Demokrasi Tidak Memarginalkan Agama

KolomDemokrasi Tidak Memarginalkan Agama

Pejuang demokrasi harus cepat merapatkan barisan. Pasalnya, demokrasi yang terjadi di Tanah Air saat ini tengah digempur oleh kelompok yang berambisi masif ingin mengubah demokrasi dengan sistem Islam. Selain demokrasi disebut sistem kafir, demokrasi juga dianggap memarginalkan Islam. Kekeliruan yang tak dapat dielakkan ini, mesti ada respons tegas agar demokrasi di Indonesia dapat terselamatkan dan strategi progresif untuk meningkatkan kinerja demokrasi.

Belakangan ini, demokrasi di Indonesia sedang banyak mempertanyakan, khususnya umat Islam tentang keselarasannya dengan agama. Sebab itu penjelasan aspek dalam demokrasi urgen diungkapkan tataran idenya, bahwa ia benar sejalan dengan ajaran Islam. Demokrasi memiliki dua level ajaran kongkrit sebagai pijakannya menurut buku Kiai Masdar Membumikan Agama Keadilan: Pertama, tentang nilai-nilai dasar menurut Islam yang meliputi al-musawah (persamaan atau kesetaraan), al-hurriyah (kemerdekaan), al-ukhuwwah (persaudaraan), al-syura’ (musyawarah) dan al-‘adalah (keadilan). Kedua, berkaitan dengan lima hak dasar yang dijadikan landasan syariat Islam di atas (2020).

Ajaran Islam yang menjunjung nilai dan hak dasar kemanusiaan sama kadarnya dengan nilai yang ada dalam demokrasi. Kendati ditemukan sejuta keserasian argumen tentang demokrasi dan agama. Nyatanya tak ada kepuasan bagi kelompok pendukung sistem Islam terkait pemaknaan dan implementasinya. Akibat ketidakpuasan itu, alih-alih mereka berafiliasi mengusung khilafah atau sistem Islam sebagai solusinya.

Sadar atau tidak, jika mereka hanya menjadikan sistem Islam sebagai jalan kepuasannya, maka akan terjadi distorsi tataran pemaknaan dan implemetasi sistem, demi melindungi kepentingan kelompoknya sendiri. Sembari menyangkal, bahwa ini keselamatan untuk umat Islam yang harus terbebas dari pemimpin dzolim dan negeri kufur. Distorsi tersebut berefek pada cita-cita Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, seiring waktu akan menyempit maknanya menjadi cita-cita perkelompok, yakni kemenangan Islam dan umatnya.

Seruan demokrasi memarginalkan agama adalah alibi kaum revivalis. Penegakan sistem Islam yang berkiblat pada kejayaan umat masa lampau, membayanginya hingga candu. Sejarawan ternama Ibn Khaldun (W. 1406) dalam kitabnya yang fenomenal al–Muqaddimah menganalisa kemunduran Bani Umayyah dan Abbasiyah dari kemenangan besar yang digapainya. Ibn Khaldun menyebutkan faktor penerus khilafah yang tergoda duniawi dan melupakan perjuangan pendahulunya, menyebabkan ia tumbang lalu digantikan oleh Abbasiyah.

Dengan tujuan yang mulia, Abbasiyah yang dipimpin oleh Harun al-Rasyid berusaha tanggung jawab menjalankan kekuasaan dengan amanah menuju kebenaran. Selanjutnya setelah sang khalifah wafat, lantas kekuasaan itu diwariskan kepada anak cucunya hingga terjadi perubahan. Suatu keniscayaan sunnatullah, di antara mereka ada yang orang yang saleh dan jahat sekaligus. Di tangan yang tak bertanggungjawab, kekuasaan Abbasiyah disalahgunakan untuk bermegah-megahan. Mereka tak mampu mengontrol atas duniawi tersebut hingga meruntuhkan Abbasiyah. Selanjutnya Allah SWT mencabut kekuasaan itu secara total.

Baca Juga  Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, Kiai Nasionalis

Penekanan kata, bahwa demokrasi tidak memarginalkan agama merupakan bukti yang tak bisa dielakkan. Kendati terjadi permasalahan dalam kinerja pemerintahan yang tidak memuaskan, itu sesuatu yang wajar dan mesti dikritisi dengan cara yang membangun, tapi tidak anarkis. Ini juga catatan penting bagi kita sebagai rakyat, yang harus cerdas agar tidak dibuat linglung oleh mereka yang tidak bertanggungjawab. Sistem Islam atau khilafah yang dipimpin manusia tentu tak lepas dari kesalahan, jadi jangan melulu membayangkan khilafah jauh dari kekhilafan. Dengan adanya sejarah kemunduran Islam tersebut, bukankah mestinya umat Islam cukup lebih waspada akan khilafah? Sayangnya hal ini masih banyak yang mengabaikan.

Sebagai intelektual Muslim, melihat demokrasi Tanah Air yang sedang digonjang-ganjingi oleh gerakan sistem Islam. Nadirsyah Hosen meresposn keadaan ini dalam karyanya Islam Yes, Khilafah No, menyingkap sejarah baik dan buruknya khilafah di kala itu. Alhasil modus anak HTI dan pengusung khilafah lainnya yang mengkritik demokrasi, dengan membangga-banggakan khilafah seketika karya tersebut disodorkan, modus mereka langsung tumbang dan jelas kemarahannya tersulut (2019). Terkait khilafah, Ibn Khaldun memberi komentar yang menghunjam, sudah jelas bagi kita kini bagaimana kekhilafahan berubah menjadi kekuasaan semata.

Kemurkaan Allah SWT tak segan-segan menghukumi siapapun manusianya yang menyalahgunakan kekuasaan, meskipun ia bertitel khilafah. Bahkan, justru terkesan lebih merusak nama Islam yang tak teguh memegang prinsip, karena alih-alih sama saja tergoda kekuasaan duniawi. Mereka yang mendirikan khilafah dulu konon terkenal jauh dari kealpaan saja masih tergoda kekuasaan, masihkah yakin dengan pengusung khilafah masa kini yang boleh jadi lebih lincah dengan kekuasaan? Secara komprehensif telah teruji, bahwa demokrasi yang diterapkan di Indonesia itu sesuai dengan substansi nilai-nilai Islam. Karena itu, sangat gegabah mereka yang menyatakan Indonesia adalah negeri kufur.

Terlepas dari kebijakan demokrasi di Indonesia, yang masih dalam upaya progresif menuju menjunjung kesejahteraan rakyatnya. Kiranya kita juga tidak hanya menuntut hak sebagai rakyat, tetapi harus menjalankan kewajiban sebagai rakyat yang berpegang teguh pada nilai prinsip demokrasi serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sejatinya sikap dan nilai demokrasi bukan hanya ada dalam lingkup pemerintahan, melainkan setiap ruang yang berkelompok, termasuk ruang keluarga yang paling kecil sekalipun. Demokrasi harus dipertahankan sampai titik penghabisan.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.