ISLAMRAMAH.CO – Barangsiapa menghendaki kebajikan dari Allah SWT, hendaknya dia memahami agama dengan baik (HR. Bukhari)
Saya menulis buku Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid ini bertujuan memaparkan hal-hal dalam hukum Islam yang disepakati dan diperdebatkan dengan berbagai argumennya, khususnya memberikan perhatian pada perbedaan sehingga seorang mujtahid dapat memotret hal-hal yang tidak disebutkan secara detail di dalam nash. Meskipun sebenarnya hal-hal dalam skala besar sudah disebutkan dalam nash.
Sebelumnya, saya ingin menyampaikan beberapa metode dalam pengambilan hukum, bentuk-bentuk hukum, dan beberapa sebab yang menyebabkan perbedaan dalam menentukan hukum Islam.
Secara singkat saya ingin menyampaikan, hukum Islam bersumber dari Nabi Muhammad SAW bisa melalui tiga bentuk: lafadz, perbuatan, dan pernyataan. Sedangkan hal-hal yang tidak dijelaskan oleh Allah SWT, maka mayoritas para ulama membuka pintu qiyas (analogis).
Mazhab Dzahiri berpandangan, bahwa qiyas adalah batil. Hal-hal yang tidak dijelaskan dalam nash, maka tidak ada hukum baginya. Di sini, akal dapat dijadikan sebagai instrumen untuk menentukan sebuah hukum. Realitas terus berubah, sedangkan teks, perbuatan, dan pernyataan Nabi bersifat terbatas. Maka tidak mungkin sesuatu yang tidak terbatas ditanggapi dengan hal-hal yang bersifat terbatas.
Sedangkan bentuk-bentuk lafadz yang dijadikan sumber hukum dari pendengaran terdapat empat bentuk. Ketiga bentuk dapat disepakati, sedangkan satu bentuk masih diperdebatkan. Pertama, lafadz yang bersifat umum yang harus diterima keumumannya. Kedua, lafadz khusus yang harus diterima kekhususannya. Ketiga, lafadz umum yang bermakna khusus. Keempat, lafadz khusus yang bermakna umum.
Di dalam membaca sebuah teks, kita harus memperhatikan, apakah sebuah lafadz mempuyai satu makna, dan karenanya kita wajib mengikuti dan mengamalkannya, atau lafadz tersebut mempunyai makna lebih dari satu.
Sedangkan dalam perbuatan Nabi menurut sebagian besar para ulama menjadi bagian dari metode penentuan hukum Islam. Tapi ada juga sebagian yang berpendapat tidak dapat dijadikan sebagai metode penentuan sebuah hukum. Para ulama berpandangan, jika perbuatan Nabi mempunyai penjelasan yang kokoh yang menentukan sebagai sebuah perintah yang wajib, maka hal tersebut menjadi wajib hukumnya. Tapi jika penjelasannya hanya sekadar mandub, maka hukumnya mandub. Jika penjelasannya masuk dalam katagori mubah, maka hukumnya mubah.
Adapun pernyataan Nabi dapat dijadikan dalil bagi kebolehan sebuah hukum. Sedangkan ijma’ harus mengacu kepada salah satu metode yang empat di atas. Ijma’ tidak bisa berdiri sendiri tanpa mengacu pada salah satu metode di atas, karena jika itu terjadi, maka hal tersebut dapat dikatakan sebagai bagian dari inovasi dari syariat setelah Nabi Muhammad SAW.
Di sini kita mengklasifikasikan bentuk-bentuk hukum Islam dalam 5 hal, yaitu wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah. Adapun sebab-sebab terjadinya perbedaan dalam penentuan hukum karena enam alasan: Pertama, dinamika lafadz dalam empat metode tadi. Kedua, lafadz yang mempunyai banyak dimensi. Ketiga, perbedaan i’rab. Keempat, dinamika lafadz di antara makna hakiki dan makna metafor. Kelima, lafadz yang bisa bersifat muthlaq atau bersifat muqayyad. Keenam, adanya kontradiksi dalam dua hal pada semua bentuk lafadz, begitu pula kontradiksi dalam perbuatan dan pernyataan.