Jalan Menuju Tuhan ala Jalaluddin Rumi

KhazanahJalan Menuju Tuhan ala Jalaluddin Rumi

Siapa yang tak kenal dengan Jalaluddin Rumi? Seorang penyair agung dan sufi terbesar dari Persia. Syair-syairnya sebagai jalan untuk mengungkapkan penghambaan diri, demi menghibur dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Cara Rumi untuk mencapai ekstase, biasanya ia akan bersenandung bersama syair-syair indah dan melakukan tarian beriring musik zikir. Sebab jalan itu yang membuatnya tenggelam dan menjadi khusuk bersiap diri menuju Tuhan.

Perlu diketahui, perjalanan Rumi menjadi seorang penyair dan sufi tidak terjadi secara tiba-tiba. Ada beberapa hal dasar yang membuatnya demikian. Dalam zamannya, Rumi lahir ketika dunia Islam tengah mengalami perseteruan dan peperangan dengan pihak lain secara global dalam kancah politik. Peristiwa terjadi akibat kepentingan yang memperebutkan kekuasaan, memperluas wilayah jajahan atas apa yang dicapai oleh umat Islam. Itulah awal terjadi gelombang besar yang menghantam dinding kokoh peradaban Islam.

Kehadiran tentara Mongol di bawah pimpinan Jenghis Khan (1206 M) dan tentara Salib tentara Tuhan, penguasa keji dan beringas itu berhasrat untuk menghabisi umat Muslim. Selanjutnya kekejamannya berikutnya ialah mengubur peradaban Islam dengan membakar seluruh perpustakaan dan pusat pendidikan.

Umat Muslim dibuat lunglai, tetapi harus bertahan. Cara apalagi yang bisa diharapkan, kalau bukan bersandar pada Allah SWT. Manakala keadaan mencekam, umat Muslim saat itu hanya menginginkan Tuhan yang dekat, bersahabat dan bisa bercengkrama. Bukan sebaliknya yang menjauh dan memaki Tuhan yang harus bertanggung jawab atas kebiadaban tentara Mongol. Sikap ini memang tepat, akhirnya hikmah dibalik cobaan telah terbit. para sejarawan menyebutnya peristiwa naas itu telah menyemai ‘lautan yang berairkan tinta’.

Meski keadaan masih buruk, paling tidak umat Muslim menemukan cara untuk menenangkan batinnya. Berbahagia, siap menghadap Tuhan, mencoba melihat dunia dengan lebih jernih pada sudut pandang positif yang memberi kekuatan. Cahaya Ilahi menerpa umat Muslim. Pelbagai aliran dan tarekat terbentuk, seperti bunga-bunga yang tumbuh dan bermekaran di musim semi, masing-masing memiliki pengaplikasian yang khas.

Jalaluddin Rumi merupakan salah tokoh besar yang lahir dalam kegentingan. Menurut Prof. Hamka, nama lengkap Rumi adalah Jalaluddin Muhammad bin Muhammad bin Husain al-Khattibi al-Bakri. Ia lahir di Balkh (kini Afghanistan) pada tahun 604 H/1207 M. Rumi adalah sebutan yang dinisbatkan dari wilayah Rum (Roma), kota yang sebagian besar hidupnya di Konya, Rum (Roma) dahulu Turki.

Maulana Jalaludin Rumi merupakan sang maestro yang masyhur. Dunia Barat dan Timur mengenalnya sebagai sosok yang estetis dan khas. Daya kekuatan fundamentalnya adalah mahabbah (cinta), sebuah cara untuk menghambakan diri pada Tuhan. Cinta itu kemudian ia tuangkan dalam representasi syair-syair dan tariannya. Karya-karya Rumi tak pernah tenggelam oleh arus perubahan zaman. Faktanya, hingga kini masih diminati banyak kalangan, baik pelajar, sastrawan, agamawan dan akademisi, dibuat terpikat karena maknanya yang sangat dalam.

Baca Juga  Hijaukan Hati, Hijaukan Bumi

Bagi Jalaluddin Rumi, cinta adalah sumber obat dan kekuatan menggapai tujuan yang ideal. Adapun tujuan yang dimaksud Rumi adalah Tuhan, sang kekasih abadi. Lalu Rumi bersenandung: Engkau adalah Zat yang kusembah, baik ada di Ka’bah maupun di Gereja. Engkau adalah tujuanku dari atas atau dari bawah. (Islam Madzhab Cinta: 2015, h. 337)

Dalam syair itu Rumi ingin mengatakan, bahwa cinta akan senantiasa mengantarkan manusia pada sang kekasih. Kemana pun manusia berada, hendaknya tujuan hidupnya patut untuk Tuhan semata. Karena itu wajar bila pada karya-karya Rumi, kita akan mudah menemukan ajaran-ajaran cinta.

Jika ingin memahami pemikiran-pemikiran Rumi, maka seseorang harus merenungi dan rela menjadi karam oleh kedalaman cinta. Sebagaimana ia mengejewantahkan di setiap syair dan tarian zikir ciptaannya. Akibat berkecamuknya situasi yang menimpa Rumi, melatarbelakangi segala keindahan dan kekhasan dirinya sebagai seorang penyair dan sufi.

Menurut Karen Amstrong dalam bukunya, Islam: A Short History (2002), mencantumkan insiden Mongol tersebut menyemai tingkat tertinggi manusia untuk menyelam pada jiwa keruhanian yang lebih dalam. Menyikapi segala bencana dengan perspektif positif. Peristiwa kelam ini nyatanya dapat melahirkan tokoh sufi dan Rumi salah satu tokoh terbesarnya. Perilaku keji tentara Mongol, mengunggulkan Rumi pada nilai-nilai mahabbah. Ia menyakini Allah, seperti yang dikatakan dalam al-Quran, Allah mencintai mereka, dan mereka pun mencintainya (QS. Al-Maidah: 54).

Rumi menyakini seseorang yang memiliki cinta tak akan mungkin melakukan penistaan dan tindakan porak-poranda. Cinta yang murni adalah tertuju pada Tuhan. Sebab Tuhan selalu menyertai yang dicintai dan mencintainya. Jadi mestinya membawa kedamaian dan kebahagiaan.

Cara umat Muslim merespons bencana memilukan itu dengan semaraknya sufistik yang terjadi di masa Rumi. Sufistik inilah yang dianggap solusi, alternatif untuk menyikapi problem yang berupa peperangan, demi Tuhan dan agama. Sebuah pergulatan sosial yang membutuhkan sikap arif dan bijaksana pada masa itu.

Demikian jalan menuju Tuhan yang ditempuh Rumi, tidak jauh berbeda dengan zamannya. Yakni melalui tarekat Maulawiyah, yang sebelumnya sudah didirikan oleh Ayahnya, Baha’ al-Din Walad. Namun pertemuannya dengan Syams al-Din Tabriz seorang guru sufi misterius adalah puncak Rumi sebagai penyair yang mistik.

Mengingat kisah dan mempelajari kaya-karya Rumi, barang tentu membangkitkan umat Muslim pada suatu titik terendah sekali pun. Niscaya bila ia senantiasa menjadikan Allah sebagai tujuan hidupnya.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.