Membuat dan Menyebarkan Hoaks Itu Dosa Besar

KolomMembuat dan Menyebarkan Hoaks Itu Dosa Besar

Dari Januari 2020 sampai sekarang, dari Covid-19 sampai RUU Cipta Kerja, demi memperoleh perhatian dan dukungan publik, banyak orang membuat dan menyebarkan hoaks melalui akun-akun media sosialnya. Tak jarang mengandung unsur-unsur provokasi, sindiran, bahkan ujaran kebencian. Padahal, hoaks dapat mengancam keutuhan sekaligus merupakan dosa besar.

Sejak kamis (1/10) hingga senin (12/10), dunia maya dibanjiri hoaks tentang UU Cipta Kerja. Terlihat dari ramainya laman resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang mengklarifikasi konten-konten hoaks terkait UU Cipta Kerja, seperti Jaminan Sosial dan Kesejahteraan yang dihilangkan dalam UU Cipta Kerja, draft UU Cipta Kerja yang disusun dian-diam, UU Cipta Kerja mengatur tenaga asing dapat bebas masuk ke Indonesia, Polri menculik 15 orang rakyat dan mahasiswa seperti gaya PKI, foto para Menteri dan anggota DPR yang tidak pakai masker pada saat UU Cipta Kerja diketok, dan masih banyak lagi.

Tak dapat dipungkiri, narasi hoaks tentang UU Cipta Kerja yang tersebar cepat di dunia maya, mengundang kemarahan warga dan melahirkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Memang, kritik terhadap pemerintah adalah hal yang sah-sah saja bagi setiap warga negara. Tetapi memproduksi dan menyebarkan berita bohong untuk merendahkan serta menjatuhkan merupakan tindakan fatal, yang tak lain merupakan bentuk kemungkaran.

Di samping Undang-undang ITE Tahun 2008, yang mengatur secara umum informasi dan transaksi elektronik di Tanah Air, termasuk di dalamnya hukuman bagi orang yang memproduksi dan menyebarkan hoaks. Agama, khususnya Islam telah lama hadir, memberi panduan bagi umat Muslim bagaimana cara menyikapi suatu berita.

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kamu orang fasik membawa berita, periksalah dengan teliti (tabayyun) agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” [al-Hujurat (49): 6]. Berhati-hati dalam menerima berita dari orang fasik adalah perintah Allah SAW, Imam Ibnu Katsir lebih lanjut menafsirkan, hendaknya kaum Mukmin tidak menerima informasi begitu saja dari orang fasik, karena dengan menerimanya tanpa hati-hati, sama dengan mengikuti jejaknya. Sedangkan, Allah SWT telah melarang kaum Mukmin mengikuti jalan orang-orang yang fasik.

Berangkat dari pandangan tersebut, ulama berbeda pendapat, tentang boleh atau tidaknya mengambil informasi (riwayat) dari seseorang yang tidak dikenal (Majhul). Sebagian ulama melarang, sebab barangkali dia adalah orang yang fasik, tetapi sebagian ulama lainnya menerima dengan alasan bahwa perintah Allah SWT hanyalah meneliti kebenaran berita orang fasik, sedangkan orang yang tidak dikenal masih belum terbukti kefasikannya dan tidak diketahui keadaannya.

Sejumlah mufassir (ahli tafsir) menyebutkan bahwa sebab turunnya ayat ini berkenaan dengan al-Walid ibn Uqbah yang diutus oleh Nabi Muhammad SAW untuk memungut zakat orang-orang Bani Mustaliq. Banyak riwayat yang mengisahkan hal ini, tetapi yang terbaik adalah yang dikisahkan di dalam Musnad Imam Ahmad. Al-Haris ibn Abu Dirar, pemimpin Bani Mustaliq menceritakan, bahwa ia telah masuk Islam dan membayar zakat. Kemudian, al-Haris bermaksud untuk menyeru kepada kaumnya, Bani Mustaliq untuk membayar zakat dan meminta Rasulullah SAW (pada waktu yang telah ditentukan) mengirim utusan, agar ia membawa harta zakat yang telah dikumpukan oleh al-Haris.

Akhirnya, Rasulullah SAW mengutus al-Walid ibn ‘Uqbah kepada al-Haris untuk mengambil harta zakat Bani Mustaliq pada waktu tersebut. Ketika al-Walid sampai di tengah jalan, tiba-tiba hatinya gentar dan takut, lalu ia kembali kepada Rasulullah SAW, mengadu bahwa al-Haris tidak mau memberikan zakatnya dan hendak membunuhnya. Mendengar laporan itu, Rasulullah marah, lalu mengirimkan sejumlah pasukan kepada al-Haris. Padahal, Al-Haris dan teman-temannya hendak menyampaikan harta zakat kepada Rasulullah SAW.

Setelah hampir tiba di Madinah, kelompok al-Haris berpapasan dengan pasukan yang dikirim Rasulullah SAW. Pasukan tersebut lantas mengepung kelompok al-Haris. Ia bertanya, “kepada siapa kalian dikirim?”. Mereka menjawab, “kepadamu”. Ia bertanya, “mengapa?”. Mereka menjawab, “sesungguhnya Rasulullah SAW mengutus al-Walid ibn ‘Uqbah kepadamu, tetapi menurut laporannya, engkau menolak membayarkan zakat, bahkan hendak membunuhnya.”

Baca Juga  Kritik untuk Membangun, Bukan Menghancurkan

Al-Haris menjawab, “tidak, demi Tuhan yang telah mengutus Muhammad SAW dengan membawa kebenaran. Aku sama sekali tidak pernah melihatnya dan tidak pernah pula kedatangan dia”. Ketika al-Haris menemui Rasulullah SAW, Ia menjelaskan kisahnya, kemudian turunlah ayat dalam surat al-Hujurat ini.

Jelas sudah, bahwa informasi yang disampaikan oleh al-Walid kepada Rasulullah SAW perihal Bani Mustaliq adalah hoaks. Akibatnya, ia disebut di dalam ayat tersebut sebagai orang fasik dan sebab ulahnya pula, hampir saja terjadi pertumpahan darah di daerah dekat Madinah, antara pasukan yang dikirim Rasulullah SAW dan kelompok al-Haris.

Perlu diketahui, orang fasik adalah orang yang melakukan dosa besar atau kerap melakukan dosa kecil. Memang, tidak mudah dalam menentukan batasan yang tegas apakah seseorang masuk dalam kategori fasik. Di dalam al-Quran, kata fasik dihubungkan langsung dengan kekafiran dan kedurhakaan [al-Hujurat (49): 7] dan terkadang digandengkan dengan kebohongan dan percekcokan [al-Baqarah (2): 197]. Meski demikian, di dalam hukum Islam, kata fasik sering dihadapkan dengan kata adil.

Para ulama telah membahas kedudukan orang-orang fasik dalam berbagai bidang fiqh. Dalam bidang pernikahan, menurut madzhab syafi’i, saksi perkawinan tidak boleh terdiri dari orang-orang fasik, tetapi pendapat kuat menyebutkan, jika tidak diketahui apakah orang tersebut fasik/adil, pernikahannya tetap sah. Dalam bidang peradilan, ulama fiqh pada umumnya menyatakan bahwa kesaksian mereka tidak dapat diterima, kecuali jika orang fasik itu telah bertobat. Begitu pula dalam bidang wasiat, jumhur ulama, selain madzhab Hanafi, bependapat bahwa orang fasik tidak boleh memegang atau diserahi wasiat, karena tidak adanya kejujuran dan kepercayaan dalam dirinya.

Di sisi lain, para ulama ahli hadis secara tajam mengupas berupa penelitian dan penilaian terhadap sifat-sifat perawi hadis. Menitikberatkan pada pentingnya posisi perawi hadis sebagai pembawa berita dari Nabi Muhammad SAW, sehingga sifat dan ciri-ciri mereka diumumkan kepada masyarakat.

Para Imam hadis tidak sembarangan menerima sanad (isnad) hadis, tetapi menyeleksi secara ketat satu persatu perawi yang ada dalam sebuah sanad, dalam segi kecerdasan, akhlak, guru-guru, dan murid-muridnya. Para perawi hadis disyaratkan adil, kuat hafalannya (dalam segi ingatan dan tulisan), jujur, dan tidak fasik.

Sejalan dengan makna surah al-Hujurat ayat 6 di atas, mekanisme penyeleksian hadis sangat bertumpu pada kredibilitas perawi sebagai sumber berita. Untuk mendapat kualitas kebenaran berita, para pakar hadis telah menetapkan syarat-syarat yang ketat. Bukan hanya terbatas pada aspek profesionalitas, seperti kecermatan dan kecerdasan, tetapi juga berkaitan dengan aspek moralitas perawi, seperti adil dan tidak fasik. Seorang perawi fasik (pendusta atau tidak malu melakukan dosa di depan umum) secara tegas ditolak beritanya. Setidaknya, berita yang dibawanya masuk ke dalam kategori dhaif.

Oleh karena itu, kehati-hatian dan ketelitian sangat diperlukan ketika menerima informasi dari siapa saja di dunia maya, terlebih dari sebuah akun palsu (fake account) yang tidak jelas asal-usulnya. Mengecek kebenaran berita pada laman-laman resmi adalah tindakan efektif selain menanyakan keaslian berita kepada para ahli.

Terakhir, banjirnya narasi hoaks di jagat maya, seringkali menyulut kesenjangan pandangan, kerenggangan hubungan masyarakat, bahkan perpecahan anak bangsa. Keutuhan yang seharusnya dijaga, justru dibenturkan oleh tarian jari-jemari di gadget. Bijak dalam memanfaatkan teknologi, menghindarkan diri sendiri dan orang lain dari kerugian, sebab membuat dan menyebarkan narasi hoaks adalah dosa besar.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.