Peradaban Agama Pasca-Kebenaran

KolomPeradaban Agama Pasca-Kebenaran

Pada hakikatnya, semua agama itu baik dan mengajak kepada kebaikan. Namun, dalam perjalanannya tidak semua yang dianggap baik itu bisa bertemu dan seiring sejalan. Bahkan, sekali waktu dapat terjadi inkompatibel antara yang satu dengan yang lain. Alasannya, banyak yang melatarbelakangi. Meminjam istilah Imam Syafi’i, pendapatku benar, tetapi berpotensi salah, sementara pendapat orang lain salah, tetapi berpotensi benar.

Agama telah membawa sejarah panjang dalam peradaban dunia. Dari masa ke masa, agama selalu menjadi bagian penting dari peradaban. Namun, nampaknya, agama sebagai pembawa kebenaran mulai teralpakan oleh orang-orang era ini. Era di mana kebenaran tidak lagi dilihat dalam konteks agama, tetapi massa. Selaras dengan apa yang pernah dikatakan Jenderal Joseph Goebels, seorang propagandis Nazi, bahwa kebohongan yang disampaikan satu kali akan diingat sebagai kebohongan, namun kebohongan yang disampaikan berulang kali akan dianggap sebagai kebenaran. Hal ini terjadi tidak lain karena pengaruh dari revolusi digital dan globalisasi. Steve Tesich menyebutnya dengan Post-Truth era.

Post-Truth atau Pasca-kebenaran adalah budaya politik yang pergulatannya lebih mengutamakan emosinal daripada intelektualitas dan kebijakan. Sementara itu, Ralph Keyes dalam bukunya The Post-truth Era: Dishonesty and Deception in Contemporary Life (2004) dan komedian Stephen Colber mempopulerkan pasca kebenaran sebagai sesuatu yang seolah-olah benar, meski tidak benar sama sekali. Era baru, di mana fakta dan opini diejawantahkan sehingga kita tidak dapat lagi melihat, mana fakta dan mana opini. Dulu, kita hanya tahu benar dan palsu, jujur atau bohong. Sekarang, kita memaafkan orang yang menambah fakta dengan bumbu kebohongan.

Hal demikian memang benar adanya, kebenaran tidak lagi dianggap sebagai kebenaran yang sesungguhnya, sebagaimana agama-agama ajarkan. Kebenaran hanya dianggap benar oleh individu atau sekelompok orang dengan pariasi kepentingannya, bukan objektivitasnya. Hal ini jelas bukan persoalan remeh, bahkan dapat menjadi persoalan dan ancaman besar bagi peradaban bangsa ke depan, khususnya agama yang secara moral mengemban kebenaran.

Jika dilihat dari historis pun, istilah pasca-kebenaran diungkapkan oleh Steve Tesich di majalah The Nation, ketika ia merefleksikan kasus Perang Teluk dan kasus Iran yang terjadi pada 1992. Tesich menggarisbawahi, bahwa “kita sebagai manusia yang bebas, punya kebebasan menentukan bahwa kita ingin hidup di dunia post-truth” . Perang yang diawali dengan drama kebohongan terhadap kesaksian seorang anak itu, telah menjadi cikal-bakal penderitaan panjang Irak hingga kini. Tidak hanya sampai di situ, nyatanya, kebohongan terus subur menjadi pemercik kebencian dan perpecahan hingga kini.

Mirisnya, kejadian yang sama sekali tidak mencerminkan kemanusiaan itu tidak hanya terjadi di bangsa-bangsa Arab dan Barat, tetapi juga di Indonesia. Hoaks atau kabar bohong yang merupakan anak biologis dari era pasca kebenaran telah menjangkit dalam sendi-sendi masyarakat kita. Masyarakat yang katanya masyhur dengan ramah, gotong-royong, andhap asor, dan beragama. Kabar bohong kembali mengalami kebangkitan di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Pada hakikatnya, berita-berita palsu yang berhamburan di media sosial saat ini tidak jauh berbeda dengan propaganda hitam berabad-abad lalu dalam misi memicu perang dan kebencian. Sebuah strategi dalam mengasong aksi massa untuk membumikan sebuah kebohongan. Karena, sebagaimana Joseph Goebels semakin banyak orang percaya, semakin nyata juga sebuah kabar. Contoh nyata adalah saat pergulatan pilkada di DKI Jakarta 2017, saat itu berita bohong bertaburan di mana-mana. Berita bohong dengan balutan agama dan narasi yang indah, membahana, dan membuai.

Baca Juga  Pentingnya Kesalehan Sosial dalam Beragama

Dampaknya, persaudaraan antar sesama tak lagi indah, kebencian merajalela, dan fatalnya tidak hanya merenggut nyawa, tetapi juga menciderai nama Indonesia sebagai bangsa yang harmonis dan beragama. Teranyar, berita bohong dan pencemaran nama baik tentang NU oleh Sugik Nur yang diamini para pengikutnya. Ia dengan serampangan menjustifikasi NU dengan tanpa terlebih dahulu melihat kebenaran dari NU itu sendiri.

Pun demikian dalam kasus yang terjadi di Prancis baru-baru ini, jika kita tidak dapat melihatnya dari beberapa sumber dan sisi, sudah dipastikan persoalan itu akan menjadi kebencian yang mengakar. Persoalan agama adalah persoalan yang rumit dan kompleks. Jika kita tidak dapat menyikapinya dengan arif maka yang akan terjadi adalah keburukan.

Oleh karena itu, adanya agama-agama di dunia adalah sebagai simbol kemerdekaan dan pembebasan dalam bingkai kemanusiaan dan kebenaran. Tidak ada agama yang memperbolehkan umatnya mencerca umat agama lain, pun tidak ada agama yang menghalalkan umatnya membunuh sesama umat beragama. Dalam menyelesaikan persoalan dunia mestinya kita dapat melihatnya dalam dua kaca mata, rasional dan empiris, bukan malah dengan emosional.

Walau secara tegas Plato dan Aristoteles berbeda menyikapi relasi antara rasioanalias dan empirik dalam konteks pengetahuan. Namun, di tengah silang sengketa antara rasionalitas dan empirik, Immanuel Kant hadir mencarikan titik temu keduanya dalam diskursus epistemologi. Menurut Kant, baik rasionalitas maupun empirik terlalu ekstrem dalam memposisikan rasio dan pengalaman inderawi sebagai sumber utama pengetahuan manusia dengan saling menafikan satu sama lainnya. Melalui logika transendentalnya, ia mengupayakan sebuah prior research untuk menemukan jalan tengah yang mengakomodasi secara proporsional dan berimbang antara rasionalisme maupun empirisisme. Kerangka filosofis yang digagas oleh Kant itulah yang kemudian kita kenal dengan diskursus filsafat “kritisisme.”

Kant mengajarkan kita untuk selalu kritis dalam segala persoalan, tidak untuk serampangan menyimpulkan, yang dampak terburuknya adalah menciptakan perpecahan. Apalagi, tentang kebohongan dan perpecahan yang jelas-jelas dikutuk dalam agama. Agama, sebagai simbol peradaban yang membawa ruh keadilan, kemanusiaan, dan kebenaran seakan redup di era pasca-kebenaran. Agama tidak lagi menjadi pionir kebebasan karena segelintir umatnya yang fundamentalis. Agama dicap sebagai sumber kehancuran, perpecahan, dan kemunduran suatu tatanan bangsa-negara.

Padahal, nyatanya tidak seperti itu. Kiai Masdar (2020) mengatakan sebaliknya, agama harus menjadi basis moral dalam setiap persoalan, kehidupan sosial, dan praktik kenegaraan. Agama yang dalam sejarahnya telah lalu-lalang dan campur tangan menciptakan peradaban dunia yang epik harus dihadirkan kembali menjadi ruh dalam menciptakan keadilan dan kemerdekaan.

Karena itu, di era pasca kebenaran yang semrawut dengan persoalannya ini agama mesti hadir dalam menciptakan peradaban baru, kembali dengan khittahnya menjunjung tinggi kemanusiaan serta objektivitas kebenaran, tidak malah untuk diam membiarkan perpecahan.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.