Waspadai Kiamat-Kiamat Kecil Pemerintahan

KolomWaspadai Kiamat-Kiamat Kecil Pemerintahan

Dalam literatur agama Islam, “kiamat besar” merujuk secara spesifik pada kejadian hancurnya alam semesta beserta isinya. Sementara itu, term “kiamat kecil” memungkinkan untuk diartikan secara lebih variatif dan luas menyangkut kekacauan dalam lanskap berkehidupan. Pemerintahan negeri ini kiranya adalah salah satu koordinat letupan-letupan kerusakan yang merepresentasikan kiamat kecil tersebut.

Kerusakan itu tercermin lewat aneka kebijakan maupun tingkah laku elite serta pejabat publik yang lancung. KKN yang marak, ruang hidup warga yang terus dirampas, isu pertambangan, banyak calon kepala daerah yang tak kompeten, kasus jet pribadi, kebocoran data berulang, RUU kilat, pembajakan hukum, pajak meroket, hingga pejabat KPK yang melempem bahkan malah terjerat korupsi.

Ada pola khas yang menjadikan satu isu dengan yang lainnya saling berkait kelindan menghasilkan suatu kekacauan yang fenomenologis serta domino. Begini misalnya, anak presiden—Kaesang serta istrinya—kedapatan naik jet pribadi, dibarengi dengan pamer kemewahan di tengah sulitnya kondisi ekonomi masyarakat, lalu mencuat dugaan gratifikasi sehingga KPK didesak publik untuk memeriksanya.

KPK yang telah dilemahkan sejak 2019 lewat perubahan Undang-Undang dan tes wawasan kebangsaan yang problematik pun pada akhirnya menyatakan bahwa jet pribadi yang ditumpangi Kaesang bukan gratifikasi. Lembaga antirasuah ini tak lagi independen dan cenderung jadi alat politik penguasa.

Masyarakat tentu berhak marah dan layak mendakwa bahwa tidak sedikit pos vital pemerintahan negeri ini dikendalikan oleh orang-orang yang meremehkan tanggung jawab dan tidak kompeten. Oknum-oknum tersebut biasanya merupakan produk politik balas budi lewat mekanisme pembagian kue kekuasaan untuk pihak-pihak yang dinilai berjasa membantu seorang pejabat memperoleh tuas kuasa, terlepas mereka punya kapabilitas di bidang terkait atau tidak.

Sebagai salah satu produk politik balas budi, tak berlebihan rasanya mencontohkan mantan Menkominfo, Budi Arie Setiadi. Ia diketahui merupakan Ketua Umum Relawan Projo yang berkontribusi dalam pemenangan Jokowi di Pilpres 2014 dan 2019. Masih hangat dalam ingatan bagaimana Imigrasi sempat kocar-kacir dan sejumlah layanan publik lumpuh setelah Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2 diserang ransomwarepada Juni lalu. Sejak awal, tak sedikit yang meragukan kapabilitasnya di bidang komunikasi dan informatika.

Menanggapi kekacauan PDNS tersebut dengan mengatakan “Kalau bisa jangan menyerang” adalah respons konyol seorang Menkominfo. Menunjukkan ketidaksiapan, keteledoran, dan komitmen dangkal pemerintah menyangkut keamanan siber kita. Apalagi kebocoran data telah berulang kali terjadi sebelumnya. Hal tersebut adalah dalil penguat atas ketidakcakapannya menjadi Menkominfo. Lebih-lebih kini ada dugaan bahwa Budi Ari terlibat melindungi judi online saat masih menjabat sebagai Menkominfo di era Jokowi.

Demikian, sebuah gambaran kekacauan manakala meritokrasi dikesampingkan dan jabatan diisi oleh orang yang tak kompeten serta minim tanggung jawab. Imbasnya bukan saja tata kelola pemerintahan atau instansi yang buruk, tapi juga gelagat pejabat menyepelekan masalah karena memang buta medan ataupun karena menolak peduli pada area kerjanya.

Baca Juga  Mengendalikan Amarah dengan Bershalawat

“Kiamat (kehancuran) tinggal menunggu waktu apabila suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya”, diriwayatkan oleh Bukhari. Demikian peringatan menyejarah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW sejak berabad silam. Suatu hari dalam sebuah forum Nabi mengingatkan jemaahnya, “Jika amanah telah disia-siakan, tunggu saja kiamat terjadi”. Lalu seseorang bertanya apa maksud dari amanah yang disia-siakan. Nabi menimpali, “Apabila suatu urusan diserahkan kepada orang yang tidak kompeten, maka tunggulah waktu kehancurannya (kiamat).”

Pengabaian unsur kompetensi dalam pendelegasian suatu tugas akan menghasilkan dampak berantai yang mengerikan dan merugikan banyak pihak. Kita selaku warga, dalam kadar yang bervariasi sepertinya telah menyaksikan dan merasakan efek buruk tersebut. Tak heran jika Nabi, dalam kapasitasnya sebagai pemimpin masyarakat, mengambil perumpamaan ekstrem “kiamat” untuk melukiskan efek destruktif jika suatu urusan tak ditangani oleh yang ahli di bidangnya.

Setali dengan peringatan kenabian itu, penulis yakin, orang-orang Ormas keagamaan Islam khususnya, telah hafal di luar kepala sabda tersebut. Namun ironisnya, beberapa Ormas keagamaan seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah justru terlibat dalam pusaran langkah yang berpotensi mengantarkan pada kehancuran yang diperingatkan Nabi, dengan mereka menerima konsesi tambang yang ditawarkan pemerintah.

Tidak saja kapasitas Ormas dipertanyakan menyangkut industri ekstraktif ini, tapi juga nasihat kenabian yang tampak tak lagi digubris oleh mereka yang notabene pemuka agama, membuat kita miris. Konsesi tambang untuk Ormas keagamaan ini merupakan kebijakan yang sarat muatan politik dan bahaya multisektor. Ormas keagamaan diseret dan di saat yang sama terlihat menyerahkan diri untuk jadi “abdi negara”, melepaskan peran utamanya membersamai masyarakat sipil dalam melakukan fungsi pengawasan dan kritik terhadap laju pemerintahan.

Masyarakat rasanya sedang dipaksa untuk sukarela menyaksikan kehancuran demi kehancuran pengelolaan negara. Yang kemudian menggiring alam bawah sadar warga untuk menganggap kerusakan itu sebagai kenormalan. Di lain pihak, berbagai kritik publik yang direspons secara tak serius dengan pembenaran-pembenaran konyol dari elite adalah indikasi bahwa masyarakat disepelekan dan dianggap bodoh, sehingga dirasa cukup ditanggapi dengan gimik-gimik murahan.

Penting untuk terus bersuara kritis dengan berlatih mempertanyakan dan membicarakan hal-hal yang tidak mengenakkan agar nalar serta kewarasan publik tetap terjaga. Membahas ketidaknyamanan bukan berarti kehilangan optimisme. Akan tetapi mencoba menakar ekspektasi dan mengukur risiko yang mungkin terjadi. Paulo Freire mengungkapkan, bahwa dengan ‘paradigma kritis’ tadi kita melatih siapa saja untuk ‘menghadapi’ bukan sebatas ‘memahami’ ketidakadilan.

“Kiamat” dalam format krisis dan kekacauan akan terus tereproduksi jika tidak ada reformasi tata kelola pemerintahan dengan pendelegasian jabatan kepada ahlinya. Melihat kabinet gemuk pemerintahan Prabowo yang bahkan diisi oleh sejumlah orang bermasalah, tepatkah klaim kabinet zaken atau jajaran menteri yang dipilih berbasis meritokrasi dibenarkan? Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.