Membangun Perdamaian

KhazanahKhutbah Jum'atMembangun Perdamaian

Jamaah Shalat Jumat yang dimuliakan Allah Subhanahu Wata’ala

Allah berfirman di dalam Al-Quran:

وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakal-lah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui (QS. Al-Anfal: 61).

Ayat al-Quran di atas menjelaskan kepada kita tentang pentingnya perdamaian dalam kehidupan. Berdasarkan ayat al-Quran tersebut, perdamaian harus senantiasa diperjuangkan dan dikedepankan ketimbang pilihan-pilihan hidup yang lain, baik dalam keadaan normal maupun dalam keadaan perang.

Dalam kitab tafsir Mafatih Al-Ghaib, Imam Ar-Razi menyebutkan bahwa ayat ini turun ketika perang Badar terjadi antara umat Islam dengan orang-orang kafir Quraisy. Perang Badar adalah perang pertama dalam sejarah umat Islam. Perang ini terjadi dengan kekuatan yang tidak seimbang antara kedua belah pihak. Orang-orang Islam yang terlibat dalam perang ini hanya berjumlah 313 orang. Sedangkan orang-orang kafir Quraisy berjumlah 1.000 orang. Namun, kekuasaan Allah telah menjadi kekuatan maha dahsyat yang tak terlihat oleh siapapun, hingga umat Islam mencapai kemenangan gemilang dalam peperangan ini.

Dari sebab turunnya ayat di atas, betapa perdamaian sangat ditekankan dalam Islam. Dalam keadaan perang pun Islam tetap mengedepankan dan mengupayakan tegaknya perdamaian.

Imam Ali bin Abi Thalib pernah menceritakan suatu Hadis Nabi Muhammad SAW terkait dengan ajaran perdamaian dalam Islam. Menurut sahabat Ali, Nabi Muhammad SAW pernah menegaskan bahwa akan banyak perbedaan setelah beliau meninggal dunia. Dalam menghadapi menghadapi berbagai pertentangan dan perbedaan yang ada, Nabi Muhammad SAW menyuruh sahabat Ali bin Abi Thalib agar senantiasa memilih dan mengedepankan perdamaian, meskipun harus mengerahkan segenap kemampuannya.

Rasulullah SAW bersabda:

إنّه سيكون بعدى إختلاف (أو أمر) فإن استطعت أن يكون السّلم، فافعل

Sesungguhnya akan terjadi banyak perbedaan setelah Aku (meninggal). Bila Engkau mampu mewujudkan perdamaian, maka lakukanlah.

Apabila yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW pada masa Hudaibiyah (‘am al-hudaybiyyah) patut dijadikan teladan oleh segenap umat Islam dalam menegakkan perdamaian. Yaitu ketika orang-orang kafir Quraiys meminta berdamai dengan Nabi Muhammad SAW dan semua pengikut-nya.

Tak hanya itu, orang-orang Quraiys juga meminta Nabi Muhammad SAW agar mengurungkan niatnya untuk mengunjungi kota Mekkah, kota suci sekaligus tempat kelahiran Nabi Muhammad SAW sebelum beliau hijrah ke Madinah. Padahal, saat itu Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya sudah dalam keadaan siap seratus persen untuk melakukan kunjungan atau umrah ke Kota Suci tersebut. sebagai imbalannya, orang-orang Quraiys berjanji tidak akan mengganggu umat Islam kembali bila berkunjung ke kota Mekah setelah masa Hudaibyah.

Nabi Muhammad SAW sepakat dengan ajakan perdamaian di atas dan memilih mengurungkan niat sucinya tersebut. Sejumlah sahabat Nabi seperti sahabat Umar bin Khattab terperangah menyaksikan keputusan bijak yang diambil oleh Nabi Muhammad SAW. Tapi keputusan ini sepintas merugikan beliau beserta pengikutnya.

Nabi Muhammad SAW kemudian meyakinkan para sahabatnya akan kebenaran dan kebijaksanaan dalam keputusan tersebut. Nabi Muhammad SAW juga meyakinkan para sahabat bahwa keputusan ini merupakan tuntunan Allah. Dan yang tak kalah pentingnya adalah, bahwa keputusan demi perdamaian tidak akan pernah salah atau merugikan.

Jamaah Shalat Jumat yang Dimuliakan Allah Subhanahu Wata’ala

Dalam pantauan Setara Institute, terdapat 367 tindakan kekerasan dan pelanggaran berkeyakinan yang terjadi di sepanjang tahun 2008. Pemantauan ini dilakukan di 10 wilayah di Indonesia, antara lain: Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan.

Angka-angka di atas menggambarkan dengan jelas, betapa kekerasan masih menjadi persoalan pelik dalam kehidupan beragama dan berbangsa. Di mana kekerasan tak hanya dilakukan untuk menghakimi mereka yang berbeda agama, melainkan juga untuk menyesatkan mereka yang satu agama. Terutama mereka yang berbeda mazhab, aliran dan sekte.

Dalam konteks keberagamaan, kekerasan dan penyesatan mereka yang berbeda tak ubahnya candu; sekali digunakan ia akan terus terulang. Pada mulanya, mereka menyalahkan dan menyesatkan mereka yang berbeda agama, kemudian mereka yang berbeda sekte, berbeda mazhab, dan berbeda pemahaman. Karena bagi mereka yang benar dan tidak sesat hanyalah diri dan pemahaman mereka sendiri.

Pada ghalibnya, fenomena ini terjadi hampir di semua kehidupan umat beragama, apapun agamanya. Fenomena ini terjadi setidaknya karena dua hal utama. Pertama, adanya beberapa doktrin yang bersemangat eksklusivisme, seperti klaim kepemilikan atas kebenaran absolut (al-haqiqah al-muthlaqah), umat terbaik, umat pilihan dan lain sebagainya. Kedua, adanya beberapa ujaran yang cenderung dipahami membolehkan tindakan kekerasan. Apalagi kekerasan tersebut dilakukan untuk menghakimi “mereka yang berbeda”, sebagaimana telah disampaikan di atas.

Baca Juga  Membangun Solidaritas Sosial

Harus jujur diakui, Islam juga mempunyai beberapa ajaran yang terkait dengan aksi-aksi keras seperti perang. Juga benar bahwa Al-Quran dan Hadis terdapat beberapa ajaran tentang perang dan jihad.

Namun sungguh tidak benar bila diyakini bahwa ajaran-ajaran perang adalah satu-satunya doktrin dalam Islam. Sebagaimana juga tidak benar bila ajaran jihad hanya dipahami sebagai ajaran tentang angkat senjata ataupun aksi-aksi keras lainnya. Karena terdapat sekian ajaran tentang peramaian yang dijadikan pilihan hidup. Sebagaimana juga terdapat makna jihad lain di luar aksi keras. Dan hampir semua ajaran jihad atau perang mempunyai latar belakang ataupun konteks yang dapat menjelaskan mengapa hal itu harus dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa ajaran tentang perang dalam Islam tidak digunakan secara tepat.

Jamaah Shalat Jumat yang dirahmati Allah Subhanahu Wata’ala

Nabi Muhammad SAW bersabda, Allah memberikan pada kelembutan hal-hal yang tak diberikan kepada kekerasan.

إنّ الله رفيق يحبّ الرّفق ويعطي عليه مالا يعطي على العنف

Sesungguhnya Allah itu Maha Pengasih, mencintai sifat welas-asih, dan memberikan (banyak keistimewaan) yang tidak diberikan kepada sifat kejam atau kekerasan.

Hadis di atas hendak menegaskan bahwa perdamaian adalah yang pertama dan terutama. Dalam keadaan apapun, perdamaian harus senantiasa diperjuangkan dan ditegakkan. Karena hanya dalam damai manusia sebagai khalifah di muka bumi bisa menjalankan mandat dan kepercayaan Allah, yaitu untuk membangun kehidupan dan peradaban adihulung.

Ada seorang sahabat yang bertanya kepada Nabi Muhammad SAW, “Islam seperti apa yang utama wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Menyantuni makanan dan menyebarkan salam perdamaian, baik kepada orang yang Engkau kenal atau yang tidak Engkau kenal.”

Tentu saja, Nabi Muhammad SAW tidak hanya sedang menuntun umatnya agar membiasakan dan menghormati orang lain dengan ucapan assalamu’alaikum yang bermakna: kedamaian untukmu. Lebih dari pada itu, Nabi Muhammad SAW hendak membangun kehidupan umat yang santun, peduli terhadap persoalan perdamaian dan berjuang demi tegaknya perdamaian. Jangankan dengan mereka yang sudah ketahuan titik perbedaannya (baik perbedaan agama atau suku), dengan mereka yang belum dikenal pun umat Islam dianjurkan untuk senantiasa berdamai, sebagaimana tuntunan Hadis di atas.

Dalam konteks ini, ajaran perdamaian sebagaimana terkandung dalam ayat Al-Quran di atas, anjuran menyebarkan kata salam dan hakikat keumatan Islam sebagaimana ditanyakan oleh seorang sahabat dalam Hadis di atas mempunyai makna yang pararel. Makna ini sangat penting demi terciptanya keberislaman yang utama bagi seorang muslim.

Secara kebahasaan, kata as-silm dalam ayat di atas, kata salam, dan kata al-islam  berawal dari satu kata, yaitu sa-lima. Dalam kitab Lisanul ‘Arab disebutkan, kata ini bermakna as-salamu (perdamaian), as-salamatu (keselamatan) dan al-bara’ah (kebebasan), yakni tidak ada keterkaitan antara satu dengan yang lain, terutama dalam keburukan.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa hakikat Islam yang utama (meminjam istilah seorang sahabat dalam pertanyaan di atas) adalah Islam yang menyebarkan perdamaian, memberikan keselamatan dan kebebasan kepada diri sendiri dan orang lain (al-bara’ah) untuk melakukan apa yang dianggap sebagai kebaikan. Dan inilah bagian dari ajaran inti dalam Islam. Karena kata Al-Islam sendiri berasal dari “rumpun kata” yang sama, yakni kata sa-li-ma.

Jamaah Shalat Jumat yang dirahmati Allah Subhanahu Wata’ala

Sebagai penutup, perkenankanlah saya mengajak hadirin sekalian untuk kembali membacakan dan mengamalkan doa yang sangat dianjurkan dalam Islam, terutama di setiap selesai malakukan ibadah shalat. Yaitu doa yang berbunyi:

اَللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ وَإِلَيْكَ يَعُوْدُ السَّلاَمُ فَحَيِّنَا رَبَّنَا بِالسَّلاَمِ وَأَدْ خِلْنَ الْجَنَّةَ دَارَ السَّلاَمِ تَبَرَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَا لَيْتَ يَاذَالْجَلاَلِ وَالْأِ كْرَامِ

Wahai Tuhan, Engkau adalah perdamaian. Darimu perdamaian berasal dan kepada-Mu-lah perdamaian akan kembali. Maka, hidupkanlah kami dalam damai dan masukkanlah kami ke dalam surga-Mu yang tak lain adalah singgasana perdamaian, diberkati Engkau dan Maha Tinggi Engkau wahai Dzat yang Maha Agung dan Mulia.

Perdamaian adalah sifat Allah subhanahu wata’ala, yang harus mewarnai tindak-tunduk keseharian kita. Betapa indahnya hidup ini jika diisi dengan kehidupan yang damai, baik dalam lingkup keluarga, organisasi, bangsa, maupun lingkup global. Mari kita songsong hari esok dengan damai.

بارك اللّه لي ولكم في القرآن العظيم ونفعني وإيّاكم بما فيه من الآيات والذّكر الحكيم وتقبّل منّي ومنكم تلاوته إنّه هو السّميع العليم.

 

Redaksi Islam Ramah
Redaksi Islam Ramah
IslamRamah.co - Islam Ramah Bukan Islam Marah
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.