Belajar Memahami Kebhinekaan Ala Gus Dur

KolomBelajar Memahami Kebhinekaan Ala Gus Dur

Berbeda-beda tetap satu jua, kebebasan beragama dan berpendapat menjadi hadiah terbaik pasca orde baru tumbang. Dari tangan dingin ulama nyentrik, Presiden, Tokoh NU, yang khas dengan kata gitu aja kok repot.

Bhineka Tungal Ika, berbeda tetap satu jua. Itu kata dalam buku bukan kata dilapangan. Memaknai Kebhinekaan di negeri ini harus bercermin bagaimana perjuangan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam menginplementasi secara menyeluruh di negara sebesar Indonesia.

Gus Dur memahami sebelumnya sebagai negara yang besar dan baru tumbuh, Indonesia memerlukan reformasi, salah satunya reformasi Kebhinekaan dan memberikan kebebasan untuk setiap indvidu untuk beragama, berpendapat serta berorganisasi.

Sikap dan langkah Gus Dur dalam menginplementasi kebhinekaan salah satunya dengan membela hak-hak minoritas dalam memeluk agama yang diyakini. Dan mencabut peraturan larangan warga Konghucu untuk beribadah sesuai ajaran agama mereka.

Sikap Gus Dur terhadap khebinekaan di Indonesia, berbuah hasil yang nyata dengan memberikan kebebasan beragama dan berbudaya sesuai dengan keyakinan masyarakat Indonesia, hinga saat ini konsep dan gagasan Gus Dur digunakan sebagai nilai-nilai atau norma bermasyarakat dan bernegara.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, memberikan penghargaan terhadap sikap kebhinekaan Gus Dur dengan sebutan Bapak Plurulisme. Atas sikap dan gagasan dalam menghormati keberagaman dan perbedaan umat beragama.

Selain penghargaan dalam negeri, Gus Dur juga mendapatkan penghargaan dari luar negeri salah satunya Ramon Magsaysay Award dalam bidang kepemimpanan atau medal valor, penghargaan ini diberikan atas keberanian Gus Dur dalam membela hak-hak kaum minoritas di negara ini.

Dalam sejarah kebebasan beragama terutama agama Khonghucu, terbelengu dalam Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang  Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Setelah runtuhnya kepemimpinan Presiden Seoharto serta berakhirnya masa transisi antara Seoharto kepada Bj Habibie, dan digantikan oleh Abdurahman Wahid (Gus Dur) intruksi presiden ini dicabut dan digantikan oleh Keputusan presiden Republik Indonesia nomor 6 tahun 2000 tentang pencabutan intruksi presiden nomor 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat cina.

Baca Juga  Indonesia Proklamirkan Kemerdekaan di Bulan Ramadhan

Sebagai masyarakat yang hidup dalam sebuah negara multikultural, multi etnis dan multi religi,  hendaknya masyarakat tidak mendahului ego sentris, apalagi berkaitan dalam politik dan kekuasaan serta harus mendahului dan mencontoh sikap Gus Dur dalam memahami sikap khebinekaan dan kemanusiaan.Teringat kata-kata Gus Dur berikut: “Yang lebih penting dari politik, adalah kemanusiaan.”

Oleh: Aan Sugita

Artikel Populer
Artikel Terkait