Jangan Memusuhi Orang Murtad

KolomJangan Memusuhi Orang Murtad

Man baddala dinah faqtulu Artinya, siapa yang keluar dari Islam dan memilih agama lain, maka bunuhlah (HR. Bukhari). Hadis ini menjadi sumber dalam fikih klasik untuk menghukumi orang murtad dengan hukuman berat. Tidak heran, masyarakat Muslim sering kali memandang rendah mereka yang pindah agama dari Islam ke agama lain sebagai musuh, sehingga mengakibatkan perilaku pengucilan, perundungan, dan persekusi.

Banyak kasus di mana orang murtad mendapat komentar kebencian, kecaman menyakitkan, tidak lagi diakui sebagai sanak saudara, bahkan diusir dari masyarakatnya. Seringkali pula kasus pengucilan orang yang berpindah agama tidak heboh dan ditutup-tutupi sebagai aib, sehingga kekerasan yang terjadi tidak terekspos.

Merundung orang murtad sejatinya malah sangat berlawanan dengan prinsip kebebasan beragama dalam Islam dan konstitusi negara kita. Sebagaimana dalam surah al-Baqarah ayat 25, Laa ikraaha fii al-diini… yang artinya Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama. Maka, seharusnya juga tidak ada paksaan untuk log-in kembali bagi mereka yang telah log-out dari Islam. Apalagi, sampai harus diancam agar mau kembali masuk Islam.

Dalam hal ini, pemahaman kita terkait hadis Man baddala dinah faqtulu perlu dikritisi, agar tidak terjebak pada laku intoleran dan ekstrem terhadap mereka yang murtad. Sebagaimana penjelasan Moh. Mufid dalam artikel Hifz al-Din, Riddah, dan Kebebasan Beragama dalam Fikih Humanisme (2022), bahwa sebenarnya sebagian besar hadis mengaitkan riddah (keluar dari Islam/murtad) dengan perbuatan memecah belah masyarakat Muslim. Apa yang dkecam Nabi SAW adalah para pengkhianat yang meninggalkan kaum Muslim, kemudian bergabung dengan kelompok musuh yang memerangi umat Muslim. Bahkan, tidak jarang redaksi hirabah (pemberontakan) digunakan sebagai padanan dari istilah Murtad.

Oleh karena itu, kecaman dan hukuman berat bagi orang murtad dalam hadis, sebenarnya bukan semata karena perubahan agama, melainkan sebab perbuatan membelot dan membantu musuh dalam konteks peperangan atau konflik. Kenapa konteks murtad di masa Nabi dapat berarti penghianatan?

Kita perlu memahami dahulu kondisi masyarakat Muslim kala itu. Ajid Thohir dalam Sirah Nabawiyah (2019), menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya (umat Islam) berhadapan dengan oposisi kelompok kafir Quraisy tidak hanya pada dimensi keagamaan, melainkan juga dalam dimensi kemasyarakatan. Dalam hal ini, elit-elit Makkah melakukan berbagai upaya untuk membuat pengikut Nabi berpaling darinya, dan bergabung dengan mereka untuk sama-sama menghancurkan umat Muslim.

Baca Juga  Polemik Kitab Suci: 10 Tahun Kemudian

Dalam kondisi peradaban Islam awal seperti itu, orang yang murtad tidak hanya berarti meninggalkan agama Islam, melainkan juga bergabung dengan musuh dalam upaya menghancurkan masyarakat Muslim. Karenanya, mereka memang perlu diperangi, sebab kalau dibiarkan yang ada malah menghancurkan masyarakat Muslim.

Situasi senada kiranya dihadapi oleh Ali Bin Abi Thalib, sehingga dalam riwayat hadis tentang Man baddala dinah faqtulu, diamengeksekusi orang-orang murtad dengan cara dibakar. Sebab, kemurtadan mereka bukan sekadar masalah akidah seseorang log-out dari Islam, namun juga menyangkut masalah stabilitas negara yang dapat membahayakan banyak nyawa.

Apakah semua orang murtad pada masa awal Islam dibunuh? Jawabannya tidak. Sederet Muslim yang keluar Islam di zaman Nabi SAW tidak mendapat hukuman karena tidak terlibat dalam gerakan atau aksi permsuhan. Dari beberapa nama, ada Qayis Ibn Hazim, Sebagaimana dijelaskan oleh Moh. Mufid (2022), bahwa Qayis Ibn Hazim menyatakan keluar dari Islam di hadapan Nabi. Namun, Nabi tidak menghukumnya atau menyuruh para sahabat untuk membunuhnya. Bahkan, Qayis masih bebas keluar dari Madinah tanpa ada gangguan.

Itu karena kemurtadan Qayis tidak dalam konteks penghianatan untuk memerangi umat Muslim. Melainkan, bagian dari kemerdekaan dalam beragama.

Dalam konteks masyarakat Indonesia, saat ini, di mana tidak ada permusuhan antara Muslim dan non-Muslim. Bahkan, Muslim dan non-Muslim adalah saudara sebangsa setanah air. Tentu sangat tidak tepat memandang orang yang keluar dari Islam sebagai musuh atau pengkhianat. Sebaliknya, dalam konteks sekarang ini hal itu dipandang sebagai bagian kebebasan seseorang dalam memilih agama.

Oleh karena itu, tidak adal asalan bagi orang Muslim untuk menyakiti orang yang berpindah agama dari Islam ke agama lain. Dalam konteks beragama dan bernegara di Indonesia ini, Muslim dan Non-Muslim berstatus sebagai saudara sebangsa setanah air.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.