KH. Ali Yafie, Sang Pembawa Maslahat

BeritaKH. Ali Yafie, Sang Pembawa Maslahat

Di negeri ini, ada sekian ulama yang membawa maslahat luas kepada masyarakat. Pengetahuan sekaligus sikapnya melulu beriringan guna memberi tauladan laku berislam yang paripurna layaknya Kanjeng Nabi Muhammad. Nama KH. Ali Yafie menjadi salah satu dari sekian ulama yang dimaksud. Ia menebar kemaslahatan memalui gagasan, teladan, dan perannya di tengah masyarakat.

Ulama kelahiran Wani-Donggala, Sulawesi Tengah pada 1 September 1926 ini tidak diragukan lagi kiprah dan kontribusinya bagi pemajuan bangsa, syiar agama, sekaligus turut mengintegrasikan negeri ini agar tahan dari ragam ancaman. Sederet peristiwa penting terlibat dan ditunaikan. Semisal ucapannya ihwal mundurnya Presiden Republik Indonesia ke-II, Soeharto. KH. Ali Yafie tidak segan-segan mengatakan langsung di hadapan Soeharto saat duduk bersua muka saat negeri ini mengalami masa-masa gejolak politik. Ia bertutur, “Bapak Presiden, reformasi itu mempunyai dua makna. Pertama, seperti yang kita bicarakan di sini tentang perubahan sistem. Yang kedua, reformasi itu artinya ‘bapak turun’, seperti yang dimaksudkan para mahasiswa di luar sana.”

Sederet peran penting keulamaan di negeri ini juga diemban oleh KH. Ali Yafie. Beberapa di antaranya pernah menjadi Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatu Ulama (PBNU) pada 1991-1992, kemudian Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) periode 1998-2000, Guru Besar IIQ Jakarta dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta Penasehat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Berbagai peran dan amanah yang dipercayakan kepada KH. Ali Yafie, menunjukkan bahwa ia adalah sosok yang kehadirannya dibutuhkan di tengah-tengah masyarakat luas.

Tentu saja capaian dan pengaruh KH Ali Yafie tersebut tidak terlepas dari prinsipnya memberi nilai manfaat (maslahah) dalam berislam dan berbangsa. Dalam artikel Kedudukan Maslahah Perspektif Prof. KH. Ali Yafie; Sebuah Analisis Tentang Epistemologi Hukum Islam (2013), Anwar Sadat menguraikan ada tiga bentuk kemaslahatan yang ditunai-lakukan oleh KH. Ali Yafie.

Pertama al-dharuriyat, kemaslahatan yang mesti ada dan termiliki oleh setiap manusia, terutama seorang muslim yang terangkum dalam al-kulliyat al-khams; jiwa, keselamatan akal, nasab, harta, dan keselamatan beragama. Lima hal ini penting dimiliki utamanya bagi masyarakat muslim di negeri ini. Bahkan beberapa ulama menilai lima hal ini sebagai keharusan yang mesti diejawantahkan, kendati dalam bentuk yang paling sederhana. Seperti halnya mengasuh anak di dalam keluarga. KH. Ali Yafie meyakini bahwa mengasuh anak menjadi tanggung jawab bersama, suami-istri. Menurutnya, tanggung jawab di situ meliputi perawatan anak (jiwa dan nasab) dan pendidikannya (akal).

Baca Juga  Kiai Said Aqil Siroj: Islam Nusantara Melestarikan Budaya

Kemudian selanjutnya al-hajiyat, kemaslahatan yang berguna untuk memberi kemudahan ragam urusan manusia baik dengan-Nya maupun sesamanya. Maka dalam konteks tertentu, terdapat keringanan pelaksanaan ketentuan syariat lantaran ada tuntutan keadaan yang tidak memungkinkan. Maslahah jenis ini dinilai cukup relevan dalam melihat peta masyarakat muslim yang semakin membaur, maju, dan berelasi dengan ragam watak dari negara lain. Contoh seperti adanya regulasi Hak Asasi Manusia oleh PBB dana tau yang lainnya bisa masuk ke dalam bentuk maslahat al-hajiyat ini.

Terakhir ada al-tahsiniyat, bentuk kemaslahatan yang melengkapi kepentingan manusia untuk menjamin tegaknya normal moral dan kesopanan. Tentu saja maslahat bentuk ini disesuaikan dengan kultur dan budaya masyarakat muslim setempat. Bahwa manusia menghendaki kehidupan yang aman, tenteram, dan sejahtera memang benar adanya. Tetapi jalan untuk menuju ke tujuan tersebut, manusia tidak boleh berlaku semena-mena, sekalipun pada alam lingkungan yang oleh dunia modern dinilai sebagai objek semata. Barangkali dari sini, fikih lingkungan yang digagas oleh KH. Ali Yafie peroleh bentuk konsepsinya.

Maslahah-maslahah tersebut mesti jadi pertimbangan KH. Ali Yafie dalam gerak berislam dan berbangsanya, sama halnya dengan ulama lain di negeri ini. Kita boleh menduga dan menelaah lebih dalam ihwal bukunya Mengagas Fikih Sosial: Dari Soal Lingkungan Hidup Asuransi, Hingga Ukhuwah (Mizan, 1995) yang ditulis KH. Ali Yafie yang juga bergelut simbol, narasi, dan pesan yang tidak jauh-jauh dari ketiga bentuk maslahah tersebut.

Kini KH. Ali Yafie telah berpulang pada Sabtu, 25 Februari 2023 di usianya yang ke 97 tahun di Rumah Sakit Premier Bintaro. Jasadnya telah dikebumikan, namun KH. Ali Yafie meninggalkan jejak kemaslahatan yang dapat selalu menginspirasi kita. Gagasannya akan lestari jauh berabad-abad.

Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady
Alumnus Magister Studi Agama-Agama UIN Sunan Kalijaga, penulis, dan masyarakat biasa.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.