Mengikis Narasi Kultus dalam Kultur Pesantren

KolomMengikis Narasi Kultus dalam Kultur Pesantren

Membaca kultur pesantren tak ubahnya menelaah sketsa yang mapan. Lembaga pendidikan keagamaan tersebut telah menjadi bagian paten dan menyejarah dalam kebudayaan Tanah Air. Tidak hanya menyebarkan ajaran dan nilai-nilai keislaman di ruang kelas atau peran-peran akademis semisalnya, pesantren pun menempati posisi kontributif di tengah masyarakat umum, sebagai muara aduan berbagai persoalan yang direpresentasikan dalam figur seorang kiai. Posisi tawar pesantren yang kuat, baik di kalangan internal-lembaga maupun eksternal-sosial pada satu titik membentuk celah kerangka kultus yang mesti digarisbawahi dan otokritik harus berani dilakukan.

Alotnya proses penangkapan anak kiai di Jawa Timur yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus pelecehan seksual beberapa waktu lalu, menyuguhkan secarik contoh dari karakter perilaku kultus dalam arena budaya pesantren. Lebih dari 300 orang simpatisan bahkan diamankan polisi karena menghalang-halangi operasi penangkapan tersangka, di mana lima orang di antaranya pun ditetapkan sebagai tersangka. Fakta bahwa putra mahkota sang kiai itu merupakan tersangka bahkan DPO kasus pidana, rupanya tidak menjadi bagian dari pertimbangan sikap mereka. Terancam kurungan pun tak perkara demi ia yang dihormati dan dipercaya, sekalipun hukum resmi mencatat anak pimpinan pesantren itu adalah tersangka.

Kiai bukan gelar akademis yang ditetapkan institusi pendidikan, melainkan suatu kesaksian masyarakat terhadap sosok individu yang biasanya menampilkan kapasitas penguasaan keilmuan agama, kualitas moral yang adiluhung, pengabdian di tengah lingkungannya, serta genealogi keluarga yang dihormati. Fitur ilmu dan amal saleh tersebut yang membuahkan beragam ekspresi simpati masyarakat. Antara lain, pertama, sikap setia dan mendermakan diri untuk berkhidmah pada seorang kiai sekaligus keluarganya. Kedua, yakin dan percaya pada hampir semua tentang apa yang datang dari figur kiai. Ketiga, perilaku hormat pada kiai dan elemennya sebab jasa-jasa mereka.

Di titik tertentu, simpati masyarakat itu membawa gejala negatif berupa kultus atau penghormatan berlebih bahkan hampir menyentuh narasi bahwa seorang kiai atau pemuka agama mustahil berbuat keliru. Asumsi ini pula yang rasanya menjadi kelambu nalar simpatisan pembela tadi. Apa yang disampaikan seorang figur kiai cenderung diterima secara dogmatis, terfokus, yang kemudian membentuk perilaku kultus. Di antara bentuk perilaku kultus adalah pemusatan ketaatan pada seorang sosok kharismatik dengan gaya kepatuhan yang relatif eksesif. Sikap demikian boleh jadi tak terlalu menonjol dalam keseharian, melainkan menjadi begitu nyata ketika figur yang dihormati itu dianggap terancam.

Secara historis, terma kultus tradisional mewakili aktivitas ritual peribadatan (form of worship) individu maupun kelompok sebagai wujud ketaatan pada norma untuk meraih suatu tujuan, sebagaimana ditulis M. Syamsul Huda (2011). Di masyarakat Amerika, gejala kultus demikian berangsur menjadi sekte-sekte keagamaan. Dalam konteks masyarakat Barat ini, secara umum kultus muncul karena krisis moral dan nilai sebagai dampak dari proses industrialisasi yang kuat di sana. Dengan kata lain, kultus di Barat adalah umpan balik dari kondisi kejiwaan masyarakat yang rindu pada panorama teologis yang dibutuhkan spiritual mereka. Selain juga didorong persoalan sosial lain seperti kemelut ekonomi, budaya, hingga etika.

Sementara itu, sketsa kultus dalam tradisi pesantren lebih terlihat sebagai hasil dari rasa percaya penuh terhadap sosok yang berwawasan mendalam atas ajaran agama sekaligus berjasa besar terhadap orang-orang sekitarnya. Para pemuka agama, utamanya kiai yang mengasuh pesantren kerap dipandang sebagai pribadi unggul, yang mengerti isyarat-isyarat ilahiah sekaligus rahasia kosmos. Sebuah kondisi yang memberikan kedudukan tinggi bagi kiai dalam struktur masyarakat.

Baca Juga  Cara Mengikuti Mazhab Fikih

Secara substantif, faktor menonjol yang membentuk kultus di pesantren hadir dari unsur neosis (unsur dalam subyek), seperti diistilahkan Thedoe De Boer dalam The Development of Husserl Thought, yang dikutip oleh M. Syamsul Huda (2011). Unsur neosis ini merujuk pada sikap santri atau masyarakat secara lebih luas, yang meliputi kerangka berpikir serta psiko-religi mereka.

Seorang pemuka agama, kiai, dipandang sebagai panutan dan pemimpin umat. Rasa hormat serta kagum kepada mereka, menghasilkan apresiasi psiko-religi santri dan masyarakat yang bertumpu pada keyakinan bahwa kualitas iman dan takwa seseorang itu diukur dari kedalaman ilmu sepaket dengan akhlak yang ditampilkannya. Sebab itu, masyarakat menaruh kepercayaan pada kiai dan pesantren untuk mendidik putra-putri mereka.

Dalam persepsi ideal yang tumbuh di pesantren, kecerdasan santri dan proses belajar mengajar formal bukan semata-mata faktor yang akan menghasilkan ilmu. Ada faktor-faktor non-akademis yang dinilai akan membawa keberkahan dan manfaat ilmu, yakni penghormatan dan pelayanan terhadap guru. Pendek kata, ketika mengharap ilmu yang bermanfaat, maka perkenan, izin, ridha kiai mesti didapat. Posisi tawar demikian agaknya kemudian membentuk celah yang menjadi sumber kultus terhadap kiai dalam kultur pesantren.

Artikulasi pemahaman tentang ridha, secara psikologis sedikit banyak membagi perhatian santri dan mengarahkan sensitivitasnya pada bagaimana ia mendapat perasaan melegakan yang diperoleh dari kerelaan kiai itu sendiri. Hal ini pun berimbas pada sikap dan cara berpikir santri yang memilih serba patuh, sami’na wa atha’na, pasif, tak ada tradisi bertanya apalagi mengkritisi, demi meraih ridha kiai. Sistem pembelajaran di pesantren yang cenderung satu arah, di mana guru menjadi figur sentral juga memiliki andil dalam kerangka pemikiran santri. Kerangka pikir ini juga menjadi embrio sikap kultus dalam lingkungan pesantren.

Menghormati guru, mengupayakan ridha kiai, hingga mengharap berkah dari mereka tentu tidak keliru. Kesemuanya adalah tradisi saleh yang menghidupi sistem keyakinan masyarakat. Namun pada seluruh hal itu, radar nalar kritis mesti tetap hidup. Sikap kritis meminta kita untuk memberi jeda diri manakala menerima informasi maupun mendapati suatu kondisi. Masa henti sejenak itu adalah waktu kita untuk berpikir, mempertanyakan, hingga melakukan konfirmasi atas apapun yang ditangkap pikiran.

Sikap kritis adalah penangkal sikap dogma, kultus, dan keterpesonaan mutlak pada suatu hal atau figur tertentu. Jika saja sedikit mengurai pikiran, lima orang simpatisan pembela anak kiai di Jawa Timur itu tak akan bernasib sama menjadi tersangka seperti sosok yang dibelanya. Betapapun mereka percaya dan menaruh hormat, semestinya lebih sadar etika untuk menghormati proses hukum. Sikap mereka muncul dari kecenderungan unsur kejiwaan, maka yang terlihat adalah perilaku emosional, alih-alih rasional.

Kerangka kultus adalah patologi pikiran yang menghambat dan merusak banyak batas wajar. Mengelola rasa hormat, simpati, dan percaya pada pemuka agama agar tak terlempar pada jurang kultus adalah cara mulia seorang yang beragama. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.