Perempuan menjadi kaum paling menderita semenjak Taliban kembali berkuasa. Taliban menyulap Afghanistan menjadi penjara bagi kaum hawa. Perempuan hanya dianggap sebagai ornamen mati, bukan manusia yang punya hak berkehidupan setara dengan laki-laki. Dikurung di rumah, dilarang bersekolah, tidak boleh bekerja, bahkan untuk menghibur diri di taman bermain saja haram hukumnya. Para wanita Afghanistan kian terasing di negerinya sendiri. Mereka kehilangan cara untuk memberi makna hidupnya. “Saat Anda tidak memiliki kebebasan di negara Anda sendiri, lalu apa artinya tinggal di sini?” ucap Raihana (21), seorang mahasiswi (Kompas.id, (10/11/2022).
Secara berangsur Taliban menutup pintu pergerakan perempuan di arena publik. Setelah sebelumnya anak-anak sekolah menengah diperintahkan kembali pulang, tepat di hari awal mereka dijanjikan boleh bersekolah lagi, kini penyumbatan akses pendidikan bagi perempuan merembet ke jenjang perguruan tinggi. Sejak Rabu (21/12/2022), Taliban selaku pemegang kendali pemerintahan Afghanistan mengumumkan larangan berkuliah bagi mahasiswi baik di kampus negeri maupun swasta. Larangan itu dikeluarkan guna mencegah berkumpulnya laki-laki dan perempuan di ruang yang sama. Taliban telah mengoyak harapan para gadis muda Afghanistan untuk meraih mimpi mereka.
Pemerintahan purba tersebut telah menyia-nyiakan talenta-talenta terbaik anak bangsanya. Berdasar catatan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) yang dikutip Kompas.id (22/12/2022), Afghanistan ditaksir kehilangan potensi produk domestik bruto (PDB) hingga 1 miliar dollar AS karena membatasi keterlibatan wanita di masyarakat. Protes keras dan kritik tajam berdatangan dari banyak pihak. Seorang dosen dari salah satu kampus di Afghanistan memilih keluar dari kampusnya sebagai bentuk penentangan atas pembatasan tersebut. Kebijakan demi kebijakan yang diluncurkan Taliban terus meresahkan dan menyalahi janji yang dibuatnya. Pasca merebut pemerintahan 15 Agustus 2021 lalu, Taliban berjanji memberlakukan aturan moderat bagi kaum perempuan, serta hak-hak mereka pun bakal dipenuhi. Namun, semua hanya omong kosong karena fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya.
Kebijakan pemerintahan Taliban paling anyar yang terbit pada Sabtu (24/12/2022) menegaskan pelarangan seluruh wanita Afghanistan bekerja di LSM. Aturan ini diberlakukan menyusul adanya laporan bahwa perempuan yang bekerja di LSM tidak berkerudung dengan benar. LSM yang bandel tetap mempekerjakan perempuan akan dicabut izin operasionalnya. Menurut syariat versi Taliban, wanita harus membungkus seluruh dirinya, menutup mukanya dengan cadar dan hanya menyisakan sedikit celah terbuka untuk sepasang mata. Sebagai negara yang mengandalkan bantuan internasional untuk memutar ekonomi negara, menghilangkan wanita dari perannya di LSM hanya akan menghambat penyaluran bantuan dari luar negeri, yang artinya menyulitkan warganya sendiri untuk menerima pertolongan kemanusiaan. Taliban praktis sedang membunuh rakyatnya sendiri.
Habis kata rasanya untuk menggambarkan kebebalan Taliban. Berbagai kecaman warga lokal hingga publik internasional tidak sama sekali digubris oleh mereka. Fakta ancaman krisis multidimensional yang menggerogoti negerinya juga tak mengendurkan ego dan kekakuan aturan Taliban terhadap perempuan. Alih-alih menegakkan syariat Islam, Taliban tengah menginjak-injak dan menghinakan agama Allah. Diskriminasi, melarang perempuan belajar atau bekerja bukanlah ajaran Islam. Apakah menjadi perempuan adalah dosa, sehingga layak diperlakukan sedemikian rendah? Hamba Tuhan yang berpikir pasti sadar bahwa semua makhluk-Nya harus dimuliakan dan diberi kesempatan berkehidupan yang sama luas.
Taliban sedang membangun jalur neraka untuk bangsanya sendiri. Tidakkah mereka berpikir, dengan mengisolasi wanita, melarang mereka belajar dan bekerja, pengangguran akan semakin membludak, berimbas pada lonjakan tingkat kebodohan, angka kemiskinan hingga pertumbuhan ekonomi yang stagnan bahkan terjun bebas. Warga yang melarat akan kesulitan mencukupi berbagai kebutuhan hidup. Krisis pangan, darurat kesehatan, bencana kelaparan, dan kematian menjadi ancaman yang amat dekat menghantui hari-hari masyarakat Afghanistan. Sikap enggan berkompromi Taliban dengan permintaan publik global kian membuat warganya menderita, mengingat Afghanistan sangat bergantung pada bantuan pihak luar. Inilah lintasan neraka yang dirintis Taliban berdalih penegakan aturan Tuhan.
Dunia internasional, termasuk Indonesia terus berupaya mengulurkan tangan untuk kaum wanita Afghanistan khususnya, meski tidak mengakui pemerintahan faktual Taliban. Di antara yang diupayakan ialah bantuan pendidikan wanita Afghanistan. Indonesia bersama Qatar misalnya menginisiasi Konferensi Internasional untuk Pendidikan Perempuan Afghanistan (ICAWE), menggandeng negara-negara lain untu membantu perluasan akses pendidikan bagi perempuan Afghanistan, seperti dengan pengadaan pembelajaran jarak jauh. Masa depan Afghanistan membutuhkan keterlibatan perempuan dalam kehidupan sosial. Tanpa bersikap adil kepada mereka, Afghanistan akan terus menjadi bangsa yang sekarat karena kehilangan kepercayaan sekaligus potensi unggul rakyatnya. Wallahu a’lam. []