Potret Wahabisme di China

Dunia IslamPotret Wahabisme di China

Sekitar medio abad ke-18, muncul gerakan pemurnian Islam di Arab Saudi. Harakah yang dimotori Muhammad ibn Abdul Wahhab (1703-1792) ini pun mulai tersebar di China pada penghujung abad ke-19 melalui seorang ulama keturunan Mongol bernama Ma Wanfu. Negeri Tiongkok yang mayoritas Muslimnya bermazhab Hanafi, kedatangan ‘tamu’ yang membawa misi purifikasi, dimana Wahabi menginginkan kembalinya umat Islam pada ajaran yang diklaim murni. Dengan slogan utamanya, kembali pada al-Quran dan sunnah.

Islam sendiri telah ada sejak era Dinasti Tang (618-907). Sedangkan Ma Wanfu adalah pelopor dari kehadiran Wahabi di China pada masa Dinasti Qing. Ia datang dari keluarga yang relatif agamis. Ayahnya yang bernama Dawud dan kakeknya, Yibulaximai (Ibrahim) merupakan ustaz (ahong) sekaligus pengikut salah satu cabang tarekat Naqsyabandiyah Khufiyya bernama Beizhuang.

Dengan latar belakang demikian, tak pelak sejak kecil Ma Wanfu sudah dibiasakan oleh keluarganya mengaji di masjid yang lekat dengan tradisi tarekat Beizhuang. Ia dikenal cerdas, hingga pada usia 22 tahun sudah dipercaya gurunya untuk menjadi ustaz. Dari aktivitas tablignya ke berbagai tempat, ia mendapat pemasukan yang kemudian digunakannya untuk berhaji pada tahun 1888.

Sebagaimana tokoh kunci lahirnya kaum Padri (Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang) yang terilhami Wahabisme saat ketiganya menunaikan ibadah haji pada 1803, Ma Wanfu juga terinspirasi Wahabisme ketika berhaji di Tanah Haram. Setelah itu ia menetap selama empat tahun untuk mengenyam pendidikan di Saudi, membuat pengetahuannya tentang Wahabisme pun kian mendalam.

Merasa praktik keagamaan yang selama ini berjalan di China telah melenceng karena banyak mengalami “Chinaisasi”, ia memutuskan pulang untuk menyebarkan pemahaman yang diimpornya dari Arab Saudi itu. Setiba di Guoyuan, Ma Wanfu keras mengatakan bahwa tarekat, sufi, juga sekte lama Gedimu (Qadim) tidak sesuai dengan ajaran Islam. Para mursyid tarekat Beizhuang pun tak lepas dari tuduhan bahwa mereka telah menyeret jemaahnya pada jalan sesat. Seturut dengan itu, ia menyatakan keluar dari keanggotaan tarekat tersebut.

Demi diaspora Wahabisme yang lebih luas, sembilan ahong dari tarekat Bezhuang dan sekte Gedimu dibujuk oleh Ma Wanfu untuk mengkaji kitab-kitab Wahabisme yang ia bawa dari Saudi. Karena terpikat dengan isi kitab-kitab tersebut, mereka kemudian merangkum sejumlah poin ajaran Wahabi yang kemudian dikenal dengan “Sepuluh Doktrin Guoyuan”.

Tidak berbeda jauh dengan yang kerap kita dengar di Tanah Air, kelompok Wahabi banyak melarang praktik-praktik keagamaan yang bersinggungan dengan unsur budaya. Di antara hal yang dilarang adalah ziarah ke makam para wali, merayakan maulid Nabi, serta gelaran selamatan untuk memintakan ampunan bagi orang meninggal.

Di awal masa penyebaran doktrinnya, kelompok yang kemudian disebut dengan nama Yihewani (Ikhwan) ini mendapat banyak kecaman dari dua aliran keagamaan (tarekat dan sekte Gedimu) yang sudah lebih dahulu menetap di Guoyuan. Yihewani pun sulit diterima secara luas oleh masyarakat Muslim di sana.

Syahdan, terjadinya pemberontakan Dungan pada 1895 yang dikobarkan oleh jemaah tarekat Huasi terhadap Dinasti Qing menjadi momentum berpengaruh terhadap persebaran Wahabisme. Ma Wanfu yang telah menentang tarekat, uniknya berjanji pada Ma Dahan yang seorang penganut tarekat Huasi untuk bekerja sama dalam pemberontakan tersebut. Namun, Ma Wanfu berkhianat dan berbalik bersekongkol dengan Ma Anliang dari kubu Dinasti Qing.

Baca Juga  Fenomena Dokter Faheem Younus

Laku khianat Ma Wanfu tadi memaksanya melarikan diri dan berdakwah secara diam-diam karena khawatir terhadap pengikut Ma Dahan yang mengetahui kecurangannya. Ia baru berdakwah secara terbuka di Hezhou setelah Ma Anliang melakukan lobi-lobi dengan penguasa setempat. Pdari situ pengikut Yihewani pun semakin banyak. Tersebar di Bafang, Dongchuan, dan daerah-daerah lain.

Ma Wanfu kembali berulah dengan menyeru pengikutnya untuk merobohkan makam wali, menumbangkan tarekat, serta pada sekitar tahun 1908 ia menyatakan ingin menyatukan sekte-sekte Islam dalam satu wadah Yihewani. Para elite tarekat yang tersinggung dengan pernyataan Ma Wanfu langsung melaporkan kasus keterlibatannya dalam pemberontakan Dungan kepada Gubernur Jenderal Gansu agar dihukum.

Tidak hanya sekali Ma Wanfu dilaporkan pada pemerintah. Pada 1915 ia juga dilaporkan kepada gubernur Xinjiang, Yang Zengxin, karena selama ini terlibat dalam konflik antarsekte yang membuat suasana masyarakat Muslim selalu panas. Namun demikian, Ma Wanfu berhasil bebas dari hukuman kedua gubernur tadi. Adalah Ma Anliang yang selalu menyusun strategi untuk meloloskan Ma Wanfu dari ancaman hukum yang melilitnya. Ma Anliang bahkan tercatat membunuh delapan ahong pelapor Ma Wanfu kepada Gubernur Gansu.

Lolosnya Ma Wanfu dari ancaman hukuman gubernur Yang Zengxin tak lepas dari peran Ma Qi dan Ma Lin, dua petinggi militer bersaudara yang merupakan sahabat dari Ma Anliang. Karena ada motif untuk memanfaatkan Yihewani sebagai alat kontrol beragam tarekat yang ada di sana, dua tokoh militer tadi pun memfasilitasi dakwah Ma Wanfu. Ia ditempatkan di Masjid Besar Dongguan yang selanjutnya menjadi basis pengajaran doktrin Yihewani dan markas untuk mengader para ahong Yihewani guna dikirim berdakwah di berbagai wilayah.

Di samping pendekatan persuasif, cara represif juga dipakai dalam penyebaran Yihewani. Seperti halnya yang dilakukan ahong Yihewani yang merupakan utusan Ma Wanfu di Masjid Jiezigong. Jemaah masjid yang umumnya adalah pengikut sekte Gedimu, dipaksa untuk tunduk mengamini ajaran Yihewani. Konflik berdarah pun tak terhindarkan. Banyak korban luka dan meninggal dalam ketegangan yang terjadi selama tiga bulan itu.

Sejak kemunculannya, Wahabisme sudah lekat dengan tradisi kekerasan untuk memaksakan doktrinnya. Ajaran-ajaran Muhammad ibn Abdul Wahab utamanya berkisar pada ajaran tauhid (versi Wahhabisme) yang kemudian memengaruhi segi pemikiran lain. Bahkan, John L Esposito sampai menyatakan bahwa Muhammad ibn Abdul Wahab memandang tauhid sebagai agama itu sendiri.

Dengan semangat purifikasinya, Wahabisme ingin membebaskan Islam dari kerusakan yang diyakini telah menjangkiti Islam, seperti halnya tasawuf, rasionalisme, tawasul, dan sejenisnya. Praktik-praktik keagamaan yang merupakan hasil dialog dengan budaya, seperti maulidan, selamatan, tahlilan pun masuk dalam daftar hitam Wahabi. Wahabisme telah berkontribusi mencitrakan Islam menjadi agama yang keras, kaku, dan anti pada yang liyan.  

Dari lanskap kisah Ma Wanfu serta proses pengedaran doktrin Wahabinya, terlihat kesamaan pola terkait bagaimana Wahabisme mengalami titik balik persebaran, antara di Arab Saudi dan China. Di mana Wahabisme sama-sama dapat berkembang pesat ketika berkomplot dengan penguasa. Jika di Tanah Haram disokong oleh Ibnu Saud, maka Wahabisme di China di-back up oleh Ma Anliang. Dan kedua aliansi ini sama-sama tak segan memakai kekerasan untuk mencapai ambisinya. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.