Ramadhan, Antara Ibadah dan Muamalah

KolomRamadhan, Antara Ibadah dan Muamalah

Puasa di bulan suci Ramadhan merupakan bagian dari ibadah mahdhah yang bersifat ritual. Seperti halnya shalat, puasa, haji, tadarus al-Quran, dan ibadah lainnya. Ada juga ibadah yang bersifat sosial atau para ulama menyebutnya muamalah. Muamalah adalah menjalin hubungan dan menjalankan tugas dalam masyarakat dalam rangka mencari ridha Allah. Muamalah dengan karakter sosialnya, dinilai memiliki kedudukan yang lebih penting ketimbang ibadah ritual yang bersifat pribadi.

Namun, sangat disayangkan sekali, sebagian tokoh agama kita lebih menekankan ibadah ritual. Sebuah kegiatan formalistik, tanpa merenungkan makna, pelajaran, dan filosofi yang terkandung dalam ritual ibadah tersebut agar dapat mengembangkan sisi muamalah yang lebih luas. Justru malah sibuk memperdebatkan ritual ibadah seperti apa; haram-halalnya, bidah atau tidaknya, dan seterusnya.

Dalam hal ini banyak yang menunjukkan bahwa ritual ibadah puasa, dijalankan karena faktor lain yang justru bertentangan dengan nilai-nilai yang ada di bulan suci Ramadhan. Akibatnya, ibadah puasa dengan menahan rasa lapar dan dahaga menjadi sia-sia karena suatu hal yang secara tidak sadar sudah melakukan hal-hal di luar kendali. Misalnya, sweeping rumah-rumah makan yang buka di siang hari dengan bertindak sewenang-wenang.

Ibadah puasa merupakan ujian agar kita menahan diri dari sesuatu hal yang membatalkan—makan, minum, berhubungan badan, dan sebagainya—yang jika kita tidak bisa mengendalikan hawa nafsu amarah dan anarkistis, berarti puasa kita telah batal. Mereka mengatasnamakan penegakkan amar ma’ruf nahi mungkar dan demi kondusifitas bulan suci Ramadhan, akan tetapi kerap melakukan tindakan dengan cara kekerasan adalah sebuah paradoks ibadah puasa di bulan Ramadhan; bulan penuh rahmat dan berkah; mereka justru mengoyak bulan suci yang dirindukan.

Padahal Nabi Muhammad SAW melakukan amar ma’ruf nahi mungkar dengan cara-cara yang ma’ruf (baik). Apalagi dakwah—yang berarti mengajak—kita ke jalan yang lurus dan benar, sudah bergeser maknanya menjadi menyuruh atau bersifat perintah (amar). Dakwah dalam arti mengajak tentu harus menggunakan cara-cara elegan dan baik-baik, tidak seradak-seruduk. Layaknya mengajak sekaligus membujuk seorang wanita agar mau kita ajak traktir makan bakso.

Esensi dan intisari yang terkandung pada bulan Ramadhan adalah nilai-nilai kasih sayang pada sesama, mengingat satu sama lain sama-sama menahan lapar, dahaga, dan keinginan-keinginan yang tak bisa dipenuhi. Senasib dan sepenanggungan. Kita dibatasi oleh rambu-rambu waktu dari terbit matahari hingga terbenamnya matahari. Kita pun dibatasi norma-norma sosial, tidak boleh melakukan kekerasan atas nama apapun dan kepada siapapun.

Baca Juga  Grand Syaikh al-Azhar Mesir: Negara Adidaya Harus Bantu Vaksinasi Negara Tak Berdaya

Puasa Ramadhan kita masih hanya sebatas ritual, belum sampai pada muamalah. Shalat, puasa, dan ibadah lain di bulan suci ini menjadi tidak berarti karena si pelaku telah merusak norma masyarakat, merusak hubungan baik. Jelas bahwa ibadah ritual tidak akan diterima oleh Allah bila melanggar norma-norma muamalah. Justru kita ditekankan untuk senantiasa berempati. Di sisi lain, norma yang terbangun di Indonesia adalah orang yang tidak berpuasa, senantiasa menghormati orang yang berpuasa dengan tidak menunjukkan aktivitas makan atau minum di hadapan orang yang sedang berpuasa.

Selanjutnya adalah ibadah muamalah yang mengandung segi kemasyarakatan—muamalah—lebih besar daripada ibadah yang bersifat perseorangan. Karena itu, shalat jamaah lebih tinggi nilainya daripada shalat munfarid (sendirian) dua puluh derajat (KH. Jalaluddin Rakhmat, 1993: 50). Tentu saja ibadah ritual yang bersifat pribadi, harus berefek pada kehidupan sosial bermasyarakat.

Muamalah juga menutupi ketidaksempurnaan ibadah ritual, atau karena melanggar aturan dan pantangan tertentu. Maka wajib membayar kifarat atau tebusan yang berkaitan dengan muamalah. Puasa misalnya, orang sakit tidak sanggup melaksanakan puasa, selain harus mengganti puasanya juga diwajibkan membayar fidyah yang dibayarkan dengan memberi sebagian harta kepada orang-orang miskin, sesuai dengan ketentuan dan berapa lama puasa itu ditinggalkan.

Saya sekadar mengingatkan bahwa risalah Nabi Muhammad SAW. tidak hanya mengajarkan ritual shalat jumpalitan ruku sujud, puasa menahan rasa lapar dan dahaga, atau tadarus al-Quran bolak-balik. Nabi Muhammad SAW. mengajarkan sunnah-sunnahnya melalui penjelasan komprehensif hadits itu tentang halal-haramnya sesuatu, mengajak pada kebaikan dan menjauhi kemungkaran, menyetarakan seluruh umat manusia sekaligus membebaskan manusia dari belenggu yang memasungnya.

Saya tidak mengatakan ibadah mahdhah tidak penting dan tidak pula menganggap enteng ibadah shalat, puasa, zakat, haji dan ibadah yang bersifat ritual lainnya. Yang ingin saya tegaskan di sini adalah kita harus bisa menempatkan posisi yang tepat sebuah ritual ibadah dalam Islam. Kadang-kadang ritual yang dilakukan dengan serius dan khusyuk, akan tetapi transformasi dari ritual peribadatan ke sosial justru berbanding terbalik. Ketidakseimbangan inilah yang saya kira perlu introspeksi diri.

Jangan hanya karena di bulan Ramadhan ini kita telah banyak melakukan ibadah ritual, lantas setelah Ramadhan berakhir, kita kembali tidak konsisten dengan ibadah mahdhah. Boro-boro sampai pada masalah muamalah yang lebih luas itu. []

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.