Obrolan Nabi seputar Mental Sehat

KhazanahHadisObrolan Nabi seputar Mental Sehat

Menjaga kesejahteraan mental sama pentingnya dengan merawat kesehatan jasmani. Sayangnya, kondisi mental sering terabaikan. Perbincangan tentang kesehatan mental yang belakangan mendapat atensi cukup kuat dari publik  merupakan sinyal positif, mengingat tak sedikit orang yang berakhir tragis karena persoalan mental. Kesejahteraan mental harus menjadi kesadaran kolektif masyarakat dan perhatian seluruh pihak. Dengan menyusuri sabda Rasulullah dan sejarah hidupnya, akan kita dapati pesan-pesan substansial untuk menjaga agar mental tetap prima. Nabi memang bukan pakar psikologi yang menyandang gelar akademik, namun uraiannya adalah prisma hikmah yang kaya dan genius.

Satu ketika sejumlah sahabat sedang duduk-duduk di suatu perkumpulan. Kemudian Nabi datang dengan kondisi rambut basah usai mandi. Sebagian sahabat itu berkata kepada beliau, “Hari ini kami melihat engkau tampak bahagia”. Nabi lantas menimpali, “Benar, segala puji bagi Allah”. Setelah itu orang-orang larut dalam perbincangan seputar kekayaan, hingga Nabi pun bersabda, “Tak ada salahnya seseorang mempunyai kekayaan asalkan dia tetap bertakwa. Namun, kesehatan bagi orang yang bertakwa itu lebih baik daripada kekayaan. Dan bahagia itu bagian dari kenikmatan” (HR. Ibnu Majah). 

Uraian Rasulullah tersebut pertama-tama menunjukkan kepedulian Nabi pada kesehatan, baik fisik maupun mental. Lebih lanjut, Nabi menegaskan bahwa sehat adalah nikmat yang utama, bahkan lebih baik dari harta benda. Toh memang kaya harta akan menjadi tawar jika pemiliknya tidak dalam kondisi sehat. Secara khusus, Nabi menyebut kondisi mental yang bahagia sebagai kenikmatan. Di samping kebahagiaan, penunjuk mental sehat yang paling mendasar adalah perasaan aman dan tenang. Rasa aman adalah pangkal dari kebebasan berbagai aspek diri. Rasulullah SAW pernah bersabda, Siapa yang menyongsong pagi hari dengan perasaan aman di tengah keluarganya, sehat jasmaninya, terpenuhi kebutuhan makan untuk harinya, maka seakan-akan dunia telah dikumpulkan untuknya (HR. Tirmidzi).

Nabi menunjukkan pada kita, bahwa rasa batin yang aman, tenang, sehat badan, serta makan yang tercukupi adalah kombinasi nikmat paling utama yang menjadi kebutuhan prinsip seorang manusia. Ketika kebutuhan seseorang terpenuhi, dirinya pun menjadi utuh. Nabi menggambarkan seseorang yang menyongsong awal harinya dengan karunia-karunia itu sebagai orang yang berkecupan, sebab dunia seluruhnya telah ada di genggamannya.

Mental bersangkutan erat dengan watak batin. Rasa aman dan tenang adalah kebutuhan batin yang paling dicari. Kita bisa leluasa melakukan berbagai hal selagi keamanan serta ketenteraman tersedia. Perasaan tersebut bisa datang dari mental yang stabil dan sehat.  Kondisi mental yang tak baik akan berpengaruh terhadap perasaan seseorang, seperti munculnya rasa sedih, tertekan, iri, cemas, rendah diri, dan semisalnya. Namun demikian, bahaya dari pembiaran atas kesehatan mental belum mendapat perhatian yang cukup dari berbagai pihak.

Menurut data World Federation of Mental Health (WFMH) yang dikutip oleh laman health.detik.com (9/10/2022), negara-negara berpenghasilan tinggi melaporkan bahwa lebih dari 75 persen penduduknya yang mengidap depresi tidak mendapat perawatan yang memadai. Lebih parahnya, dengan prosentase yang sama, negara-negara dengan penghasilan menengah dan rendah bahan tidak memberikan pengobatan sama sekali kepada penduduknya yang mengalami gangguan mental.

Baca Juga  Demokrasi di Indonesia itu Islami

Banyak hal yang bisa mempengaruhi kondisi mental seseorang. Kondisi keluarga yang tidak harmonis, lingkungan pertemanan atau kerja yang penuh tekanan, kesulitan ekonomi, hingga arus media sosial yang dipenuhi sampah informasi yang mengaburkan cara pandang adalah beberapa faktor yang bisa memicu permasalahan mental. Selain itu, budaya dan stigma yang berkembang di masyarakat kian mempersulit seseorang yang mengidap gangguan mental untuk mendapat penanganan yang semestinya. 

Di tengah kita masih kuat stigma bahwa orang yang mendatangi psikolog atau psikiater adalah seorang yang gila. Budaya kita masih menempatkan laki-laki harus tampak selalu kuat dan tak wajar jika menangis. Tak sedikit orang tua yang memaksakan tuntutan pada anak, membanding-bandingkan mereka dengan pencapaian anak lain. Juga maraknya tuduhan krisis religiusitas pada orang yang mengalami tekanan mental. Agama memang bisa menjadi pegangan dan jalan untuk mencapai ketenangan batin. Namun tidak tepat menjadikan level spiritualitas sebagai alat untuk menghakimi seseorang dengan persoalan mental. Empat hal tersebut adalah sepenggal fenomena yang menghalangi budaya sadar sehat mental, bahkan bisa menebalkan luka batin seseorang yang sudah terlilit sakit.

Orang dengan mental sehat mampu menjaga keselarasan dan kerja sama yang kompak antara batin, perasaan, pikiran, keyakinan, serta kondisi. Mental sehat pun berkaitan erat dengan cara pandang seseorang menghadapi suatu masalah. Dari sabda Nabi yang lain kita bisa menarik teknik agar terjauh dari rasa iri dan tidak bersyukur. Beliau berkata, Lihatlah orang yang berada di bawahmu dan jangan melihat orang berada di atasmu, karena yang demikian itu lebih patut, agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepadamu (HR. Bukhari dan Muslim). Ini adalah konsep besar agar kita tetap pada poros syukur di tengah tampilan kehidupan yang sering kali memancing rasa iri dengki dan serakah.

Saat tertimpa musibah atau masalah, umumnya orang akan merespons dengan rasa sedih, marah, bahkan depresi. Lagi-lagi kita bisa belajar dari sabda Nabi yang bahkan merupakan hadis qudsi. Kita diajarkan mengelola emosi, agar selalu menempatkan persangkaan baik (positive thinking) sebagai prioritas respons segala kejadian. Aku bersama prasangka hamba-Ku (HR. Bukhari dan Muslim). Sederhananya, apa yang kita pikirkan adalah magnet yang akan menarik ketentuan atas diri kita kemudian. Orang yang senantiasa mencari celah positif akan mendapat buah kebijaksanaan dari tiap kejadian.

Mental berkait kelindan dengan batin, cara berperasaan dan berpikir. Ketiganya adalah hal yang tak kasatmata, sehingga gejala sakitnya pun tidak mudah terindra. Jangan anggap remeh orang yang mengidap gangguan mental. Mereka butuh rangkulan, bukan stigma atau peminggiran. Rasulullah tidak hanya mengajarkan pola hidup sehat secara fisik, namun juga meninggalkan berbagai legasi konseptual agar batin dan mental kita terjaga kesejahteraannya. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.