BERAGAMA YANG RAMAH LINGKUNGAN

KolomBERAGAMA YANG RAMAH LINGKUNGAN

Tragedi karhutla yang melanda berbagai daerah di Indonesia telah menelan banyak korban. Dari tahun ke tahun, skala bencana alam di negara kita semakin meningkat akibat dari ketidak-stabilan alam dan lingkungan. Tak sedikit kerugian yang harus ditanggung, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, terutama menyangkut dampak lingkungan. Lingkungan yang seharusnya dijaga malah dijadikan ladang untuk mengeruk keuntungan belaka. Nilai-nilai luhur nenek moyang kita yang mengajarkan untuk menjaga dan merawat lingkungan semakin pudar dan terngiang di dalam angan semata.

Beberapa kota di Indonesia merasakan langsung bagaimana dahsyatnya dampak kebakaran hutan dan lahan yang terjadi. Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga rabu (19/8/2019) sudah terdeteksi ada 2.948 titik api di seluruh Indonesia yang terdampak pada lahan seluas 328.724 hektar. Dan kebakaran tidak hanya berdampak buruk terhadap hutan dan lahan, melainkan juga terhadap manusia yang hidup di sekitarnya.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan  mencatat, Intensitas karhutla di beberapa daerah Kalimantan sangat mengkhawatirkan. Pada periode ketiga tahun 2019 saja, di Kalimantan Barat sudah tercatat seluas 25.900 hektar lahan yang terdampak. Kalimantan Selatan seluas 19.490 hektar, Kalimantan Timur 19.890 hektar, Kalimantan Utara seluas 1.444 hektar, dan terparah melanda daerah Kalimantan Tengah seluas 44.769 hektar lahan. Begitupun dengan pulau Sumatera yang belum ada perbaikan, Riau sebagai daerah terdampak paling parah seluas 49.266 hektar, Sumatera Selatan 11.826 hektar, Sumatera Utara 1.775 hektar.  

Dampak yang paling terasa adalah hampir satu juta orang menderita infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) di berbagai daerah akibat karhutla, dengan  Sumatera Selatan menjadi daerah yang paling banyak penderitanya, yakni sekitar 291.807 orang. Selain itu, Pemprov Riau telah menetapkan status darurat pencemaran udara karhutla selama 9 hari setelah ketebalan asap yang tinggi disertai bau menyengat pada senin 23 September 2019.

Malaysia pun tak luput dari dampak asap karhutla tersebut. Sebanyak  298 sekolah diliburkan di Serawak Malaysia di 8 distrik pada selasa (17/9/2019). Penutupan sekolah tersebut berimbas pada 128.291 siswa yang merupakan siswa dari 245 sekolah dasar dan 53 sekolah menengah pertama karena meningkatnya kadar polusi udara. Nasib lebih baik masih menghinggapi Singapura. Meskipun tidak sampai di tutup, otoritas setempat mempertimbangkan penutupan beberapa sekolah jika kualitas udara sudah masuk kategori berbahaya. Bukan kali ini saja, kejadian terparah akibat karhutla tercatat pada tahun 1997 dimana seluruh wilayah Asia Tenggara menjadi gelap.

Menanggapi bencana tersebut, beberapa masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat mulai bergerak. Aliansi Mahasiswa Yogyakarta (AMY) yang merupakan gabungan dari beberapa mahasiswa asal Kalimantan dan Sumatera menuntut tanggung jawab pemerintah atas maraknya kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan kebulan asap tebal. Mereka menuding bahwa monopoli tanah jadi biang keladi karhutla di Kalimantan dan Sumatera. Ekspansi perkebunan kelapa sawit besar-besaran menjadi penyebab utama pembukaan lahan baru untuk perkebunan. Pembukaan lahan baru kelapa sawit itu yang membuat aksi pembakaran hutan dan lahan marak terjadi oleh korporasi yang memiliki izin konsesi lahan.

Pernyataan satire pernah dilontarkan oleh juru kampanye Greenpeace, Arie Rampos, yang mengatakan bahwa paru-paru warga lebih kotor dari pada sepatu Jokowi. Analogi sepatu kotor Jokowi berawal ketika kunjungan Presiden ke-7 Indonesia tersebut ke Riau pada Selasa (17/9/2019) untuk meninjau langsung lokasi kebakaran hutan dan lahan dengan tanpa menggunakan masker serta memakai sepatu kotor. Sindiran itu tentu ditujukan kepada pemerintah yang sampai saat ini belum ada ketegasan untuk menindak oknum-oknum perusak lingkungan sehingga peristiwa serupa terus terulang secara rutin. Dalam laporannya, Greenpeace menyatakan bahwa sudah ada 3,4 juta hektar lahan terbakar dalam rentang waktu 2015-2018 (Kompas, 25/09/2019).

Baca Juga  Gaza dan Pentingnya Sensitivitas Kemanusiaan dalam Berpolitik

Maraknya kejadian karhutla di Indonesia mengindikasikan bahwa ada nilai yang hilang di masyarakat kita. Perkembangan tekhnologi dan industri turut berperan dalam mengikis itu. Nilai ini bukanlah produk ‘impor’ seiring modernisasi, melainkan nilai-nilai yang sudah diajarkan oleh para leluhur kita sejak dahulu. Yakni, hubungan yang harmonis antara manusia dan lingkungan.

Lingkungan tempat kita tinggal sudah terindikasi tidak natural lagi akibat ekspoloitasi alam yang tak terkontrol. Pemamfaatan lahan dan alih fungsi hutan besar-besaran oleh segelintir orang tanpa memikirkan dampak buruk lingkungan yang akan dirasakan di masa mendatang kurang menjadi perhatian. Berbeda sama sekali dengan masyarakat adat Dayak sebagai peladang lokal yang memiliki mekanisme kearifan lokal untuk mencegah kebakaran hutan. Mereka melalui serangkaian upacara adat untuk menentukan lokasi pembukaan lahan. Pemilihan ladang dilakukan dengan cara musyawarah, menimbang pertanda alam dan magis.

Masyarakat Dayak tidak akan menggunakan lahan resapan air, pencarian lokasi lain akan dilakukan jika menemukan tanda-tanda kehidupan seperti suara-suara burung tertentu. Semua pertanda itu harus disetujui pula oleh para leluhur lewat mimpi bagus. Tak boleh ada satu langkah pun yang dilewatkan. Tahapan pembukaan lahan berupa menebas, menebang, dan membakar lahan. Sebelum melakukan pembakaran, peladang Dayak akan membuat sekat sebagai pembatas area bakar. Semak, daun, dan ranting dibersihkan selebar kurang lebih 1-4 meter.

Langkah tersebut bertujuan agar api tidak merembet ke lahan sekitar saat pembakaran berlangsung. Api akan padam sekitar satu jam kemudian. Orang Dayak melakukan pembukaan lahan secara gotong royong. Saat menunggu api pun, mereka tidak akan meninggalkan ladang sampai api dipastikan padam sepenuhnya. Denda adat akan dikenakan kepada mereka yang lalai menjaga api dan membuat kebakaran merembet ke lahan lain karena dianggap tidak menghormati leluhur, hukum adat, dan termasuk kejahatan lingkungan.  

Dengan semboyan ‘ginoku katuhuaku’ yang berarti tempat ini adalah kehidupan kami, Masyarakat Adat Lindu di Sulawesi Tengah mempunyai semangat yang sama dengan suku Dayak dalam hal konservasi alam. Hal itu dibuktikan dengan pemberlakuan zonasi penggunaan hutan oleh masyarakat ke dalam beberapa area dengan aturan masing-masing. Area yang sama sekali tidak boleh disentuh oleh masyarakat disebut hutan Wanangkiki. Wilayah permukiman masyarakat dan tempat terjauh dari gunung dan hulu sungai termasuk wilayah ini. Sedangkan area hutan yang bisa dimanfaatkan secara terbatas untuk memenuhi kebutuhannya seperti daun enau untuk membuat ijuk, tanaman pondan hutan untuk membuat tikar penjemur padi, disebut wilayah Suakantodea.

Sementara itu, lahan garapan masyarakat Lindu disebut Pobondea, Popampa, dan Polida. Area Pobondea merupakan tempat di mana masyarakat boleh menanami dengan tanaman produktif seperti kopi, cokelat, dan bambu. Popampa merupakan kebun tempat menanam ubi jalar, pisang, jagung serta tanaman palawija. Polida adalah area tempat persawahan. Aturan ini berlaku ketat dan mengikat bagi masyarakat setempat sehingga penerapan sanksi atau denda adat (gifu) adalah konsekuensi yang harus ditanggung bagi pelanggarnya. Yang terberat, mereka bisa dikeluarkan dari wilayah adat Lindu.

Sudah saatnya kita mengambil nafas sejenak dan merenung tentang bagaimana mencarikan solusi dari berbagai bencana alam, termasuk kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia. Dengan hanya menunggu tindakan konkrit dari pemerintah rezim yang berkuasa, kita hanya akan membuat masalah ini berlarut-larut sedang kondisi hutan kita semakin kritis. Saling menyalahkan satu sama lain bukanlah jalan keluar dari suatu permasalahan tapi mengaplikasikan nilai-nilai luhur substansial dari norma dan praktik nenek moyang bangsa kita patut menjadi pertimbangan.

Wilayah adat yang pengelolaan sumber daya alamnya dikelola secara otonom oleh berbagai komunitas adat ternyata mampu menjaga kelestarian. Masyarakat adat terbukti mampu menyangga kehidupan dan keselamatan sebagai komunitas dan sekaligus penyangga layanan sosio-ekologis alam untuk kebutuhan seluruh makhluk, termasuk manusia.

Kearifan lokal penting untuk dilestarikan dalam suatu masyarakat guna menjaga keseimbangan dengan lingkungan sekaligus dapat melestarikan lingkungannya. Alam mempunyai hak untuk dihormati, tidak saja karena kehidupan manusia bergantung dengan alam, tetapi juga karena secara ontologis bahwa manusia adalah bagian integral dari alam.

Dalam khazanah Islam, ajaran Islam Rahmatan lil ‘Alamin sebenarnya tidak hanya mengacu keramahtamahan terhadap manusia, tetapi juga terhadap lingkungan dan alam raya. Karenanya, sudah sepatutnya kita ramah terhadap lingkungan kita, sebagaimana dalam tradisi-tradisi dan kebudayaan lokal yang sangat kaya dengan khazanah ramah pada lingkungan.

Oleh; Nor Kholis Swandi, Mahasiswa Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.