Mencermati Pergaulan Nabi dengan Yahudi

KhazanahHikmahMencermati Pergaulan Nabi dengan Yahudi

Yahudi menjadi agama pertama dalam pergumulan sejarah agama samawi (langit). Istilah samawi menegaskan bahwa ajaran tersebut bukan merupakan produk budaya manusia, melainkan bersumber dari dunia atas, yakni wahyu. Sutardi (2007) menambahkan bahwa wahyu bersumber dari Tuhan melalui utusan-Nya yang membawa risalah monoteisme dan mengakui Nabi Ibrahim sebagai pembawa tauhid tersebut. Yahudi, Nasrani, dan Islam menjadi tiga agama besar dunia yang menyandang predikat samawi. Sebagai agama yang lahir dari sumber yang sama, ketiga agama ini memiliki common word dalam tataran teologis, historis, dan humanis.

Namun, kenyataan yang berkembang justru memerlihatkan langgengnya konflik berdarah di antara mereka. Salah satu konflik kemanusiaan paling menyita perhatian dunia saat ini ialah ketegangan antara Palestina dan Israel yang mau tidak mau menyeret Islam dan Yahudi. Resistensi pendudukan dan aneksasi Israel atas Palestina mengindikasikan prospek perselisihan yang semakin menjadi. Pesan-pesan universal yang dititipkan Tuhan melalui ketiga ajaran ini, jarang diakomodir sebagai jalan tengah menuju kalimatun sawa’ (titik temu) untuk meredam konflik antarmereka.

Rasulullah SAW dalam perjalanan dakwahnya pun tak lepas dari pergaulannya dengan kaum Yahudi, terutama pasca kedatangan beliau ke (Yatsrib) Madinah. Philip K. Hitti dalam A Short History of the Arabs mengisahkan bahwa sekelompok suku Khazraj Yahudi terkesan dengan retorika Nabi saat Festival Ukaz sekitar tahun 620M. Kemudian, mereka mengundang Nabi untuk tinggal di Yatsrib, dengan harapan dapat mendamaikan klan-klan Yahudi yang memang kerap berselisih.

Selain itu, jauh sebelum kehadiran Rasulullah SAW di Madinah, kabar tentang akan hadirnya seorang Nabi telah digemakan oleh orang-orang Yahudi, sembari menekankan bahwa kemenangan menghadapi lawan akan mereka raih di bawah kepemimpinan sang juru selamat ini. Hal ini karena mereka menduga bahwa Nabi yang dijanjikan adalah seorang Yahudi.

Pluralitas adalah identitas utama Madinah. Kota ini didiami beragam suku dan klan Yahudi serta Arab. Fanatisme dan sentimen kesukuan menjadi hal yang cukup kental di antara mereka. Nabi datang dengan membawa solusi bijak untuk membidani keragaman tersebut. Setelah membangun masjid sebagai tempat ibadah dan sentral kegiatan, serta mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar, langkah strategis Rasulullah SAW selanjutnya adalah menjalin pertalian saudara antara seluruh penduduk Madinah.

Nabi kemudian mendiktekan Piagam Madinah pada 622M. Sebuah perjanjian antara Nabi dengan Yahudi dan beragam komunitas yang ada di sana kala itu. Konstitusi ini menjelaskan tentang hak dan kewajiban mereka sebagai sesama penghuni Madinah agar dapat hidup berdampingan dengan nyaman. Rasulullah, dalam konstitusi tersebut, secara tegas menanamkan nilai keadilan, kesetaraan, dan keterbukaan tanpa memandang status dan keyakinan.

Dalam perjalanannya, terjadi pengkhianatan yang dilakukan oleh Yahudi dari suku Nadzir dan Qainuqa’ yang kemudian diusir oleh Nabi dari Madinah. Disusul kemudian oleh pengkhianatan suku Quraidzah yang bersekutu dengan musuh saat perang Khandaq. Mereka jelas telah melanggar kesepakatan bersama yang tertuang dalam Piagam Madinah. Atas dasar ini, Rasulullah menindak tegas mereka sebagai konsekuensi pengkhianatan.

Terlihat bahwa pada awalnya Yahudi amat terbuka dan kooperatif dengan Nabi, bahkan secara sukarela mengundang beliau untuk hijrah ke Madinah. Nabi juga selalu mengupayakan kebijakan yang adil dan konstruktif untuk merangkul semua golongan tanpa pandang bulu. Namun, orang-orang Yahudi dikuasai oleh rasa dengki dan iri atas pencapaian Nabi dan kaum Muslimin yang semakin kokoh posisinya. Rasulullah SAW secara kontinyu menunjukkan sikap adil, tegas, dan berwibawa dalam menghadapi berbagai persoalan.

Nabi kembali menunjukkan sikap berimbang pada kasus pencurian yang melibatkan seorang sahabat Anshar bernama Thu’mah bin Ubairiq dan Zaid al-Saimin dari kalangan Yahudi Madinah. Zaid tertuduh mencuri baju perang yang sejatinya dilakukan oleh Thu’mah. Namun, Nabi tidak tergesa mengeluarkan keputusan sampai kemudian turun firman Allah SWT dalam Q.S. An-Nisa’ [4]: 105-112 yang mengisyaratkan bahwa sahabat Anshar telah melakukan kebohongan dan melimpahkan kesalahan kepada si Yahudi. Status Muslim tidak menjadikannya kebal hukum, dan pada akhirnya ia ditetapkan sebagai tersangka.

Baca Juga  Beragama Ramah Lingkungan

Cerita lain yang malang-melintang di pendengaran kita ialah kisah kasih Nabi terhadap seorang pengemis buta Yahudi yang lancar berujar caci-maki terhadap beliau. Tuduhan gila, tukang sihir, dan pendusta terhadap Rasulullah SAW, tidak menyurutkan rutinitas beliau untuk selalu membawakan pengemis tadi makanan sekaligus menyuapinya. Nabi tidak pernah menghardik balik atas hinaan si pengemis. Setelah beliau wafat, sahabat Abu Bakar yang kemudian melanjutkan tradisi ini terkejut ketika si pengemis tadi membentaknya karena menyadari bahwa Abu Bakar bukan orang yang biasa mendatanginya. Singkat cerita, Yahudi tadi terkejut dan menangis karena yang selama ini mengasihinya adalah orang yang selalu ia hina dina. Berislamlah ia tersebab kemuliaan akhlak Nabi yang menjadi perantaranya.

Nabi tidak pernah memaksakan keragaman menjadi keseragaman. Segala perbedaan yang menghiasi Madinah disikapi beliau dengan cinta kasih dan toleransi yang dilembagakan melalui Piagam Madinah. Beliau membiarkan semua kalangan di Madinah berkembang menjadi diri mereka sendiri, mempercayai keyakinannya, serta menjalankan ritus peribadatannya masing-masing. Nabi dengan meriah merayakan perbedaan dengan menghargainya, bukan melibas atas nama mayoritas.

Rupanya, konflik Yahudi-Islam sampai saat ini masih terlihat bentuknya. Salah satunya dari konflik Israel-Palestina yang tersebut di atas. Hal semacam ini yang menyebabkan antisemitisme semakin bertumbuh subur. Dan yang paling mencolok belakangan ialah antisemitisme yang ditunjukkan oleh kalangan Islamis. Hannah Arendt dalam pengantar The Origins of Totalitarianism, menandaskan bahwa antisemitisme bukan hanya berarti kebencian terhadap Yahudi, tetapi merepresentasikan Yahudi sebagai ‘kejahatan’ yang harus diberantas. Kebencian semacam ini menyebabkan efek negatif berupa radikalisme kalangan Islamis.

Demikian, agama manapun seringkali ajaran baiknya dirusak dan diusik oleh penganutnya sendiri, sebagaimana Yahudi. Sebagai sesama agama langit, Islam tidak menentang apalagi memusuhi Yahudi. Tersebut dalam satu riwayat, bahwa sekelompok Yahudi mendatangi dan mengucap “al-samu ‘alaikum” (kematian dan laknat atas kalian). Sayyidah Aisyah yang agak meradang kemudian menjawab kembali salam keburukan tadi. Namun, Nabi mengingatkan istrinya untuk tidak terlalu emosional. Nabi menyikapi Yahudi tadi secara sederhana dengan menjawab “wa’alaikum” tanpa ada intensi untuk mengutuk balik salam buruk Yahudi. Nabi mengabarkan, bahwa kematian adalah perkara berkenaan dengan semua orang.

Memusuhi Yahudi bukan merupakan tindakan yang dapat dibenarkan. Yang layak untuk dikutuk adalah sikap dan tindakan destruktif penganutnya. Kita harus cermat bahwa Yahudi dan zionisme adalah dua hal yang berbeda. Zionisme adalah tradisi baru. Ia merupakan gerakan politik di kalangan bangsa Yahudi yang digagas oleh Theodor Herzl dengan tujuan menyatukan klan Yahudi dalam satu wilayah geografis, sebuah negara Yahudi. Faktanya, tidak semua orang Yahudi menyepakatinya karena bertentangan dengan visi Yahudi sendiri.

Mengingat kekerabatan erat antara Yahudi dan Islam, konflik seharusnya menjadi hal yang tak perlu terjadi antara keduanya. Ketiga agama samawi ini memiliki tiga utas tali pemersatu yang bisa menjadi opsi dialog untuk menciptakan harmonisasi. Secara teologis, Yahudi, Nasrani, dan Islam adalah agama monoteis yang meyakini keesaan Allah SWT sekaligus melarang segala bentuk penyekutuan atas-Nya. Pembenaran atas kisah-kisah para Nabi yang terdapat dalam kitab-kitab samawi, seperti pengakuan atas Nabi Ibrahim sebagai Bapak tauhid, menjadi bukti historis yang menyatukan ketiga agama tersebut. Ajaran kebaikan dan cinta kasih kepada sesama manusia sebagai prinsip hidup adalah nilai humanis yang mengisi ketiganya.

Dengan menyimak kisah pergaulan Nabi dengan Yahudi di atas, telah jelas bahwa sikap yang beliau perlihatkan ialah laku yang toleran, adil, moderat, dan menghargai atas pluralitas. Islam mengakui Yahudi sebagai agama. Yang ditentang Islam adalah zionisme yang identik dengan teori Machiavelli, yakni menghalalkan segala cara untuk mewujudkan misinya. Kita harus memisahkan ruang antara kebencian terhadap sikap buruk dengan tetap menyisakan tempat untuk menghargai pelakunya sebagai manusia. Common word antara ketiga agama langit ini harus selalu digalakkan sebagai solusi untuk membangun toleransi dan kedamaian antarpemeluk agama yang telah dicontohkan semenjak dulu oleh Nabi. Wallahu a’lam.

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.