Optimalkan Waktu, Jangan Mencelanya

KolomOptimalkan Waktu, Jangan Mencelanya

Waktu bukan video yang bisa diputar ulang. Tak ada toleransi dalam bertransaksi dengan waktu. Ia berlalu sesuai dengan kadarnya, celakanya sering kali kesadaran kita absen saat berhadapan dengan waktu. Lalu tak terasa ternyata hari kita terlewati dengan kacau, pekerjaan tak selesai, ataupun hal yang direncanakan menjadi berantakan. Jika sudah demikian, yang tersisa adalah rasa menyesal, kecewa, bahkan terkadang kita mencela waktu atau situasi itu sendiri.

Perkataan seperti “apes sekali hari ini”, “sungguh sial malam ini”, “minggu depan sepertinya akan sial”, dan yang semisalnya, tak jarang terucap dari lisan kita. Celaan semacam itu terlarang. Tidak semestinya kita memaki situasi atas kecerobohan diri sendiri dalam memanage waktu. Mengontrol diri untuk berusaha mengoptimalkan waktu akan menghindarkan dari rasa penyesalan di ujung hari.

Keterangan tentang larangan mencela waktu tercatat dalam banyak riwayat hadis dengan redaksi yang beragam. Termasuk di antaranya adalah hadis qudsi. Diceritakan oleh Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda, “Allah berfirman, ‘Anak Adam telah menyakiti-Ku, ia mencela masa. Padahal Aku adalah (pemilik/pengatur) masa. Di tangankulah urusan siang dan malam” (HR. Bukhari). Di lain redaksi dikatakan, Akulah yang mengatur pergantian siang dan malam.

Tindakan makhluk hakikatnya tak akan berpengaruh apa-apa pada Allah, termasuk tidak mungkin bisa menyakiti atau merendahkan-Nya. Menurut saya, lebih tepat untuk dipahami dari sudut pandang kita sebagai makhluk, bahwa menghina ciptaan Allah–dalam hal ini masa–adalah sikap yang tak pantas, di mana dalam persepsi manusiawi kita, suatu penghinaan akan menyakiti yang dihina.

Cela tersebut justru akan kembali pada orang yang melontarkan cacian, karena apa yang keluar dari seseorang menunjukkan bagaimana kualitas perangainya. Sejalan dengan apa yang diutarakan Imam Syafi’i dalam Diwan al-Imam al-Syafi’i, “Kita mencela zaman, padahal celaan itu ada pada diri kita sendiri. Sedangkan zaman itu tidaklah mempunyai aib kecuali karena kita.”

Di samping itu Rasulullah SAW sendiri bersabda secara lebih gamblang dengan memakai lafaz larangan, Janganlah kau mencela masa, karena sesungguhnya Allah adalah al-dahr (masa) (HR. Muslim). Mencela masa tak ubahnya menghina Dzat yang menciptakannya dan yang mengatur kejadian bagi makhluk di masa tersebut. Allah adalah penguasa yang mengatur pergantian siang dan malam. Kalau bukan karena Allah yang menggerakkan, waktu tak akan melaju.

Dua hadis di atas hadir lantaran perilaku masyarakat Arab jahiliah yang jika mengalami suatu kesulitan atau musibah mereka melontarkan cacian dengan ucapan seperti “Ya khaibata al-dahr (Aduh sialnya masa ini)” atau ucapan semisalnya yang mengandung hinaan pada zaman. Khaibah memuat arti kegagalan, keterpurukan, nasib buruk, juga ratapan. Orang yang mengucapkan kata khaibah seolah ia dirugikan oleh waktu karena kehilangan atau tak mendapat apa yang diharapkan dari suatu masa. Padahal waktu tak berbuat apapun padanya.

Jika memperlebar jangkauan pemahaman, larangan mencela masa dengan sendirinya mematahkan anggapan tentang adanya hari sial yang dinilai akan mengundang celaka. Artinya, semua hari itu baik, karena kesemuanya adalah rangkaian masa yang ditetapkan oleh Allah. Jika boleh mengajukan perbandingan, kriteria hari itu bukan hari baik dan hari buruk/sial, melainkan hari baik dan hari yang utama. Kesialan justru bisa menimpa ia yang mempercayai adanya hari sial. Sebab, energi dan pikirannya tercurah untuk itu. Sedangkan Allah adalah bersama prasangka hamba-Nya.

Baca Juga  Menunjukkan Islam yang ‘Benar’

Waktu merupakan materi mentah dari segala sesuatu yang menjadi komposisi dasar dari laju kehidupan kita. Dengan waktu, segala hal mungkin terjadi, tapi tidak sebaliknya. Diberinya kita waktu sungguh merupakan keajaiban sehari-hari. 24 jam dalam sehari itulah harta kita, yang karenanya mesti dioptimalkan, dijalani penuh kesadaran  untuk menghindari kerugian yang akan menjengkelkan hati.

Sekalipun pepatah menyebut “Waktu adalah uang”, tapi waktu lebih dari itu. Waktu adalah komoditas dengan nilai yang sangat tinggi. Pantas saja jika pertanggungjawaban manusia terhadap penggunaan waktu menjadi salah satu poin krusial yang menentukan nasib kita di akhirat kelak, seperti yang dikatakan Rasulullah dalam hadisnya. Hal ini karena waktu adalah modal besar yang telah diinvestasikan untuk kita.

Nabi SAW bersabda, Tidak akan bergeser kedua kaki anak Adam di hari kiamat dari hadapan Rabb-Nya, hingga ia ditanyai beberapa perkara; tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang masa mudanya untuk apa ia gunakan, tentang hartanya dari mana ia dapatkan dan untuk apa ia belanjakan, serta apa saja yang telah diamalkan dari ilmu yang dimilikinya (HR. Al-Tirmidzi). Umur adalah kata lain dari masa hidup seseorang. Menghidupinya dengan seksama dan sesuai tuntunan Allah, semoga akan mempermudah kita dalam forum pertanggungjawaban akhirat kelak.

Optimalisasi waktu dapat dimulai dengan menyadari keberhargaan waktu itu sendiri. Kita semua dijatah waktu dengan kecepatan yang sama. Tidak ada seseorang yang menerima lebih atau kurang. Tak ada pula yang bisa merampas waktu dari kita. Sungguh demokrasi yang ideal! Bagaimana realisasi seseorang menjalani waktu, itu yang akan membedakan kualitas hidup satu orang dengan yang lain.

Merancang strategi pengaturan waktu dalam tempo 24 jam adalah hal selanjutnya yang harus dikerjakan. Masing-masing kita mesti merumuskan keseharian dengan penuh kesadaran. Menurut Arnold Bennett dalam Bagaimana Hidup 24 Jam Sehari, pada prinsipnya, penggunaan waktu yang tepat dan efektif adalah soal tingkat urgensi yang paling tinggi, prioritas, dan soal aktualitas yang paling menggetarkan.

Demikian penting dan berharganya waktu, Allah bahkan bersumpah dalam banyak ayat menggunakan periode waktu. Seperti di awal surat al-‘Ashr, dengan kata Wa al-‘Ashr (Demi masa/waktu ashar). Lalu dalam surat al-Fajr, Allah berfirman Wa al-fajr (demi waktu fajar). Demikian halnya dalam surat al-Dhuha (waktu dhuha) dan al-Lail (waktu malam). Para mufassir menuturkan, bahwa ketika Allah bersumpah dengan sesuatu, tujuannya adalah untuk menarik atensi makhluk-Nya serta mengingatkan mereka tentang arti besar dari hal yang Allah jadikan sumpah tersebut.

Mengoptimalkan penggunaan waktu akan memberikan sensasi nyaman dan puas. Sebab, harta kita tak terhambur sia-sia serta tak ada siksaan batin bernama penyesalan dan tekanan, di mana perasaan itu berpotensi menjerumuskan seseorang pada penyaluran emosi secara verbal dengan mencaci maki dan menyalahkan waktu. Dengan demikian, untuk menjaga lisan dari celaan pada situasi, optimalkan waktu yang kita miliki! Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.