Gus Mus: Berislam, Kita Butuh Sastra

BeritaGus Mus: Berislam, Kita Butuh Sastra

ISLAMRAMAH.CO, Islam adalah agama yang menjadi rahmat bagi seluruh makhluk di alam semesta (rahmatan lil’alamin). Namun demikian, untuk memahami Islam sebagai rahmat, tidak cukup bermodalkan pengetahuan umum. Berislam membutuhkan sastra karena hanya melalui sastra perasaan welas asih dan kasih sayang terhadap orang lain akan muncul. Sebaliknya, berislam tanpa sastra bisa melahirkan pemikiran dan sikap yang kaku dan mudah menyalahkan yang lain.

Pesan itulah yang disampaikan KH Mustofa Bisri atau Gus Mus  saat menyampaikan pidato kebudayaan pada Muktamar Sastra 2018 di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Situbondo, Rabu (18/12). Menurut Gus Mus, saat ini umat Islam membutuhkan sastra. Begitu banyak orang-orang menampilkan agama dengan cara yang justru jauh dari ajaran-ajaran Islam. Hal itu menurut Gus Mus karena sastra tidak menelusup ke dalam kesadaran jiwa dan hati umat beragama.

“Kita sekarang  yang kurang adalah olah dzauq (rasa). Orang yang tidak punya dzauq jangan diajak bicara soal sastra. Ndak mudeng (tidak paham). Jangan diajak bicara soal rahmatan lil ‘alamin. Rahmatan itu rasa.  Kalau orang tidak punya rasa, maka tidak punya perasaan, hanya perhatiannya kepada manusia saja,” katanya.

Gus Mus menambahkan, pesantren menjadi cerminan keberislaman yang mengandung nilai-nilai sastra. Betapa tidak, di pesantren kita dengan mudah akan mendaptkan humor, kesantunan dan kelembutan dan itu semua adalah sastra. Para sastri tidak hanya belajar membaca, tetapi juga mendalami ilmu-ilmu alat untuk mendalami keindahan sastra dalam al-Quran.

“Orang pesantren punya humor, kesantunan, kelembutan. Ada atsar dari sastra al-Quran pada diri mereka. Sebab, mereka tidak hanya membaca tetapi juga mempelajari ilmu alat untuk memahami keindahan al-Quran,” jelas Kiai asal Rembang, Jawa Tengah itu

Baca Juga  Gus Mus: Nabi Memanusiakan Manusia

Gus Mus juga mengingatkan, sejatinya para kiai-kiai sepuh nusantara juga sastrawan. Para kiai-kiai tentu saja memahami keindahan sastra dalam al-Quran, dan ajaran-ajaran Islam yang tak lepas dari narasi-narasi sastra. “Mbah Hamid sejak di Tremas sudah dikenal sastrawan. Kyai As’ad juga sastrawan. Tapi keduanya lebih menonjol kewaliannya. Ini kebalikan saya,” pungkasnya.

Artikel Populer
Artikel Terkait

1 KOMENTAR

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.