Hakikat Ulama

KolomHakikat Ulama

Ulama mempunyai kedudukan yang sangat penting dan strategis dalam Islam. Dalam sejarahnya, ulama acapkali menjadi figur yang menentukan dalam pergumulan umat Islam di panggung sejarah, sosial, kultural, pendidikan, dan bahkan hubungan dengan masalah pemerintahan. Karena itu, ulama tidak dapat dipisahkan dari agama dan umat. Itulah sebabnya, pembentukan masyarakat muslim dan kelestariannya tidak dapat dipisahkan dari peran ulama. Sebaliknya, masyarakat muslim memiliki andil bagi terbentuknya ulama secara kesinambungan.

Secara bahasa, ulama adalah orang-orang yang mengetahui. Kata “ulama” adalah bentuk jamak (plural) dari kata “‘alim”. Adapun ‘alim sendiri adalah isim fa’il mubalaghah yang mempunyai makna: sangat mengetahui. Jadi secara sederhana ulama berarti orang yang memiliki ilmu yang mendalam. Tidak ada pembatasan ilmu spesifik dalam pengertian ini. Tetapi, seiring perkembangan dan terbentuknya ilmu-ilmu Islam khususnya syari’ah atau fikih, pengertian ulama menyempit menjadi orang yang memiliki pengetahuan dalam bidang fikih.

Bahkan dalam mutakhir ini, di sebagian kalangan masyarakat, makna kata ulama lebih sempit lagi menjadi penceramah, da’i virtual, khotib jum’at dan sejenisnya. Tentu saja beda antara ulama dan penceramah. Seorang yang menjadi penceramah, mubaligh, dan khatib tidak secara otomatis menjadi seorang ulama. Sebab, tidak sedikit penceramah yang hanya mampu menyihir pendengar dengan untaian kata dan membuat pendengar terdecak kagum. Padahal, pada saat bersamaan ia bukanlah seorang ulama. Karena keilmuan seseorang tidak identik dengan kemampuannya dalam berorasi atau kemahirannya dalam melibatkan perasaan pendengar.

Karakteristik seorang ulama memiliki intelektualitas yang mendalam dengan mengembangkan berbagai pemikiran sebagai rujukan umat. Biasanya, seorang ulama memiliki karya-karya monumental yang tetap dibaca dan dipelajari hingga generasi setelahnya meskipun ia telah wafat (meninggal). Karena itu, seorang ulama mendapatkan kedudukan sangat tinggi setelah para Nabi dan Rasul, sehingga mereka disebut sebagai pewaris Nabi. Sikap dan tindakannya mencerminkan kandungan ajaran Al-Quran sehingga tidak mungkin berujar kasar, melainkan bertatakrama lembut dengan hikmah dan kebijaksanaan.

Dalam sebuah hadis dijelaskan betapa tingginya kedudukan ulama; Innal ‘ulama aaratsah al-anbiya’ (sungguh ulama adalah pewaris para Nabi). Hadis Nabi tersebut adalah penguat atas pesan Allah yang terkandung di dalam Al-Quran: Kemudian Kami wariskan al-Quran kepada mereka yang Kami pilih dari hamba-hamba Kami (QS. 32: 35). Oleh karena itu, seorang ulama tidak hanya orang pilihan, melainkan juga jauh dari nafsu duniawi. Mereka dalam kesehariannya berdakwah dengan jalan damai dan santun, mengajar, dan menulis.

Baca Juga  Syeikh Nawawi al-Bantani: Imam Besar Ulama Haramain

Di Indonesia, ulama memiliki peran besar dalam mewujudkan harmonisasi umat beragama dan kontribusi keilmuan bagi masa depan Islam Indonesia. Islam masuk di Nusantara tak luput dari peranan ulama yang telah menyebarkan dakwah Islamnya kepada masyarakat. Para ulama menyebarkan Islam secara damai sehingga mudah diterima oleh berbagai lapisan masyarakat. Kearifan lokal yang tidak tertinggal tetap berjalan bersama dengan Islam, sehingga masyarakat yang beragam dapat menerima dengan baik.

Sebenarnya, ada banyak sekali ulama kelas dunia di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah Sayyid ‘Abd al-Rahman ‘Abd al-Shamad al-Falimbani (dari Palembang), Syaikh Mahfudz al-Termasi (dari Termas Jawa Timur), Syaikh Nawawi al-Bantani (dari Banten), Syaikh Isma’il al-Minangkabawi (dari Sumatera Barat), Syaikh Muhammad Yasin ibn Isa al-Fadani (dari Padang) sampai pada Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari (Pendiri NU) dan KH Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah).

Para ulama di atas hampir seluruhnya merupakan penulis-penulis yang produktif, dan dari tangan mereka muncul puluhan karya yang berjilid-jilid sampai risalah-risalah pendek. Karya-karya tersebut ditulis dalam Bahasa Arab, melayu, Jawa, atau bahasa lokal lainnya. Bahkan di antara karya-karya ulama Jawi tersebut diterbitkan dan dipelajari di beberapa Negara seperti Istanbul, Kairo, Beirut, Bombay, bahkan Singapura.

Di antara karya-karya itu antara lain Shirath al-Mustaqim (dalam bidang fikih ibadah) karya Nur al-Din al-Raniri, Terjuman al-Mustafid (dalam bidang Tafsir) dan Mir’at al-Thullab (bidang fiqih muamalah) karya ‘Abd al-Rauf as-Sinkili, Sabil al-Muhtadin (dalam bidang fkih) karya Muhamad Arsyad al-Banjari, Minhaj Zaqi al-Nazar (dalam bidang Hadis) karya Abdullah Mahfudz al-Termasi, dan Majmu’at al-Syar’iyah dalam bidang fikih dan bidang tafsir yang ditulis oleh Muhammad Shalih bin ‘Umar al-Sumarani (kiai Sholeh Darat semarang). Selain itu, masih banyak karya-karya ulama nusantara yang turut berkontribusi memperkenalkan khazanah keislaman dalam kancah global.

Itulah hakikat ulama. Sebuah nama yang bukan hanya sebatas istilah, gelar, label maupun status sosial, melainkan tanggung jawab mulia yang disebut langsung oleh Nabi bahkan juga disebutkan di dalam al-Quran bagi mereka yang takut kepada Allah SWT, luas dan dalam ilmunya, produktif karyanya, dan ramah moral akhlaknya.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.