Perbedaan agama memang sering kali membuat kita terjebak pada sikap saling berburuk sangka. Misalnya, pandangan penuh kecurigaan terhadap bantuan dari orang yang tidak seiman, karena merasa ada pihak yang ingin merusak Akidah Islam lewat bantuan-bantuan tersebut. Buruk sangka ini bisa menyebabkan intoleransi, seperti aksi viral pencopotan label “Tim Aksi Kasih Gereja Reformed Injil Indonesia” yang tertempel di tenda bantuan gempa Cianjur beberapa waktu. Tidak dimungkiri, ketegangan prasangka akan berlanjut pada konflik antarumat beragama.
Sejatinya, keimanan selalu mendorong kita untuk menghargai dan mengapresiasi kebaikan, bukan mencurigainya. Agama tidak menghendaki prasangka dan permusuhan. Sebaliknya, Islam dan Kristen sama-sama mengajarkan agar pemeluknya menebar kasih kepada seluruh manusia. Dalam Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antarumat, menurut Azyumardi Azrabahwa tidak ada konflik antar-“agama”, sebab setiap agama mengajarkan kedamaian dan menebar kasih. Sebaliknya, yang ada hanyalah konflik antar-“umat” beragama. Manusia-manusia yang memeluk agama berbeda, dikarenakan berbagai alasan, mereka saling menghancurkan dengan menggunakan simbol dan legitimasi agama masing-masing.
Kegagalan untuk saling mengenal dapat menjadi faktor alasan yang memicu konflik antarumat. Kita gagal saling memahami satu sama lain, sehingga tidak mampu untuk hormat-menghormati, dan terjebak pada sikap saling berburuk sangka. Oleh karena itu, penting untuk kita saling mengenal dan memahami satu sama lain. Menyadari dan menerima bahwa tidak hanya ada Muslim yang baik, namun juga ada non-Muslim yang baik. Sebab, ajaran agama kita sama-sama mengajarkan kebaikan.
Di Kristen, ajaran kasih mewujud dalam banyak tradisi peribadatan, salah satunya dalam tradisi Kamis Putih. Ini merupakan tradisi pra-paskah. Salah satu prosesi dalam Kamis Putih adalah pembasuhan kaki, yang berangkat dari peristiwa di mana Yesus membasuh kaki 12 orang muridnya. Momen bersejarah pembasuhan kaki tersebut sangat menarik. Mengapa bukan 12 murid yang membasuh kaki Yesus dan malah sebaliknya? Padahal berdasarkan ke-umum-an adab seharusnya murid yang membasuh kaki gurunya.
Menurut Pdt. Stilanus Cristian Haryono, dalam talk-show bertajuk Pengantar Tentang Pra-paskah ( 17/2/ 2023) di Geraja Protestan Indonesia Barat (GPIB) Yogyakarta, hal itu sejatinya merupakan teladan yang diperlihatkan oleh Yesus, sebagai penggambaran kalau seharusnya kehidupan ini dijalani di atas prinsip kesetaraan.
Di momen Kamis Putih pula, Yesus juga memberi perintah baru kepada para muridnya, yaitu perintah untuk mengasihi. Yesus berbagi kasih dengan memberi perjamuan. Oleh karenanya, sebagaimana penjelasan Pdt. Abraham Rednandus, dalam talk-show Pengantar Tentang Pra-paskah, di Kamis Putih, umat Kristen tidak hanya melakukan pembasuhan kaki, namun juga melakukan perjamuan.
Hal itu untuk meneladani Yesus yang memberi teladan berbagi. Dia membagi kasihnya kepada umat manusia. Sehingga, pemaknaan Kamis Putih menjadi momen di mana Yesus mengajarkan kepada umat Kristen untuk mengedepankan kemanusiaan dalam hidup. Salah satunya adalah dengan banyak berbagi kepada sesama manusia.
Itulah mengapa jika melihat laku beragama umat Kristen di Indonesia mereka banyak berbagi, tidak hanya kepada sesama Kristen, namun juga kepada non-Kristen. Seperti ketika terjadi bencana gempa di Cianjur, umat Kristen melalui lembaga-lembaga mereka turut membantu korban bencana tanpa melihat status agama para korban. Itu bukan dalam rangka mereka ingin memengaruhi yang non-Kristen, melainkan spirit ajaran yang diteladankan Yesus kepada mereka, memang mengajarkan untuk menebar kasih kepada sesama manusia.
Singkatnnya, bantuan dan kebaikan tidak merusak iman, namun justru menguatkannya. Di manapun, kebaikan harus selalu dihargai tanpa pandang iman. Sebaliknya, sikap curiga dan prasangka negative itulah yang menodai keimnan dan dapat menjerumuskan pada aksi intoleransi. Sejatinya, sebagaiman Muslim yang diajarkan untuk berbagi, umat Kristiani juga diajarjan untuk berbagi, baik kepada saudara seagama maupun yang tidak. Perbedaan bukanlah masalah, melainkan berkah. Kita patut bersyukur karena hidup berdampingan dengan umat lain yang sama-sama menjalankan ajaran kasih dan kebaikan berbagi.