Gus Yusuf Chudlori: Tugas Seorang Santri Belajar Sepanjang Hayat

BeritaGus Yusuf Chudlori: Tugas Seorang Santri Belajar Sepanjang Hayat

ISLAMRAMAH.CO, Menjadi seorang yang pernah menimba ilmu di pondok pesantren adalah pengalaman berharga yang tidak bisa dilupakan. Tiap hari santri disibukkan dengan mendalami ilmu agama yang kelak diharapkan bisa diamalkan kepada kepentingan masyarakat. Namun ketika sudah habis masa menuntut ilmu di pesantren, seorang santri akan menemukan tantangan nyata di masyarakat.

Seorang santri dituntut untuk tidak latah dalam menghadapi kehidupan masyarakat yang kompleks. Hal ini mengisyaratkan seorang santri mempunyai kewajiban ganda, di samping mempunyai kewajiban menyampaikan ilmu yang ia peroleh di pesantren, ia juga harus memikirkan langkah dakwah apa yang bisa ditempuh agar ajaran agama mudah diterima di masyarakat.

Menurut Pengasuh Asrama Perguruan Islam (API) Pondok Pesantren Salafi Tegalrejo, Magelang KH Yusuf Chudlori, kewajiban seorang santri tidak selesai ketika ia sudah lulus dari pesantren. Akan tetapi setidak-tidaknya ketika ia sudah bermasyarakat harus menampilkan akhlak seorang santri yang ramah dan rendah hati.

Ketika masyarakat melihat akhlak santri yang begitu luhur, maka dengan sendirinya masyarakat akan menghormati dan dari situlah masyarakat akan bisa menerima ajaran agama yang kita disampaikan. Hal ini menunjukkan akhlak berperan penting dalam proses penerimaan masyarakat terhadap nilai-nilai agama yang sejatinya mengandung kebaikan. Suatu kebaikan bisa ditolak jika menggunakan cara-cara yang tidak beradab.

“Ilmu yang diperoleh santri selama mondok, harus tetap diamalkan, meski sudah tidak berada di pondok. Harus diupayakan sebisa mungkin dipakai misal untuk dakwah di tengah-tengah masyarakat,” katanya saat mengisi pengajian Forum Komunikasi Mahasiswa Nahdlatul Ulama Universitas Negeri Semarang menggelar ngaji bersama KH Yusuf Chudlori (Gus Yusuf) di Masjid Ulul Albab Universitas Negeri Semarang (Unnes), belum lama ini.

Dalam pengajian tersebut Gus Yusuf, sapaan akrab KH Yusuf Chudlori mengisahkan tentang sejarah seorang santri yang menjadi pejuang kemerdekaan dengan mengobarkan semangat rakyat Jawa dalam menghadapi segala penindasan yang dilakukan oleh kolonial Belanda.

Menurut Gus Yusuf, walaupun Abdul Hamid, yang lebih dikenal Pangeran Diponegoro merupakan seorang pejuang ia tidak melupakan jati dirinya sebagai seorang santri, disamping ia melakukan perang gerilya, namun ketika malam hari ia bersama pasukannya tidak lupa untuk mengaji.

Baca Juga  Mahfud MD: Pancasila Sebagai Ideologi Pemersatu Bangsa

Salah satu kitab peninggalanya yang sekarang masih tersimpan di Museum Bakorwil Magelang yaitu kitan Fathul Qorib.  “Dia adalah Pangeran Diponegoro, sesekali kita bisa menilik peninggalan Pangeran Diponegoro di Museum Bakorwil Magelang. Di sana masih ada kitab Fathul Qorib dan tasbih milik Pangeran Diponegoro,” jelas Gus Yusuf.

Dai yang juga menaruh minat pada kebudayaan itu menyampaikan, disamping kitab Fathul Qorib yang dimiliki Pangeran Diponegoro, ada juga peninggalan tasbih yang selalu digunakan untuk berdzikir, menurut beberapa catatan sejarah Pangeran Diponegoro seorang pengamal tarekat Syatariyah.

Tentu menjadi pelajaran bagi santri sekalian bahwa, sehebat apapun seseorang pasti ia tidak akan meninggalkan jati dirinya sebagai seorang santri yang selalu mengamalkan ilmunya serta mendekatkan diri kepada Sang Maha Pemberi Kehidupan. “Kedua peninggalan ini masih ada di museum tersebut. Tentu masih banyak peninggalan pahlawan perjuangan ini,” papar tokoh kebudayaan Suran Tegalrejo tersebut.

Dalam akhir ceramahnya Gus Yusuf berpesan kepada para hadirin, terutama bagi kalangan santri untuk tetap menjadi santri selamanya, yaitu menjadi santri pembelajar, tidak hanya saat ia masih mondok di pesantren saja. Seorang santri harus meniru laku Pangeran Diponegoro yang sampai akhir hayatnya tetap mengaji. Hal ini harus dijadikan pegangan oleh santri milennial yang sekarang sudah banyak yang melanjutkan di perguruan tinggi, baik di dalam maupun luar negeri.

Iklim yang bebas menjadikan mahasiswa, bahkan santri ikut terlena dan terjerumus ke dalam pergaulan yang negatif. Sehingga Gus Yusuf mewanti-wanti agar tidak meninggalkan jati diri santri mahasiswa yang memang terlahir dari rahim pesantren. Kewajiban santri adalah mengaji sepanjang hayat, seorang santri mempunyai kewajiban moral untuk menyampaik pesan-pesan islam ramah kepada dunia.

“Jadi mengajilah sepanjang hayat di bandung badan, Walaupun sampeyan ini mahasiswa, jangan sekali-kali menanggalkan kesantrian kalian. Boleh kuliah di Eropa, Amerika, Timur Tengah. Namun, jangan sekali-kali meninggalkan ngaji,” tegasnya.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.