Radikalisasi Pancasila

KolomRadikalisasi Pancasila

Kuntowijoyo, sejarawan kenamaan Indonesia, dalam opininya berjudul “Radikalisasi Pancasila” di harian Kompas (20/02/2001), menjelaskan, ada tiga kriteria cara pengamalan Pancasila. Pertama, Pancasila harus melandasi dan disenyawakan, teks per-teksnya, dengan setiap peraturan perundang-undangan, (disebut konsistensi). Kedua, antar butir Pancasila harus saling terkait (disebut koherensi). Ketiga, antara teori Pancasila dan praktek mesti sejalan (disebut korespondensi).

Hingga kini, penyelewengan terhadap Pancasila masih terjadi di mana-mana. Dalam level negara, penyelewengan atas konsistensi Pancasila terlihat pada struktur negara kita saat ini, yang dikuasai oleh kapitalisme. Demokrasi kita memperlihatkan, siapa yang menang, maka dia yang mengambil. Ekonomi kita dikuasai oleh segelintir orang, para konglomerat dan pemilik modal. Belum lagi, praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, bukan semakin menurun, malah tumbuh subur. Bahkan sebagian peraturan perundangan kita tidak pro rakyat dan dikuasai kepentingan para kapitalis.

Sementara negara terus berupaya mempromosikan Pancasila ke masyarakat sebagai ideologi negara. Namun, Pancasila itu belum mewarnai sistem negara kita. Terutama aplikasi sila kerakyatan dan keadilan sosial. Padahal mewujudkan kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial adalah amanat Pancasila dan UUD 1945.

Dalam level masyarakat, penyelewengan koherensi dan korespondensi Pancasila makin merebak. Dalam konteks keislaman, Pancasila sedang menghadapi tantangan berat. Terutama sejak pilkada DKI Jakarta, nilai-nilai Pancasila seperti Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, dan Persatuan Indonesia, semakin tercabik-cabik.

Kita melihat bagaimana intoleransi dan diskriminasi atas agama dan kepercayaan yang berbeda, tindakan caci maki dan kebencian, perpecahan karena perbedaan politik dan pandangan, radikalisme dan ekstremisme, memenuhi ruang publik kita.

Sekarang, kita mengalami krisis bernegara, krisis akhlak, krisis kemanusiaan dan krisis keberagamaan. Kita sedang mengalami krisis ber-Pancasila. Apa yang harus kita lakukan?

Mengikuti saran Kunto, pada awal masa reformasi dulu, kita perlu melakukan “Radikalisasi Pancasila”. Radikal berasal dari kata radix, yang berarti mengakar. Artinya, Pancasila harus dikembalikan kepada akarnya sebagai landasan filosofis untuk ber-Indonesia, tata nilai yang hidup dari masyarakat, dan rambu-rambu umum yang menuntun berbagai gerak peradaban bangsa kita.

Pancasila harus kita jadikan sebagai cara berfikir yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup kita sebagai bangsa. Selama ini, kita hanya memposisikan Pancasila sebagai mitos, sehingga terkesan angker dan tidak membumi. Pancasila hanya terlihat sebagai simbol yang harus dihafal, namun minim pemaknaan, yaitu memberi arti dan pengertian baru yang relevan dengan kepentingan bangsa kita.

Baca Juga  Mencermati Warisan Kolonial Masa Kini

Pancasila adalah milik kita bersama. Karenanya pemaknaan atas Pancasila harus kita lakukan secara bersama. Mulai dari pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat, harus terlibat aktif dalam mengisi makna Pancasila. Pemaknaan Pancasila harus hidup dari dan dalam masyarakat. Karena ketika Pancasila hadir dalam kultur masyarakat, maka ia akan dinamis.

Sebaliknya, pemaknaan Pancasila tidak boleh dimonopoli negara. Karena ketika Pancasila dipegang oleh negara akan menjadi doktrin. Maka, negara dan masyarakat harus bekerjasama untuk mengisi pemaknaan Pancasila, seperti membuka ruang-ruang diskusi dan sosialisasi Pancasila melalui kultur budaya.

Dalam level negara, Pancasila harus mewarnai substansi produk-produk perundangan dan sesuai dengan realitas sosial masyarakat. Jangan sampai ada undang-undang yang berlawanan dengan nilai-nilai Pancasila dan kenyataan yang ada di masyarakat. Pancasila harus terkoneksi dan terintegrasi dengan sistem politik dan ekonomi kita yang dikuasai kapitalisme, sehingga Pancasila bisa menjadi kontrol utama atas berbagai sistem yang berjalan di negara ini.

Dalam pengamalannya, antar sila dalam Pancasila harus terkoneksi satu sama lain. Sila Ketuhanan harus berhubungan dengan sila Kemanusiaan, sila Kemanusiaan harus bersenyawa dengan sila Persatuan, dan seterusnya. Hari ini terjadi tumpang tindih antar sila, seperti ada yang mempertentangkan agama dan Pancasila. Padahal, dalam Pancasila terkandung nilai-nilai agama. Ada juga yang menyuarakan kemanusiaan, misalnya, tapi mengabaikan nilai ketuhanan.

Dalam konteks Islam, kita harus menekankan kepada masyarakat bahwa antara Islam dan Pancasila itu saling berhubungan dan tidaklah bertentangan. Bahkan, mengamalkan Pancasila sejatinya adalah mengamalkan Islam itu sendiri. Islam, jika difilosofikan, maka akan terdapat butir-butir Pancasila. Karena Sila Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial, menggambarkan substansi ajaran Islam.

Dengan melakukan Radikalisasi Pancasila, perjalanan kita sebagai bangsa punya pedoman dan tuntunan dalam menghadapi setiap tantangan ke depan. Negara punya kontrol dalam menjalankan berbagai kebijakannya. Masyarakat tidak kehilangan arah dalam menjalani kehidupan. Kita hidup dalam nilai-nilai ketuhanan, yang berkemanusiaan, yang bersatu, yang merakyat, dan yang berkeadilan sosial.

Oleh: Panji Setiawan

Artikel Populer
Artikel Terkait