Jejak Muslimah dalam Sejarah Perjuangan Kemerdekaan

KhazanahHikmahJejak Muslimah dalam Sejarah Perjuangan Kemerdekaan

Belakangan ini, segolongan Muslimah konservatif, semakin vokal dalam menyuarakan peran domestik perempuan sebagai syariat agama. Mereka mengajak kita memusuhi kesetaraan jender dan peran publik perempuan. Sayang sekali, wacana itu bersinggungan dengan konteks masyarakat yang riil, serta terputus dari sejarah Muslimah bangsa ini. Lenyapnya perempuan dari ranah sosial-politik, mendesentralisasi suara dan kepentingan Muslimah itu sendiri. Propaganda isu domestikasi perempuan ini, menyebabkan dilema sosial bagi Muslimah masa kini.

Di tengah tren kemuslimahan saat ini, nilai-nilai kebangsaan dan budaya bangsa sejati mengalami krisis. Kita kini cenderung mengidentikan citra Muslimah pada perempuan Timur-Tengah atau Arab. Keterputusan sebagian Muslimah negeri ini dari sejarah pendahulunya, nampak jelas saat budaya bangsa ini tidak lagi dipersepsi, diekspresikan dan diapresiasi. Perubahan karakter antar dua golongan yang sama, di era yang berbeda ini disebut dalam teori sejarah Michael Foucoult sebagai diskontinuisitas (discontinuity). Penting untuk menghubungkan dan menyusun kembali karakter Muslimah sejati bangsa kita. Sejarah Muslimah pada periode perjuangan kemerdekaan, meninggalkan catatan penting bagi muslimah saat ini.

Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa ini, para Muslimah merupakan kelompok masyarakat yang aktif bergerak dan berkontribusi pada kemajuan bangsa, demi meraih kemerdekaan. Mereka dinamis dan progresif, hampir tidak terdengar aspirasi Muslimah yang malah membuat perempuan menarik diri dari peran sosial-politik dan memendam diri di rumah, seperti yang belakangan terjadi. Pendidikan perempuan adalah corak perjuangan pembebasan perempuan yang berkembang di negeri ini. Sejak emansipasi perempuan mulai bergema melalui surat-surat Kartini di akhir abad 19, ide dan gagasan para Muslimah mulai mengalir dalam sejarah bangsa.

Pada awal abad 20, kekuatan kolektif Muslimah dalam mewujudkan gagasan dan aspirasi bagi kemajuan kaum wanita, mulai tumbuh. Salah satunya, diinisiasi oleh Walidah Ahmad Dahlan (1872-1946). Ia seorang Muslimah intelektual yang peka terhadap masalah kurangnya akses ke layanan pendidikan bagi masyarakat Muslim. Ide-idenya semakin berkembang justru setelah ia menikah.

Menjadi istri kiai besar pendiri Muhammadiyah, memberikan pengalaman tersendiri bagi Walidah dan semakin mengasah keberaniannya. Ia mendirikan organisasi perempuan Muslimah bernama Aisyiyah pada tahun 1917 sebagai wadah gagasannya untuk memberdayakan Muslimah di Indonesia. Aisyiyah berperan penting dalam mengintegrasikan agenda pemberdayaan dan pembebasan perempuan ke dalam agenda nasional Muhammadiyah sebagai gerakan reformasi Islam.

Surat kabar dan tulisan merupakan salah satu media untuk memfasilitasi ide pembebasan perempuan pada masa awal penyebarannya, sebagaimana terbukti dalam pergerakan perempuan antara tahun 1900-1942. Keberhasilan surat kabar sebagai media untuk memfasilitasi gerakan kesetaraan masa itu, tidak lepas dari peran Siti Rohana Kudus (1884-1972), seorang jurnalis perempuan pertama di negeri ini.

Pionir Muslimah dalam bidang pers dan kepenulisan ini, sangat produktif menghasilkan gemuruh perjuangan kemerdekaan dan kemajuan perempuan di media cetak. Selain berperan aktif sebagai aktivis emansipasi perempuan di eranya, Rohana Kudus mendirikan sekolah dan memimpin redaksi Soenting Melajoe (Sunting Melayu), surat kabar perempuan pertama di Minangkabau sejak tahun 1912. Semua usahanya dalam memcerdaskan perempuan mendapat dukungan penuh daru suaminya, Abdul Kudus.

Baca Juga  Jangan Berlebihan dalam Beragama

Pendidikan perempuan merupakan wacana utama dalam pergerakan perempuan awal di negeri ini. Setiap aktivis perempuan kala itu memiliki perhatian lebih pada akses pendidikan bagi perempuan. Di antaranya, Rahmah Al-Yunusiah (1901-1969), seorang ulama perempuan di antara jajaran 20 ulama besar Minangkabau yang didominasi ulama laki-laki. Ia memperjuangkan madrasah bagi anak-anak perempuan, agar mereka memperoleh pendidikan yang layak dan setara dengan anak laki-laki.

Melalui Yayasan Pendidikan Al-Yunusiah, dua puluh tahun setelah Kartini wafat, isu pendidikan bagi anak perempuan semakin menguat. Sekolah Muslimah yang didirikannya, menantang pandangan publik tentang peran gender tradisional perempuan, yang sangat kental dalam masyarakat Minbangkabau saat itu. Misinya yang sangat monumental ialah “mendidik gadis-gadis yang berjiwa Islam dan guru-guru perempuan yang cakap yang memiliki tanggung jawab atas kekayaan sosial dan nasionalisme berdasarkan pengabdian kepada Tuhan”.

Aktivis Muslimah dalam sejarah perjuangan kemerdekaan, juga hadir di bidang politik. Salah seorang tokoh politisi Muslimah kala itu ialah Hajjah Rangkayo Rasuna Said (1910-1965), ia mendapat julukan ‘Singa Betina’ atas kepandaiannya berorasi dan berdebat. Rasuna Said memiliki pengetahuan dan kecakapan cemerlang di dunia politik. Ia senantiasa mengobarkan semangat anti-penjajahan, melalui tulisannya di surat kabar, maupun orasinya di mimbar.

Pada kesempatan berpidato dalam rapat umum Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) tahun 1932, Rasuna Said dengan fasih dan lantang menerangkan bahwa para penjajah memperbodoh dan memiskinkan bangsa Indonesia. Jiwa perbudakan menyebabkan rakyat menjadi sangat menderita, malas, dan tidak bertanggung jawab. Momen tersebut menyebabkan ia dituduh melanggar Spreekdelict atau larangan berbicara di muka umum. Rasuna Said menerima hukuman penjara selama setahun dua bulan. Setelah bebas, ia tetap melanjutan perjuangannya. Singa betina ini aktif di berbagai organisasi perjuangan kemerdekaan.

Agenda pendidikan perempuan, organisasi perempuan Muslimah, dan pergerakan perempuan, merupakan bagian integral dari gerakan kemerdekaan RI. Perjuangan kemerdekaan negeri ini, tidak lepas dari perjuangan dan kontribusi para Muslimah untuk memajukan kaumnya. Berapa tokoh yang disebutkan di atas belumlah mewakili seluruh perempuan yang pernah berjasa bagi negeri ini.

Sejarah, pada hakikatnya, merupakan penyimpan ingatan suatu bangsa. Mengabaikan sejarah sama saja dengan kehilangan ingatan. Menurut Yusuf Qardhawi, Sejarah adalah cermin yang di dalamnya tampak berbagai sunnah (peraturan) Allah SWT, di alam semesta ini secara umum dan dalam komunitas manusiawi secara kusus. Sungguh, telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah (Allah), karena itu berjalanlah kamu ke (segenap penjuru) bumi dan perhatikanlah bagai-mana kesudahan orang yang mendustakan (QS. Ali Imran: 137)

Dengan demikian, senantiasa memperbaharui perhatian tentang sejarah wanita Muslimah bangsa ini dapat memberikan kita dorongan untuk lebih mengenali karakter diri dan kontribusi integral yang dapat dilakukan perempuan Muslimah, demi kemajuan yang berkelanjutan. Tokoh Muslimah dalam sejarah negeri kita telah menunjukan karakter mulia. Kekuatan sosial-intelektual, keberanian, keteguhan, dan keyakinan untuk megambil peran di tengah masyarakat, tidak boleh luntur. Yuk menjadi Muslimah hebat bagi bangsa dan negara!

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.