Merayakan Hari Pangan melalui Praktik Teladan Kenabian

KhazanahHadisMerayakan Hari Pangan melalui Praktik Teladan Kenabian

Makan merupakan kebutuhan manusia yang mustahil ditawar. Orientasi hidup memang bukan sebatas makan, namun makan adalah penunjang keberlangsungan hidup. 16 Oktober pun diperingati sebagai Hari Pangan Sedunia (World Food Day). Hari pangan dirayakan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang berbagai persoalan pangan yang melanda umat manusia sekaligus mengupayakan solusinya. Historisitas hidup Nabi Muhammad sejalan dengan rangkaian konseptual untuk membangun keberlanjutan pangan dan konsumsi berkesadaran yang patut untuk dipraktikkan.

Bencana kelaparan menjadi persoalan pangan yang mendesak ditanggulangi. “Jangan Ada yang Ditinggalkan” (Leave No One Behind) menjadi tema peringatan hari pangan tahun ini yang menyiratkan makna solidaritas, kepedulian, dan seruan untuk memangkas egoisme dalam bidang pangan. Kondisi bahwa banyak orang belum tersentuh keuntungan pembangunan berbagai sektor hidup manusia serta ragam inovasi teknologi, menjadi pendorong diambilnya tema tadi. Sebab tak sedikit saudara kita yang tertinggal, belum terengkuh di tengah hingar bingar kemajuan.

Ironi demi ironi memperkaya catatan tragedi di tengah kita. Indonesia masuk dalam daftar tiga besar negara dengan limbah makanan terbesar di dunia bersama dengan Arab Saudi dan Amerika Serikat. Betapa banyak makanan yang terbuang sia-sia, berakhir menjadi sampah dan menambah beban kerusakan lingkungan. Dalam data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dikutip oleh suara.com (11/10/2022), pada rentang tahun 2000-2019 food loss and waste kita telah mencapai 115-284 kilogram per kapita per tahun. Data ini memperlihatkan bagaimana praktik memubazirkan barang sedemikian tinggi dan membudaya di masyarakat kita.

Sementara itu, puluhan juta saudara kita masih mengalami kelaparan serta kerawanan pangan. Melansir dari Harian Kompas (17/10/2022), temuan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada 2021 ada sekitar 17 juta jiwa atau 6,1 persen penduduk Indonesia yang masih mengalami kelaparan. Dan sebesar 8,49 persen atau kira-kira 23,5 juta penduduk kita mengalami kerawanan pangan. Lebih mirisnya, pada 2021 menurut Global Hunger Index (GHI), Indonesia adalah negara ketiga dengan tingkat kelaparan tertinggi, posisi kita berada setelah Timor Leste dan Laos. Andaikata perilaku konsumsi makanan lebih tertata hingga tak ada makanan yang terbuang sia-sia, maka puluhan juta saudara kita bisa terselamatkan dari bencana kelaparan. 

Baca Juga  Medsos Memicu Krisis Mental

Berangkat dari fakta di atas, kita bisa mengawali kontribusi dari skala terkecil melalui perbaikan budaya makan. Rasulullah mengajarkan bagaimana etika konsumsi yang bertanggung jawab dan menyehatkan. Beliau jelas melarang kita berlebih-lebihan dalam konsumsi. Makan minum secukupnya dan proporsional, di mana dalam formula Nabi, makanan dan minuman masing-masing mendapat jatah ⅓ dari perut, sementara ⅓ terakhir adalah untuk udara. Praktik ini akan menjauhkan kita dari perilaku memubazirkan makanan yang biasanya terjadi karena tak menakar porsi makan dengan seksama, hingga bersisa dan terbuang begitu saja. Ambil makanan secukupnya dan habiskan apa yang telah diambil. Allah menegaskan, “…makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan” (QS. Al-A’raf: 31).

Kontribusi lanjutan untuk mengatasi tragedi dan ancaman kelaparan dapat dilakukan dengan budaya berbagi. Jutaan orang akan sangat mungkin terhindar dari kelaparan ketika banyak orang semarak untuk membantu sesama. Lakukan apapun yang paling mungkin dan sanggup kita usahakan untuk menolong orang lain. Bukan main-main, orang yang tak peduli dan membiarkan tetangganya kelaparan dianggap sebagai orang yang tak beriman. Seperti yang diterangkan dalam hadis bahwa, Tidaklah beriman kepadaku orang yang kenyang semalaman sedangkan tetangganya kelaparan di sampingnya, padahal ia mengetahuinya (HR. Al-Thabrani).

Hadis di atas adalah peringatan keras agar manusia peduli pada sesamanya. Pengakuan keimanan orang yang abai pada nasib saudaranya tak dianggap dan tak dipercaya. Suatu keimanan yang kosong dan tawar. Setiap orang harus bertanggung jawab penuh terhadap apa yang dikonsumsi. Data-data tadi adalah ironi dahsyat, di satu sisi jutaan orang sedemikian sulit hanya untuk makan sesuap nasi, bahkan meregang nyawa karena kelaparan. Namun di sisi lain, jutaan kilo makanan berakhir sia-sia di tempat sampah karena kerakusan atau perilaku konsumsi yang jahat. Mari kembangkan kepekaan dan memupuk rasa peduli. Semua serba-serbi nilai utama telah diajarkan Nabi. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.