Sumpah Pemuda dan Antisipasi Bencana Demografi

KolomSumpah Pemuda dan Antisipasi Bencana Demografi

Dalam beberapa tahun ke depan, tepatnya pada 2030, Indonesia diproyeksikan akan mengantongi bonus demografi. Sekitar 64 persen dari masyarakat kita akan diisi oleh angkatan produktif, yakni kalangan usia 15-64 tahun. Namun, keberlimpahan itu tak akan menjadi bonus yang potensial jika tidak dibarengi dengan pemberdayaan kualitas manusianya. Justru bisa menjadi bencana demografi, di mana angkatan tadi hanya menjadi angka dan data yang kontraproduktif, apabila pengembangan kualitas manusia diabaikan. Pemuda adalah bagian integral dari kaum produktif yang diharapkan tersebut, bahkan mendominasi. Sumpah Pemuda adalah memoar penting untuk menuntun kaum muda hari ini menemukan warisan karakter organik pemuda-pemudi teladan guna dinyalakan nilai dan semangatnya di masa kini.

Laju sejarah bangsa Indonesia adalah sejarah para kawula muda. Banyak peristiwa penting dan gerakan-gerakan berpengaruh yang melibatkan peran mereka. Jauh sebelum proklamasi kemerdekaan 1945 diikrarkan, angkatan muda lah yang mengembangkan tradisi anyar perjuangan kemerdekaan dengan membangun kesadaran kolektif nasionalisme bangsa Indonesia. Semula, perlawanan rakyat masih bersifat parsial kedaerahan. Belum ada pemahaman bahwa satu sama lain di antara mereka saling terikat, sehingga perjuangan melawan penjajah terbilang belum optimal.

Banyak dikisahkan dalam buku ajar sekolah, bagaimana antusiasme, perdebatan, serta gerak para kaum muda dalam peristiwa kemerdekaan. Kaitannya dengan gerakan, Budi Utomo yang dibentuk pada 1908 menjadi organisasi pergerakan nasional yang digawangi para pemuda berpendidikan. Budi Utomo pun menginspirasi lahirnya organisasi-organisasi pemuda lainnya. Tak lama berselang, terbentuklah Perhimpunan Indonesia (PI) pada 1908 yang merupakan organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda, yang di antara penggagasnya adalah nama besar Mohammad Hatta. 

Perkumpulan pemuda yang bertujuan meneguhkan solidaritas sosial pun terus tereproduksi setelah itu, meski masih berkarakter daerah. Tri Koro Darmo atau Jong Java (1915), Jong Sumatranen Bond (1917), Jong Minahasa Bond (1918), Jong Celebes, Jong Ambon, Pemuda Kaum Betawi, Sekar Rukun, hingga organisasi perempuan pun turut hadir. “Jong” yang merupakan istilah Belanda untuk “pemuda”, merujuk pada kaum muda berilmu dan terpelajar, bukan sekadar menunjukkan usia muda. Pemuda-pemudi semacam itulah yang mencetuskan monumen besar Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dalam Kongres Pemuda II.

Angkatan muda tersebut mengakui dengan penuh kesadaran, bahwa mereka bertumpah darah satu, berbangsa yang satu, dan berbahasa satu, yang itu adalah Indonesia. Bukan perkara mudah menyatukan pemahaman orang-orang dengan perbedaan kultur dan ras. Tidak mudah pula untuk rela menyisihkan kedaerahan masing-masing dari mereka. Semua berusaha, berkolaborasi merajut identitas kolektif “kita” sebagai bangsa Indonesia yang bertekad menuju kemerdekaan bersama dengan penerangan ilmu. Dalam kesempatan Sumpah Pemuda itu, Sugondo Joyopuspito selaku ketua berseru, “Perangilah pengaruh bercerai berai dan majulah terus ke arah Indonesia yang kita cintai”. Artinya, pengetahuan dan kesadaran bersatu adalah perisai dari kejahatan adu domba para penjajah yang berobsesi memecah kesatuan kita.

Baca Juga  Saling Jaga Empati dalam Memperingati Hari Asyura

Abdul Rivai dalam majalah Bintang Hindia (vol 14/1905: 159) yang dikutip oleh Yudi Latif dalam Harian Kompas (27/10/2022), memaknai “kaum muda” sebagai siapapun orang Hindia baik muda maupun tua yang tak mau lagi mengikuti aturan kuno. Namun sebaliknya, kaum muda adalah mereka yang bersemangat mencapai rasa percaya diri melalui ilmu dan pengetahuan. Definisi ini nampaknya adalah upaya merefleksikan karakteristik perjuangan pemuda Tanah Air sekitar awal abad ke-20 yang identik dengan intelektualisme, intelegensi, dan wawasan. Ilmu dan usaha-usaha berpikir lantas menjadi unsur yang rapat pada jati diri kaum muda. Kalangan semacam itu diistilahkan oleh Abdul Rivai sebagai “bangsawan pikiran”.

“Bangsawan pikiran” adalah kualitas kebangsawanan yang ditakar melalui minat berpikir, kepemilikan wawasan, keberpihakan pada ide kemajuan, serta kebulatan hati untuk mengabdi pada aksi kebaikan. Kaum pemuda pemikir itu meretas batas antara borok tradisi dan inovasi yang mencerahkan, mencoba memperjelas peta jalan masa depan bangsa. Dengan kata lain, kaum muda yang berdaya pikir, berdaya juang, dan berdaya pengabdian adalah bentukan dasar keindonesiaan kita. 

Kita tak bisa mengabaikan fitrah keindonesiaan tersebut dalam perjuangan menghadapi ragam tantangan zaman, termasuk dalam menyikapi proyeksi akan adanya bonus demografi. Penyegaran kaum muda dan pemberdayaan pengetahuan harus menjadi agenda dalam menghadapi proyeksi tersebut. Ketika surplus angkatan produktif tidak diiringi perbaikan kualitas dan kapabilitas modal manusianya, maka statistika tersebut akan berbalik menjadi bencana demografi, yang mengawali mata rantai berbagai persoalan sosial kebangsaan.

Semangat dan jiwa Sumpah Pemuda merupakan cermin pencerahan bagi gerakan pembangunan bangsa. Kaum muda era kebangkitan nasional menempatkan kultur berpikir sebagai strategi membangun kualitas manusia. Demikian halnya sekarang, elan vital untuk mencapai kemajuan adalah pembangunan modal manusia agar tercipta kaum berwawasan dan sanggup menyelesaikan persoalan langsung kehidupan. Tentu hal ini menuntut kerja kolektif dan kolaboratif yang melibatkan iklim politik dan sistem ekonomi yang mendukung dengan proyek pendidikan sebagai tumpuan utama pembangunan nasional.

“Bangsawan pikiran” adalah anugerah yang mengantarkan kita pada trayek kemerdekaan. Sumpah Pemuda 1928 menjadi jangkar dari proklamasi kebebasan ‘45. Sumpah Pemuda merupakan ikrar kudus yang meninggikan persatuan bangsa beralaskan prinsip Bhineka Tunggal Ika. Ada setidaknya tiga hal yang diwasiatkan para manusia utama yang serempak berikrar tersebut, yakni amanat untuk berdaya pikir, kelapangan hati menundukkan ego primordial, serta prinsip kolaborasi. Ini adalah modal dan energi untuk mengonversi keberlimpahan penduduk kita menjadi bonus yang menguntungkan.

Pemuda yang berpikir adalah bagian dari fitrah haluan keindonesiaan kita. Ke manapun arah pembangunan bangsa tak boleh abai pada sifat asal ini, yakni kesediaan berjuang, berpikir, dan berkhidmat pada kebajikan. Kode sejarah tersebut diharapkan benar-benar dipahami oleh generasi produktif untuk mewujudkan kemajuan dan kehormatan bangsa yang sebenar-benarnya. Selamat hari raya Sumpah Pemuda. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.