Islam Menjaga Hak Pekerja

KhazanahIslam Menjaga Hak Pekerja

Buruh adalah kaum rentan tertindas. Istilah budak korporat yang kerap diucap masyarakat, memberi ilustrasi pendahuluan bagaimana umumnya relasi yang terjalin antara pengusaha dan pekerjanya. Sebuah struktur hierarkis yang mengarah pada perilaku seenaknya kepada kaum pekerja karena sistem ekonomi kapitalis yang dominan saat ini. Perjuangan kaum buruh dari masa ke masa adalah respons wajar atas hak-hak mereka sebagai pekerja yang dipenggal pemodal.

Dalam kaitannya dengan kerja-kerja ekonomi, Islam berangkat dari kesadaran etis-spiritual. Menempuh jalan tengah antara sistem kapitalis dan sosialis. Sosialisme adalah suatu paham ekonomi yang sangat membatasi kepemilikan individu, hingga nampak memusuhi kalangan borjuis. Sedangkan ekonomi kapitalis begitu mengagungkan kepemilikan individu. Sistem ini memasang klasifikasi kelas, di mana ada pekerja dan pemberi kerja (pemodal). Pekerja dilihat sebagai faktor atau alat produksi semata yang secara otomatis menghasilkan relasi yang timpang. Unsur manusia dari buruh pun hilang karena ia hanya dipandang sebagai alat, bebas dieksploitasi dan diperlakukan bukan selayaknya manusia.

Kerahmatan Islam juga menyentuh aspek ekonomi. Sabda-sabda pembelaan Rasulullah kepada kaum buruh tersampaikan dalam banyak narasi. Bagaimana tidak, misi profetik Nabi sendiri adalah melawan para elite Mekkah yang eksploitatif. Secara sosiologis Mekkah di masa itu dikuasai kapitalisme Quraisy. Praktik monopoli pasar dilakukan oleh para pebisnis Quraisy menyebabkan kezaliman sosio-ekonomi kian kentara. Islam, dengan Muhammad SAW sebagai tokohnya merupakan gerakan pembebasan yang secara terbuka melawan kapitalisme purba elite Quraisy.

Islam memasang ukuran jelas dalam memandang buruh. Kaum pekerja dilihat Islam secara murni sebagai manusia, sesama makhluk Allah yang bersaudara, memiliki kehormatan asasi yang setara. Tidak ada stratifikasi sosial yang membedakan antara pekerja dan pemodal. Buruh bukan alat produksi. Dalam riwayat Imam Ahmad ditegaskan, bahwa Rasulullah SAW bersabda, Para pekerja adalah saudaramu yang dikuasakan Allah kepadamu. Maka barang siapa mempunyai pekerja hendaklah diberi makanan sebagaimana ia makan, diberi pakaian sebagaimana yang ia pakai, dan jangan dipaksa melakukan sesuatu yang tidak ia mampu.

Kita diperlihatkan, bagaimana pemodal dan pekerja diikat jalinan persaudaraan ilahiah. Pekerja wajib dimuliakan dan dijamin fasilitasnya. Dalam konteks hari ini, persoalan pemaksaaan kemampuan kerja bisa dilihat persoalan jam kerja buruh yang sering di luar wajar yang kerap disorot. Sedangkan perintah pemenuhan makanan dan pakaian menunjukkan pentingnya memenuhi hak-hak dasar buruh terkait kebutuhan pribadinya, seperti jaminan keamanan, kesehatan, hak cuti melahirkan, cuti datang bulan, hingga hak memperoleh tunjangan.

Yang paling kerap menjadi tuntutan adalah upah yang layak. Islam mengatur jelas bagaimana semestinya buruh mendapat gaji. Penundaan atau pemberian gaji yang tak sesuai kepada pekerja yang selama ini dilakukan sejumlah perusahaan mendapat suara keras dari Islam.  Nabi bersabda, Ada tiga orang yang akan menjadi musuh-Ku pada hari kiamat: …Orang yang mempekerjakan seorang buruh, si buruh memenuhi tugasnya namun dia tidak diberi upah (yang sesuai) (HR. Bukhari dan Ibnu Majah).

Baca Juga  Habib Husein Ja’far: Popularitas Ujian bagi Pendakwah

Jangankan memberi gaji di bawah kewajiban, terlambat mengupah pekerja pun dijerat dengan pasal tersendiri dalam Islam. Perintah membayar upah pekerja sebelum keringatnya kering adalah instruksi untuk tepat waktu atau bersegera membayar gaji setelah kewajiban kerjanya usai. Seorang yang menunda kewajiban, Nabi mengatakan bahwa ia halal kehormatannya dan pantas dihukum. Artinya, kita berhak mengabarkan, melaporkan para pengusaha zalim yang melalaikan kewajibannya sebagai bentuk advokasi pada kaum pekerja yang dicurangi. Biarkan khalayak tahu atas borok kezalimannya.

Bekerja selain upaya diri memenuhi kebutuhan hidup, juga merupakan aktualisasi diri. Dengan kerja, manusia berarti merealisasikan dirinya sebagai manusia utuh dan hamba yang bertanggung jawab atas sumber daya yang mesti dikelola. Dengan demikian, kembali tak boleh ada unsur pemaksaan dalam kerja. Pemberian beban kerja mesti disesuaikan dengan kemampuan yang bersangkutan. Beban ganda (double burden) akan menimbulkan ekses yang sedemikian rupa. Etika penyesuaian beban ini dicontohkan al-Quran melalui kisah Nabi Musa yang bekerja di kediaman Nabi Syu’aib, tercantum dalam surat al-Qashash [28] ayat 27.

Di luar itu semua, Islam juga menjelaskan bagaimana kewajiban seorang pekerja. Sebagai wujud komitmen keadilan yang digigit kuat ajaran Islam. Kaum buruh pun memiliki kewajiban moral yang mesti ditunaikan. Dalam sabdanya Nabi menjelaskan, Tidak masuk surga orang pelit, penipu, pengkhianat, dan orang yang jelek pelayanannya terhadap majikan. Sedangkan orang yang pertama kali mengetuk pintu surga adalah para buruh yang baik terhadap sesamanya, taat kepada Allah, dan kepada majikannya (HR. Ahmad). Tugas pekerja jelas, mengupayakan pelayanan terbaik. Dalam hal ini Islam mengajarkan dedikasi dalam bekerja atas dasar tanggung jawab. Memberikan servis terbaik adalah suatu kehormatan diri.

Dalam beberapa hari terakhir, berita tentang karyawan Holywings yang ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka kasus promo minuman miras tengah ramai diperbincangkan. Banyak yang melihatnya sebagai upaya cuci tangan pihak manajemen atau jajarannya yang lebih tinggi. Pekerja lapis bawah yang hanya menjalankan perintah atasan pun berakhir sebagai tumbal perusahaan. Kasus ini memperlihatkan minimnya jaminan perlindungan dan keamanan yang mestinya menjadi hak pekerja.

Kesetaraan ontologis antara pekerja dan pemodal selaku manusia utuh, berimplikasi pada kewajiban untuk saling memperlakukan baik satu sama lain. Prinsip ekonomi Islam berpijak pada jalan keadilan dalam tujuan mencapai kesejahteraan sosial. Sebab itu, kerja sama ekonomi harus dibangun atas prinsip mutualisme, kemitraan, keadilan, pemenuhan hak dan kewajiban seluruh pihak yang terlibat. Manusia dalam masyarakat disatukan untuk saling menjaga dan bertanggung jawab bersama atas kepentingan sosial. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.