Masjid Istiqlal Simbol Toleransi Beragama

KolomMasjid Istiqlal Simbol Toleransi Beragama

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Puan Maharani, berharap Masjid Istiqlal ramah terhadap segala pendatang, baik Muslim maupun Non-Muslim. Puan juga menginginkan Masjid Istiqlal bisa menjadi wajah bagi umat Non-Muslim mempelajari Islam Indonesia yang moderat dan cinta toleransi serta perdamaian. Hal itu ia sampaikan dalam acara Gerakan Nasional Mengisi Masjid dengan 1 Juta Sajadah di Jakarta yang dihelat pada Kamis (11/03/21).

Kiranya, pernyataan Puan Maharani tentang Masjid Istiqlal itu telah mengingatkan kita pada sosok pendiri bangsa, Bung Karno. Membincang Masjid Istiqlal, maka tidak akan bisa dipisahkan dari nama Presiden RI pertama tersebut. Pasalnya, pascakemerdekaan, Bung Karno menginginkan dibangunnya sebuah masjid megah menjadi kebanggaan umat Islam dan rakyat Indonesia yang sesuai karakter bangsa. Dibangunnya Masjid Istiqlal tersebut juga sebagai ungkapan rasa syukur atas rahmat Allah SWT, sehingga bangsa Indonesia mendapatkan kemerdekaan, sebagaimana namanya “Istiqlal” yang berarti “Kemerdekaan.”

Pesan toleransi yang disampaikan oleh Puan Maharani lagi-lagi juga membuka memori-memori kita akan ide dan gagasan Bung Karno tentang pentingnya membumikan toleransi beragama dalam kehidupan sehari-hari. Bung Karno adalah salah satu tokoh bangsa yang tak pernah henti mengobarkan spirit persaudaraan, keberagaman, persatuan dan toleransi beragama. Melalui pembangunan Masjid Istiqlal tersebut, Bung Karno mengharapkan agar Masjid Istiqlal menjadi terobosan besar toleransi sekaligus menjadi simbol toleransi beragama di Tanah Air. Setidaknya, ada tiga alasan kenapa Masjid Istiqlal layak disebut sebagai simbol toleransi beragama.

Pertama, Masjid Istiqlal diarsiteki oleh seorang Non-Muslim. Sigit Aris Prasetyo dalam Bung Karno dan Revolusi Mental, menyatakan dalam membangun Masjid Istiqlal, Bung Karno memilih seorang arsitek Non-Muslim untuk merancangnya. Ia adalah Frederick Silaban, seorang beragama Kristen yang berasal dari Sumatera Utara. Ia ditetapkan sebagai arsitek utama Masjid Istiqlal setelah memenangi sayembara gambar desain masjid tersebut (Eddi Elison, 2019).

Saya pikir, penetapan Frederick Silaban sebagai arsitek utama itu menitipkan pesan yang kuat dari Bung Karno untuk saling menghargai, menghormati, dan bertoleransi antarumat beragama. Kendati F. Silaban seorang Non-Muslim, nyatanya ia tetap dipercaya oleh Bung Karno menjadi arsitek masjid yang menjadi tempat ibadah bagi umat Muslim. Itu artinya, meskipun kita berbeda agama, kita harus saling bertoleransi agar tetap bisa saling berkolaborasi dan bersinergi untuk membangun kemajuan bangsa dan negara.

Kedua, Masjid Istiqlal dibangun berdampingan dengan Gereja Katedral. Dalam sejarahnya, pembangunan Masjid Istiqlal ini menimbulkan perdebatan sengit antara Bung Karno dan Bung Hatta. Eko Sulistyo dalam Konservatisme Politik Anti Jokowi (2019) menjelaskan bahwa Bung Karno menginginkan Masjid Istiqlal dibangun berdampingan dengan Gereja Katedral, yaitu di Taman Wilhelmina—nama Ratu Belanda, yang mana terdapat bangunan Benteng Prince Frederik yang tak terurus. Lokasinya di sekitar Lapangan Banteng, yang tidak jauh dari Istana Merdeka. Letak itu tentu saja sesuai dengan konsep tata kota pada masa kerajaan Islam, khususnya di Jawa, yang mana pusat kekuasaan politik dan agama saling berdekatan.

Baca Juga  Benih-benih Radikalisme di Media Sosial

Sementara Wakil Presiden RI saat itu, Bung Hatta, mengusulkan agar Masjid Istiqlal dibangun di sekitar Jalan MH. Thamrin. Sebagai seorang ekonom, Bung Hatta lebih menekankan prinsip efiensi dan kepraktisan. Pasalnya, daerah situ lebih dekat dengan lingkungan masyarakat Muslim dan areanya masih berupa lapangan kosong. Namun, pada akhirnya usulan Bung Karno yang dipilih sebagai lokasi dibangunnya Masjid Istiqlal.

Dipilihnya taman Wilhelmina yang bersebelahan dengan Gereja Katedral tersebut menyiratkan pesan penting akan spirit toleransi, persaudaraan, keragaman, dan persatuan antarumat beragama yang menjadi jiwa bangsa Indonesia itu sendiri. Meski biaya yang dikeluarkan sangat mahal, tetapi bagi Bung Karno harga tersebut tidak sebanding dengan luhurnya spirit toleransi yang akan terus ‘disampaikan’ Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral yang saling berdampingan itu. Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral adalah simbol toleransi beragama yang akan terus abadi.

Ketiga, dibangunnya terowongan penghubung antara Masjid Istiqlal dan Masjid Katedral. Sebagaimana diketahui, setelah 42 tahun dibangunnya Masjid Istiqlal, pada era Presiden Jokowi baru direnovasi kembali. Berbarengan dengan renovasi tersebut, dibangunlah terowongan silaturahmi yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral.

Dengan dibangunnya terowongan tersebut, maka kian menegaskan spirit toleransi beragama yang pernah digagas Bung Karno. Presiden Jokowi pun dalam sambutannya berharap Masjid Istiqlal menjadi contoh masjid-masjid di negara lain dalam mengembangkan syiar Islam yang menyejukkan, yang membangun toleransi, dan membangun perdamaian.

Maka dari itu, sudah semestinya kita memahami sejarah panjang Masjid Istiqlal tersebut. Masjid Istiqlal bukanlah sekadar bangunan megah dan mewah, bahkan yang terbesar di Asia Tenggara. Namun, lebih dari itu, Masjid Istiqlal merupakan sebuah monumen agung yang menitipkan pesan toleransi beragama yang penting untuk kita ambil sebagai pelajaran, seperti halnya Masjid Nabawi di Madinah yang menjadi simbol persatuan dan toleransi umat pada masa Nabi Muhammad SAW.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.