Resesi Toleransi

KolomResesi Toleransi

Agama yang paling dicintai Allah SWT adalah agama yang “hanif” (lurus) dan toleran (HR Bukhari). Pandangan hidup manusia yang menjadi dasar beragama adalah ajaran yang lurus (hanif). Ajaran agama yang dibawa oleh para Nabi terdahulu sebelum Nabi Muhammad SAW. Selain ajaran agama yang lurus, ajaran kemurahan hati dan toleran (tasamuh). Toleransi artinya rasa hormat, penerimaan, dan apresiasi terhadap budaya dan keragaman ekspresi. Toleransi juga dapat diartikan sebagai harmoni dalam perbedaan.

Arti lain dari sikap toleran adalah tanggung jawab untuk senantiasa menjunjung tinggi hak asasi manusia, pluralisme, demokrasi, dan supremasi hukum. Toleransi menolak seluruh pemahaman ekstremisme, dogmatisme dan absolutisme. Memandang ketidakadilan, bukan berarti toleransi akan menerimanya begitu saja, toleransi pun memiliki batas tertentu yang tidak dapat membiarkan aktivitas-aktivitas perbuatan intoleran. Faktanya, manusia diciptakan oleh Tuhan dengan segala perbedaan dalam berbagai sudut; pria-wanita; warna kulit; bahasa, etnis, ras, suku, bangsa, agama, pola pikir, karakter dan segala heterogenitas. Oleh karena itu, seseorang tidak bisa memaksakan kehendak dan pandangan menurut dirinya saja.

Al-Quran secara tegas menyatakan, Sekiranya Allah menghendaki, niscaya ummat manusia akan dijadikan-Nya ummat yang satu, tetapi Allah hendak menguji ummat manusia terhadap pemberian-Nya, maka umat manusia diperintahkan berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan (QS. Al-Maidah [5]: 48). Toleransi al-Quran, sangat menghargai kebebasan pandangan dan keyakinan setiap manusia. Tuhan sendiri tidak memutuskan menjadi satu keyakinan, lantas kita sebagai hamba-Nya. Mengapa berperilaku melebihi kehendak Tuhan?

Bagi dunia Barat modern, toleransi menjadi prinsip politik menuju sukses besar, terutama prinsip keyakinan beragama yang merupakan hak individu. Orang Barat dalam hal perbedaan pendapat harus dilindungi, dan kesamaan pendapat, tidak harus menjadi stabilitas sosial. Namun, gagasan toleransi yang telah terbangun oleh masyarakat Barat, bukan merupakan hal yang baru. Pada filsafat Yunani ala  filsuf Socrates (470-399), bahwa pengetahuan menghasilkan kebijaksanaan, akan tetapi kebijaksanaan tidak dapat diterapkan melalui paksaan, melainkan oleh ruang dialog dan musyawarah yang toleran. 

Menaruh perhatian dalam kehidupan keagamaan, diungkapkan Sudibyo Markus dalam buku Dunia Barat dan Islam: Cahaya di Cakrawala (2019), bahwa Peta Agama-Agama Dunia versi Majalah National Geographic, melukiskan beberapa fenomena menarik. Pertama disebutkan Negara dengan total 99,9% penduduknya menganut agama tertentu, seperti Nigeria (Islam), Kenya (Kristen), Bhutan (Buddha) dan lainnya. Indonesia, walaupun jumlah absolut ummat Islamnya justru terbesar di dunia, tapi tidak masuk kategori “mayoritas mutlak” atau 99,9%. Kedua, peringkat negara-negara dengan persentase penduduknya yang ateis atau agnostik, mulai dari Korea Utara 71,3%, kemudian Czech 70%, penduduk Kristen bertambah 34%, penduduk yang menganut Hindu bertambah 27% dan Yahudi bertambah 15%, dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 32%.

Sementara, Pew Forum on Religion and Public Life, dalam laporan yang bertajuk The Future of the Global Muslim Population, Projection for 2010-2030, dipublikasikan pada 27 Januari 2011,  melaporkan bahwa penduduk Muslim di dunia, akan meningkat 35% dalam kurun waktu 20 tahun ke depan. Dari peningkatan 1,6 miliar pada tahun 2010, menjadi 2,2 miliar pada tahun 2030. Secara global, diprediksi jumlah penduduk Muslim akan terus berkembang dua kali lipat dibandingkan penduduk non-Muslim. Bahkan penduduk Muslim Eropa yang berjumlah 4,9% dengan total 25,8 juta pada tahun 2016, akan terus meningkat karena pengaruh dan faktor imigrasi.

Yang lebih penting dari sekadar angka-angka statistik jumlah penganut agama, adalah refleksi atas tanggung jawab agama terhadap kemanusiaan. Sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Pencipta di planet bumi, angka 88% manusia beragama tentu dapat menjadi kekuatan yang sangat besar dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan perdamaian di seluruh alam raya ini. Walaupun banyak hal dalam perbedaan yang mendasar dalam sikap teologi, semestinya ummat beragama menyepakati penciptaan manusia sebagai khalifah fil ardh dengan tujuan yang sama, yakni kesejahteraan dan perdamaian. Dan itu hanya dapat diimplementasikan dari masing-masing untuk bersikap toleran terhadap segala macam perbedaan pandangan dan keyakinan.

Ketika Barat memandang Islam sebagai agama yang kaku, keras dan juga ekstremis dalam kurun waktu tahun 800-an hingga 1500-an, George Sale (1697-1736) pada bulan November tahun 1734 menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa Inggris. Berdasarkan metodologi dan epistemologi terhadap al-Quran, sejak saat itu, banyak kalangan sarjana Barat memandang Islam sebagai agama dengan tingkat toleransi yang tinggi. Misalnya, Voltaire (1694-1778), seorang pujangga dari Perancis begitu mengagumi Nabi Muhammad SAW. Johan Wolfgang von Goethe (1749-1832), seorang yang berasal dari Jerman itupun mengungkapkan bahwa dia tidak menemukan Nabi Muhammad SAW adalah seorang penipu dan pendusta. Bahkan dalam bukunya West-Ostlicher Divan (1877), mengatakan bahwa “kalau Islam berarti berserah diri kepada Tuhan, bukankah kita semuanya hidup dan akan mati dalam Islam?”.

Sementara untuk Indonesia jika kita menengok sejarah, penganut agama Islam pada umumnya memiliki sikap akomodatif, toleran, dan inklusif. Pasca-serangan 11 September 2011, setidaknya lebih dari 12.000  korban serangan teror yang mengakibatkan ribuan nyawa melayang di seluruh belahan bumi ini, termasuk tragedi bom Bali, JW Marriott, Kedutaan Australia dan lainnya. Pelakunya tentu bukan zombie ataupun kuntilanak, akan tetapi orang yang mengaku ummat Nabi Muhammad SAW dengan panji hitam bertuliskan kalimat tauhid yang suci. Dengan pemahaman sempit, puritan dan konservatif, melahirkan hitam-putih terhadap segala perbedaan. Konsekuensinya adalah citra dan wajah Islam yang semakin menakutkan. Pandangan Barat terhadap Islam dengan apa yang disebut sebagai Islamphobia.

Islamphobia adalah sebuah fenomena ketakutan non-Muslim terhadap Islam dan ummat Islam. Agama yang disalahpahami bahwa Islam adalah agama kekerasan dan intoleran. Namun, ternyata tidak seluruhnya masyarakat Barat menilai Islam secara monolitik sebagai agama ekstremis. Misalnya, pendapat John Louis Esposito dalam International Journal of Politics, karya Karen Barkey, Islam and Toleration: Studying the Ottoman Imperial Model (2005), menyatakan pandangan terhadap Islam secara monolitik sebagai agama kekerasan adalah mitos. Esposito lebih cenderung menilai Islam sebagai agama yang prinsip dalam sebuah teks suci termasuk khusus berdasarkan historis dan politis, seperti teks jihad bukanlah produk otoritas tunggal. 

Baca Juga  Dubes RI untuk Tunisia Ziarahi Zawiyah Imam Abul Hasan al-Syadzili

Bahkan dalam buku Zuhairi Misrawi, Pandangan Muslim Moderat: Toleransi, Terorisme, dan Oase Perdamaian (2010), berdasarkan buku Esposito, Who Speaks For Islam (2007), mengenai hasil survei Gallup Poll, Esposito ingin meluruskan merebaknya mispersepsi di kalangan Barat tentang Muslim dan melemahnya stereotip atas agama Islam. Berdasarkan survei Gallup Poll, ia menegaskan bahwa kaum Muslim yang radikal secara politik hanyalah minoritas (7%). Ia juga menggali berbagai aspek survei serta keterangan-keterangan tambahan, angka 7% bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Hal itu adalah realitas yang wajar.

Belakangan, Indonesia sendiri masyarakatnya adalah salah satu pengguna internet tertinggi diantara negara yang lain. Tak jarang kita banyak menemukan ujaran-ujaran kebencian dan hoaks ketika kita berselancar di jaringan maya. Berbagai wacana yang mengandung SARA seolah-olah menjadi informasi paling utama yang kita telan sehari-hari. Toleransi yang semakin tampak menurun secara drastis. Kebangkitan dalam beragama hanya sekadar menampakkan formalisasi keagamaan–seperti kewajiban berhijab bagi Muslimah, pekik takbir dengan menunjukkan kesalehan diri terutama di kalangan Muslim urban, hingga terapan-terapan bernuansa syariat dalam peraturan daerah (Perda), dibandingkan substansial Islam–era postmodernisme, semakin menimbulkan kecemasan. Gejala kekakuan berislam yang muncul akhir-akhir ini, terlihat semakin menguatnya isu-isu sektarian dan intoleransi. Bahkan aksi-aksi kekerasan, seperti persekusi, aksi terorisme, dan ekstremisme. Menurunnya toleransi tersebut sebagai “resesi toleransi”.

Resesi toleransi yang terjadi dalam dasawarsa abad ke-21 ini, tak lepas dari penyebaran kebencian melalui media sosial yang berdampak pada aksi-aksi kekerasan. Menurut Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang mengukur toleransi di Indonesia pada tahun 2018, dengan indikator pandangan responden terhadap warga lain yang berbeda paham keagamaan dalam satu agama, dan beragama lain. LSI hanya menemukan 46,2% Muslim Indonesia yang memiliki pandangan positif terhadap yang berbeda keyakinan. Sementara responden Muslim yang berpandangan bahwa prioritas utama adalah menjadi orang yang baik, hanya 28,7%.

Fakta yang terjadi, baik pandangan Barat mengenai Islamphobia, disaat bersamaan kita mengatakan Islam adalah agama cinta damai, akan tetapi masih menyembunyikan aksi-aksi intoleransi pada saat yang bersamaan. Ini adalah bentuk ketidakjujuran. Kita harus menyesal atas pelaku-pelaku intoleransi yang terus mendorong citra dan wajah Islam yang semakin menurun. Kelesuan dalam membangun toleransi, akibat kelompok-kelompok yang memonopoli kebenaran, seolah-olah hanya “dia” saja yang benar. Al-Quran sendiri melarang klaim-klaim kebenaran dan merendahkan golongan lain. Hal tersebut sama saja dengan merampas hak Allah SWT.

Oleh karena itu, kita tidak boleh kalah kepada pelaku-pelaku intoleran berkedok Islam, sejatinya mereka tidak menerapkan ajaran Islam yang sesungguhnya. Para kelompok Islamis yang kaku, keras, dan ekstrem, salah satunya adalah hilangnya doktrinasi cinta dan kasih sayang terhadap sesama manusia. Sebagian pengkhotbah agama, memperuncing perbedaan, ceramah-ceramah peperangan masa Nabi selalu didengungkan, bukannya perilaku atau akhlak keseharian Nabi yang seharusnya digelorakan, akibatnya terjadi disparitas terhadap yang berbeda. Di sinilah kemudian resesi toleransi terjadi.

Dengan resesi toleransi ini, tantangan Islam semakin mencuat dan nyata. Bagaimana Islam dapat menjawab klaim sebagai agama rahmatan lil alamin? Dapatkan Islam membumikan keselamatan, kebahagiaan, kebebasan, dan keberkahan? Sanggupkah Muslim Indonesia mengaktualisasikan ajaran Islam yang sebenar-benarnya dalam sikap toleransi, keterbukaan, keadilan, moderasi, dan kemanusiaan?

Sebagai solusi, kita harus banyak belajar dari Presiden ke-4, KH. Abdurrahman Wahid atau lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur. Sikap Bapak Pluralisme Indonesia yang menganjurkan keterbukaan dalam beriman. Sikap melindungi terhadap minoritas sebagai wujud kesalehan yang nyata, sesuai dengan teks-teks suci Islam. Gus Dur juga mengajukan tesis bahwa pengalaman individu seseorang tidak akan pernah sama dengan orang lain. Oleh karenanya, Gus Dur menganjurkan agar kita senantiasa toleran terhadap pandangan orang lain.

Seseorang tidak dapat dibenarkan memaksakan pandangannya kepada orang lain, apalagi menggunakan cara-cara kekerasan. Kekerasan hanya diperbolehkan oleh ajaran Islam jika Muslim diusir dari rumah atau tanahnya. Dengan demikian, meningkatkan sikap empati, menghargai perbedaan, menyadari keragaman sebagai keniscayaan, mengayomi minoritas, dan menunjukkan sikap-sikap kesalehan sosial, serta bersikap terbuka dalam iman pada kemajemukan dan kebhinekaan bangsa Indonesia, akan sedikit mengurangi resesi toleransi yang terjadi saat ini.

Artikel Populer
Artikel Terkait