dalam Islam

Pemandangan tentang keunikan tingkah ibu-ibu dalam kesehariannya, memberikan warna-warni ceria di negeri ini. Di sekitar kita, ibu-ibu nampak memiliki kreativitas dan ketangguhan yang tidak ada habisanya, seperti menggotong belanjaan yang overload sambil mengendarai motor, menjalankan kegiatan majelis ta’lim sambil mengasuh anaknya yang masih kecil, dan tentu saja, bekerja mencari nafkah tambahan sambil terus mengawasi dan memerhatikan keluarga.

Ibu merupakan sosok yang sangat istimewa, khususnya bagi setiap anak. Siang ini, beberapa teman diminta mengungkapkan arti seorang ibu. Bagi Ayu, Ibu merupakan sosok yang belajar sekaligus mendidik anak-anaknya. Balqis, mengibaratkan Ibu sebagai rumah tempat pulang. Ada pula Khalila, yang mengungkapkan bahwa Ibu adalah poros bagi keluarga, semua hal tidak pernah luput dari pandangan ibu. Bagaimanapun ibu didefinisikan, konotasinya selalu positif. Tidak ada yang dapat diingat dari seorang ibu selain cinta dan perhatiannya, karena memang itulah yang melandasi setiap perannya bagi keluarga.

Kekuatan kasih sayang seorang ibu dalam mengemban berbagai aktivitas dan tanggungjawab yang selama ini nampak jelas dalam keseharian kita, merupakan kualitas khusus yang diberikan oleh Tuhan bagi para wanita. Para pemikir Islam mengakui bahwa al-Quran mengistimewakan peran keibuan. Dalam al-Quran, Allah SWT mengakui tugas-tugas dan pengorbanan yang sulit dari para ibu. Al-Quran kerap mengacu pada tugas ibu dalam mengandung, melahirkan, dan komitmennya untuk menyusui.

Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.” (QS. Luqman: 14)

Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tuanya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan… (QS. Al-Ahqaf: 15)

Dalam beberapa ayat yang memerintahkan untuk berbakti kepada orang tua tersebut, peran khusus seorang ibu selalu lebih diperinci. Hal demikian menciptakan narasi yang menyentuh bagi siapapun yang menghayatinya, sebab, setiap orang terlahir dari kapasitas keibuan ini.

Selain itu, al-Quran juga menggariskan pembagian waris bagi ibu agar sama besar jumlahnya dengan bagian ayah, bahkan jika si mayit tidak memiliki anak, maka ibu mendapat dua kali bagian ayah (QS. al-Nisa: 11), hal ini menyuratkan apresiasi yang besar bagi para ibu. Beberapa tokoh wanita yang diabadikan di dalam al-Quran pun merupakan seorang ibu. Seperti Maryam ibu Nabi Isa, Asiyah ibu angkat Nabi Musa, ibu kandung Nabi Musa, dan Imra’atul Imran Ibu siti Maryam. Kisah peran mereka sebagai seorang ibu ditonjolkan dalam al-Quran bahkan tanpa peran suami mereka. Keibuan merupakan suatu kualitas yang, bagi para sufi khususnya, sangat jelas menggambarkan sifat ketuhanan (rabb) yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Banyak mufassir dan pemikir Islam mengutip hubungan etimologis antara sifat utama Allah ‘al-Rahman’ dengan rahim (peranakan) yang dimiliki wanita. Sifat Allah sebagai al-Rahman dan al-Rahim sangat dikenal karena muncul berulang-ulang di setiap awal surat, kecuali surat di at-Taubah. Dalam bahasa Arab, kata rahim berasal dari akar kata yang sama dengan rahm (belas kasih) dan Rahman (Maha Penyayang). Hal itu mengisyaratkan keistimewaan yang sangat luar biasa atas potensi keibuan. Asma Barlas, salah satunya, dalam buku Believing Women in Islam menjelaskan bahwa dengan begitu al-Quran bukan saja membawa ibu ke wilayah signifikasi simbolis yang dimiliki Tuhan, tapi Ia juga mengistimewakan ibu. Pemaknaan ini tentu selaras dengan perkataan Nabi SAW yang mendahuluhan ibu tiga kali dari ayah.

Baca Juga  Hidup Islami dengan Ramah Lingkungan

Kedekatan antara Allah dan seorang ibu diakui karena keduanya terlibat dalam proses penciptaan dan keduanya menunjukkan kasih sayang. Hubungan dinamis antara ketuhanan dan keibuan yang dicantumkan dalam al-Quran membawa sosok ibu sebagai sosok yang dimuliakan dalam masyarakat Muslim. Hal itu sejatinya bersumber dari kenyataan bahwa atribut ilahi al-Rahman dan al-Rahim diwujudkan dalam rahim ibu, dengan demikian ibu memiliki sebagian energi dari daya cipta Tuhan. Dalam suatu hadis, dibuat perbandingan antara rahmat Tuhan dan rahmat seorang ibu,

Salman mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, “sesungguhnya Allah menciptakan, pada hari yang sama ketika Dia menciptakan langit dan bumi, seratus bagian rahmat. Setiap bagian dari belas kasihan adalah sama luasnya dengan ruang antara langit dan bumi. Dan Dia dari rahmat ini menganugerahkan satu bagian ke bumi, dan karena itulah ibu menunjukkan kasih sayang kepada anaknya…” (HR. Muslim no. 2753)

Dari sekian keistimewaan sifat keibuan ini, dapat dipahami bahwa cinta kasih dan pengorbanan seorang ibu sangatlah besar dan kuat, ia merupakan wujud yang memantulkan kasih sayang Tuhan lebih sempurna dari ciptaan lainnya. Maka dari itu, sudah selayaknya seorang ibu memperoleh bakti dan hormat yang setinggi-tingginya. “karena kelembutan ibu berasal dari tuhan, merupakan kewajiaban suci dan tugas mulia bagi kita untuk berbakti kepadanya”, demikian ucapan Rumi dalam kitab Masnawinya yang dikutip dari Annemarie Schimel.

Peran khusus keibuan yang secara eksplisit digambarkan dalam al-Quran adalah peran biologisnya, sebuah potensi alamiah yang tidak mungkin digantikan oleh ayah. Di luar aspek biologis ini, berarti di ranah sosiologisnya, peran keibuan dan kebapakan harus seimbang dalam mengasuh anak, bahkan seorang ayah harus berusaha lebih baik demi mengimbangin ibu yang telah berperan penuh dalam proses mengandung, melahirkan dan menyusui anaknya. Amina Wadud dalam bukunya Quran and Women mengatakan bahwa meskipun korelasi antara wanita dan melahirkan anak tersurat dalam al-Quran, semua fungsi lain yang berhubungan dengan pengasuhan anak, tidak pernah digambarkan sebagai karakter yang diciptakan khusus bagi wanita seorang. Jadi, referensi al-Quran terbatas pada fungsi biologis ibu, bukan persepsi psikologis dan budaya tentang ‘mengasuh’.

Oleh sebab itu, segala macam peran ibu kita yang mengasuh, merawat, dan mengurus rumah keluarga selama ini, merupakan amal shalih dan jasa ekstra para ibu. Hal demikian, tentu membuat tuntutan apresiasi dan penghormatan kita kepada ibu semakin bertambah-tambah besarnya. Makanya, orang arif berkata bahwa sebesar apapun bakti kita, tidak dapat membalas jasa seorang ibu.

Dengan demikian, sifat keibuan merupakan suatu kualitas yang sangat mulia dan diistimewakan secara khusus dalam Islam. Konstruksi kultural yang menuntut ibu untuk berperan penuh dalam ranah domestik merupakan peran ‘lebih’ yang ditanggung seorang ibu, al-Quran pada dasarnya menciptakan ruang yang terbuka dan tidak memaksakan peran itu bagi wanita. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa ibu-ibu di negeri ini merupakan para ibu yang sangat luar biasa, karena mereka rata-rata mengerjakan berbagai peran ekstra dengan setulus hatinya. Semoga semua ibu kita mendapat keberkahan dan balasan surge dari-Nya. Amin.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.