Puasa, Saleh Ritual dan Saleh Sosial

KolomPuasa, Saleh Ritual dan Saleh Sosial

Sesungguhnya setiap amaliah ibadah yang kita kerjakan mengandung nilai, makna, dan hikmah yang mungkin banyak tidak disadari oleh kaum Muslim sendiri. Ibadah puasa, setidaknya terdapat tiga kandungan nilai, makna, dan hikmah, yakni aspek kesehatan jasmani, kesehatan rohani, dan sosial kehidupan. Aspek kesehatan jasmani saya kira sudah jelas secara medis bahwa dengan mengurangi kinerja pencernaan organ, manfaat bagi kesehatan sangat baik ketika seseorang berpuasa.

Aspek rohani melalui ritual yang transenden terhadap sosial kemasyarakatan yang saya kira perlu dibangkitkan kembali. Membangun kesadaran semua bahwa kita tengah dihadapkan pada kondisi rasa empati yang memudar, hilangnya kepedulian terhadap sesama, ketegangan akibat politik, kekerasan terhadap orang lain, dan kian merenggangnya persaudaraan.

Pada saat yang sama, kita sibuk memotivasi diri sendiri dan orang lain agar senantiasa bertakwa. Ketaatan kepada Allah SWT. hanya sebatas ajaran ritualistik. Dengan memenuhi ibadah shalat lima waktu misalnya, seolah-olah kita telah takwa dan taat menjalankan perintah-Nya yang paling mendasar. Akan tetapi, sebagian dari kita kurang begitu mengerti tentang kekuatan luar biasa yang terkandung dalam shalat.

Kita seringkali luput setelah menjalankan shalat. Shalat memang menghindari seseorang dari perbuatan keji dan mungkar. Alih-alih menghancurkan keji dan kemungkaran, shalat justru digunakan sebagai “bersih-bersih” dari perbuatan keji dan mungkar yang baru saja dilakukan sebelum shalat.

Demikian halnya dengan ibadah puasa. Dalam buku Melihat Diri Sendiri: Refleksi dan Inspirasi (2019), Kiai Mustofa Bisri atau lebih dikenal Gus Mus, memunculkan pertanyaan kepada diri sendiri yang saya kira patut menjadi renungan kita bersama: apakah kita berpuasa sekadar menaati kewajiban, mengharap pahala yang kata mubaligh dan para kiai tak terkira besarnya itu, karena kepentingan-kepentingan kita sendiri yang lain, misalnya agar sembuh dari penyakit dan sebagainya, ataukah karena merasa perlu untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan kita?

Semarak bulan Ramadhan setiap tahunnya selalu menarik dan ramai. Masjid dan mushala penuh jamaah shalat tarawih pada malam hari, dan juga tadarus al-Quran yang menggema—baik dibaca oleh jamaah, maupun murottal dalam bentuk MP3—pada speaker-speaker masjid dan mushala. Semua stasiun televisi berlomba-lomba menyemarakkan sisi religius, mulai dari segmen sinetron, iklan-iklan yang bernuansa islami, dan infotainment yang menyiarkan banyak artis memaknai bulan Ramadhandan apa saja aktivitasnya sehari-hari pada bulan Ramadhan.

Pada waktu itu juga, tayangan agak terbuka agak sedikit dikurangi. Namun, ketika bulan Ramadhan itu sudah lewat, keramaian, semarak, dan keriuhan “religius” itu hilang seolah tak berbekas dan kembali ke era “jahiliyah”. Kita seolah-olah meninggalkan kesan bahwa kita hanya diwajibkan menjadi religi saat bulan Ramadhan suci saja.

Dengan berpuasa menahan lapar dan dahaga yang kurang lebih selama dua belas jam, dari pagi fajar hingga tenggelam matahari, kita merasa sudah paling saleh sejagat raya. Sementara pada saat yang sama, mengumbar pandangan mata, telinga kita masih mendengarkan hal-hal buruk, mulut yang masih ngegosip, menggunjing, dan hati kita dipenuhi iri, dengki, rasa benci, hasad, dan hal-hal buruk lainnya.

Baca Juga  Ramadhan Mengajarkan Peduli Terhadap Sesama

Padahal menurut para ulama, definisi puasa adalah menahan lapar dan dahaga dari segala hal yang membatalkannya. Pandangan mata yang sembarangan, menguping hal-hal buruk, mulutnya terus berbohong dan menjelek-jelekkan orang lain, dan hati terus memendam rasa dendam dan menyimpan niatan buruk. Semua itu adalah hal-hal yang membatalkan puasa.

Allah mewajibkan seluruh umat Islam untuk berpuasa. Evaluasi atau muhasabah sekaligus turut merasakan apa yang diderita oleh kaum fakir dan miskin. Mereka untuk sarapan pagi mungkin ada, tapi kemudian malamnya nanti, belum tentu ada. Karena itu, ritual puasa tidak sekadar menahan hawa nafsu makan dan minum, melainkan makna yang terkandung bahwa Muslim harus peduli terhadap kaum dhu’afa. Tidak hanya saat momentum bulan puasa berlangsung, akan tetapi seterusnya sepanjang bulan, sepanjang tahun, dan sepanjang hidup sampai akhir hayat.

Kita menahan lapar dan dahaga saat siang hari, sementara mereka siang dan malam. Kita puasa selama satu bulan, sementara mereka menahan lapar sepanjang tahun. Kita diajarkan berpuasa tidak hanya sebatas ritual, akan tetapi juga kepedulian sosial. Puasa tidak hanya ritual, tetapi juga wahana untuk mengasah kepekaan sosial.

Inilah saat terbaik bagi kita semua untuk mempertajam naluri dan empati kita terhadap sesama, untuk belajar memahami dan peduli terhadap yang berbeda (A. Helmy Faisal Zaini, 2018: 167). Bukan berarti kita harus melaksanakan sahur on the road atau buka puasa keliling, yang lebih mereka butuhkan adalah hal yang bermanfaat dalam bentuk pemberdayaan, bukan hiburan sesaat yang sifatnya sementara dan temporal. Karena setelah itu, mereka juga kembali lapar.

Puasa juga mengajari kita untuk mengendalikan diri sendiri, hawa nafsu dalam diri. Menjaga lisan, pandangan mata, telinga, mulut, dan seluruh anggota badan tidak hanya pada bulan puasa, melainkan seterusnya, hingga akhir hayat. Tidak ada yang tahu apakah kita berpuasa sungguh-sungguh atau tidak, hanya kita dan Allah sajalah yang mengerti. Maka kita sedang belajar untuk jujur yang bahkan kepada diri sendiri dan Tuhan.

Puasa juga mengajarkan kita bahwa kita perlu hidup sederhana. Makan hanya dua kali; sahur dan berbuka. Dengan makan hanya dua kali, maka pola hidup hemat menjadi landasan agar tidak berlebih-lebihan. Kita juga diajarkan disiplin dan tepat waktu; imsak sebagai tanda awal sebelum masuk waktu puasa agar kita senantiasa hati-hati. Menyegerakan berbuka atau takjil mengajari kita agar selalu menyegerakan pemenuhan hak setelah menjalani tugas berat puasa, dan setelah hak telah terpenuhi, maka dituntut untuk menjalankan kewajiban lain seperti shalat, tadarus, dan seterusnya.

Ternyata memang banyak kandungan dan nilai di balik pada setiap ajaran dalam Islam yang pesan sosialnya begitu kuat. Demikian juga ibadah puasa yang mengajarkan setiap Muslim tidak hanya taat dan saleh secara ritual, tetapi juga saleh secara sosial. Ketaatan ritual harus melahirkan kesalehan sosial. []

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.