Melawan Radikalisme Dengan Humor

KolomMelawan Radikalisme Dengan Humor

Di era kekinian humor menjadi jurus jitu untuk menghibur dan juga mengkritisi. Humor yang dibawakan oleh komedian era sekarang banyak menyingung sosial dan politik, namun sangat jarang menemui humor yang mengkritisi paham radikalisme.

Joke yang dilontarkan oleh komedian di terima dengan baik oleh masyarakat, terlihat dari berbagai acara media televisi dan media maenstream seperti Youtube, Facebook, Tweeter, dan Instagram setiap video rata-rata di tonton lebih dari ratusan ribu. Hal ini mengambarkan bawha humor mampu mengeser konten-konten bernuansa kekerasan, radikalisme, dan terorisme di media.

Pada awalnya komedian memiliki konotasi yang kurang baik, namun budaya humor masyarakat sudah di bangun sejak berabad-abad di Indonesia seperi, Ludruk, Wayang Golek, Ketoprak, Wayang Kulit, Wayang Orang, dan komedi modern seperti Stand Up Comedy. Piawainya komedian membawa narasi seperti sosial, ekonomi, politik, hinga agama menimbulkan gelak tawa tanpa ada perdebatan setelahnya.

Tidak jarang juga membawakan tema-tema kekerasan beragama dengan sisipan narasi komedi kekinian, seperti kata pepatah melayu ‘bak mengajar tanpa memukul’. Dalam situasi seperti sekarang yang penuh ketegangan antara kelompok fundamentalis, ektrimis, dan terorisme sangat diperlukan orang yang paham membaca situasi dan juga humoris, mengingat ketegangan bukan sekadar masalah pemahaman agama namun juga sempitnya cara berpikir dan kurang bisa menerima pemahaman orang lain.

Dalam Islam, humor bukanlah hal yang baru bahkan menjadi berhubungan erat antara kontruksi umat. Berbagai rujukan dalam Islam bisa di temukan dalam hadis Nabi Muhammad SAW dan syair para syufi, terkadang memiliki kandungan humor.  Pernah dikisahkan bahwa Nabi Muhammad SAW tertawa sampai gigi gerahamnya terlihat karena bercanda dengan para sahabatnya (Roseanthal: 1956). Tentunya candaan Nabi Muhammad SAW, merupakan candaan yang bernas dan bermutu, tanpa mengejek, mengolok-olok, ataupun menghina.

Pada Islam abad pertengahan masih bisa jumpai sejarahnya, dimana masyarakat masih memerlukan tokoh-tokoh komedian, sebagai pemikir dan juga sebagai pengkritisi setiap problem sosial dengan guyonan yang khas seperti Abu Nawas di masa Khalifah Harun Al Rashid dari Dinasti Abassiyah. Demikian juga pada masa Turki Utsmani, kita mengenal satiris Nasharudin Hoja yang terkenal dengan kritik sosial yang ia sampaikan melalui humor yang cerdas.

Dalam konteks lokal, Indonesia masih memiliki Mukidi dan Group Warkop DKI yang membawa kritik sosial dengan santun, mereka di pandang berhasil mengkritis dengan cerdas melalui candaan yang segar, di era-era modren berbagai nama seperti komedian Muhammad Abdur, Ia berhasil mengkritisi problem minoritas dengan gaya bahasa candaan Indonesia Timur.

Baca Juga  Buya Arrazy Hasyim: Laparkan Jiwa untuk Mendidiknya

Lantas mengapa kian hari selera humor umat Islam kian rendah? Menurut Franz Roseanthal, penulis buku Humor in Early Islam (1956), semakin rendahnya selera berhumor umat Islam berjalan seiring menjalarnya paham Wahabi yang semakin membesar di awal abad ke-20. Kebiasaan kelompok Wahabi untuk hanya mengutip ayat atau hadis yang keras dan mengancam sangat mempengaruhi cara pandang kelompok ini terhadap humor. Sejalan dengan hal tersebut, kelompok Islam puritan (literalist) yang mengkotak-kotak paham agama terhadap tekstual tanpa mengetahui konteksnya, sehingga sangat mudah mengharamkan sesuatu dan meredupkan cara pandang Islam terhadap humor, lebih-lebih mereka mengunakan dalil seperti ‘Fal yadh haku qalila wakyabku katsira’ (hendaklah kalian sedikit tertawa dan banyak menangis)”,

Dikalangan Nahdiyyin, humor menjadi bumbu penyedap dalam berbagai kajian dan lainnya, jika berbicara Nahdiyyin maka tidak lengkap jika tidak menyertakan nama KH. Aburrahman Wahid (Gus Dur) Ia merupakan tokoh pembahruan NU dan ulama NU yang memiliki selera humor yang tinggi. Candaanya yang paling melekat seperti “Gus, ada yang mengkafir-kafirkan njenengan, gimana ini?” Bukannya marah atau tersinggung, Gus Dur malah dengan enteng menjawab, “Lho ya enggak apa-apa, tinggal ngucapin dua kalimah syahadat lagi, sudah Islam lagi.

Selera humor seperti Gus Dur sangat langka di temui era sekarang. Melihat umat Islam sekarang yang sangat sensitif dan mudah di adu-domba oleh pihak lain, apalagi terkait permasalahan agama Islam. Bercermin kepada kontruksi masyarakat yang serba sensitif tersebut sangat sulit untuk berguyon apalagi untuk di kritisi. Selain mengangap sebagai mahluk paling benar kerana berlindung pada agama, mereka mengangap Islam yang baik merupakan Islam yang kaffah dan menjahui hal remeh-temeh seperti humor.

Orang yang humoris dan cerdas,  biasanya di tandai dengan keterbukaan dan menerima masukan dan pandangan orang lain. Ia lebih suka mencari informasi dan diskusi secara sehat. sehingga selalu memverifikasi setiap informasi yang Ia dapat. Sebaliknya, orang-orang yang kurang kepekaannya terhadap humor biasanya akan bersipat kaku dan sangat tekstual sehingga tidak jarang menolak pendapat orang lain.

Humor bisa menjadi alat yang kuat melawan radikalisme dan ektrimisme, dan juga bisa digunakan sebagai alat untuk mengkomunikasikan ide-ide dan hak-hak agama kepada masyarakat tanpa ada sekat pembatas. Herbert Reul yang menggaris bawahi humor/satire itu penting, membawa kita untuk kembali melihat dan menyuarakan ide-ide dan hak-hak agama dalam ruang-ruang humor maupun agama

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.