Benih radikalisme makin berkembang subur di jagat media sosial. Paham radikal yang beroperasi di kancah teknologi digital melaju dengan cepat dan pesat. Sebagaimana website khilafatulmuslimin.net yang secara gamblang menulis jargon di halaman depannya “Mari Bersatu Dalam Sistem Khilafah,” narasi tersebut sengaja ditampilkan sebagai bukti perlawanan terhadap sistem pemerintahan sah sekaligus ditujukan kepada kelompok yang memiliki pandangan yang sama tentang khilafah seolah-olah mendapat sekutu baru, hal ini tentu memudahkan mereka untuk bergabung dalam suatu komunitas yang sepadan.
Transisi pergerakan radikalisme berkembang sesuai kemajuan zamannya. Sebelum merambah pada media digital, mulanya radikalisme melakukan perekrutan dari satu tempat ke tempat lain. Seperti dilingkungan kampus, masjid, atau tempat lain yang sekiranya memang memungkinkan terjadinya perekrutan. Di samping itu, mereka juga melakukan teror dengan menyebarkan buku-buku bernuansa Islam radikal atau panduan materi jihad melawan orang-orang non Muslim di sejumlah penerbit. Teror melalui penerbit buku ini mulai tren usai peristiwa bom Bali I tahun 2002 berlanjut sampai tahun 2009.
Kemudian, ketika tahap perekrutan sudah terjadi, keberadaan anggota yang terlibat dibuat eksklusif dan terpisah dari lingkungan sosialnya. Entah dari mana asalnya, secara tak terduga mereka yang muncul ke permukaan lantas melakukan aksi terornya. Sebagaimana insiden penyerangan yang terjadi di wilayah Ploso dan Ambon, rumah ibadah Masjid di Cirebon, dan di gereja di Solo.
Seiring kemajuan teknologi digital, gerakan radikalisme membangun formulasi baru untuk melancarkan aksi-aksinya melalui pembuatan konten digital. Pada konten media sosial tersebut, narasi kebencian, propaganda, perang jihadis terus diorganisir agar dapat tersebar ke berbagai media. Formasi kaum radikalis terus mengalami perubahan menyesuaikan perkembangan zamannya. Kesadaran mereka akan teknologi, mempermudah kinerja mereka untuk memengaruhi warganet terkait radikalisme, khususnya generasi muda yang tertarik dengan konten-konten hijrah.
Menurut penelitian Gabriel Weimann, kalangan radikal kian agresif dan produktif dalam menguasai jagat media. Setiap tahunnya ada peningkatan signifikan dari jumlah akun pengelolaan kelompok radikal. Jika pada tahun 1998, ditemukan 12 situs, maka pada tahun 2003 mencapai 2.650, pada tahun 2014, situs mereka bertambah menjadi 9.800, dan pada tahun kini tak terhitung jumlahnya.
Berdasarkan data tersebut, pekerjaan untuk mengedukasi masyarakat digital sekaligus memberantas akun-website yang menyemai benih-benih radikal menjadi PR bersama. Masyarakat yang teredukasi dengan baik, sepatutnya tidak terpengaruh oleh ajakan yang tidak masuk akal. Mereka menawarkan khilafah sebagai dalih sistem negara sah dalam Islam. Padahal, para cendekiawan sudah menelusuri tidak ada sistem yang pasti dalam Islam untuk menjalankan pemerintahan, jadi yang diucapkannya bukan sesuatu yang valid, apalagi wajib diikuti.
Agama bagi mereka adalah alat. Alat itu digunakan untuk membingkai strategi mereka yang memiliki tujuan lain, bahkan tak ada kaitannya dengan agama. Para intelektual sudah memberikan penjelasan secara gamblang, bahwa kebijakan dalam sistem khilafah yang didirikan pada era modern kini dan tidak tepat dengan kultur masyarakat Indonesia.
Indonesia itu didirikan oleh para pahlawan yang memahami agama. Mereka meletakkan norma-norma agama sebagai asas negara, meski tak tersebut secara langsung sebagaimana yang tercantum dalam Piagam Jakarta. Namun, nilai-nilai Pancasila yang menjadi ideologi negara sudah sejalan dengan nafas ajaran Islam. Ini yang dinamakan Islam substantif.
Demikian kalangan radikal harusnya memahami agama bukan sekadar dari simbol, melainkan juga nilai-nilai yang satu nafas dengan Islam. Meminjam filsafat Bung Hatta, “Janganlah gunakan filsafat gincu, tampak tetapi tak terasa; pakailah filsafat garam, tak tampak tapi terasa.” Jika Islam hanya digunakan dalam simbol, tetapi secara norma tidak dipraktikkan, justru simbol tersebut akan mendistorsi keberadaan ajaran itu sendiri. Maka dari itu, dewasa kini penting menekankan ajaran yang substantif, sebab apa-apa yang tampak dipermukaan belum tentu baik di dalamnya.
Islam tidak mengajarkan umatnya berperang dalam situasi damai. Ajakan berjihad kepada non Muslim atau memerangi yang tidak mengajak berperang bagian dari perbuatan zalim. Beberapa ayat tentang jihad disalahpahami untuk memperoleh surga atau gelar syahid. Berikut adalah ayat jihad yang menjadi dalih bagi kaum radikal untuk melakukan peperangan.
Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama. (ikutilah) agama nenek moyangmu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamakan kamu orang-orang muslim sejak dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-Quran) ini agar rasul (Muhammad) itu menjadi saksi atas dirimu dan agar kamu menjadi saksi atas segenap manusia. (QS. Al-Hajj ayat 78).
Kendati ayat di atas menekankan kata agar “jihad yang sebenar-benarnya”, akan tetapi tidak mengatakan berjihad harus dengan berperang melawan musuh. Tatkala dalam Perang Badar umat Muslim bersorak-sorai atas kemenangan melawan kafir Quraisy yang jumlahnya berkali lipat lebih banyak, ketimbang tentara Muslim. Di sini Rasulullah SAW justru mengingatkan, bahwa ada hal yang lebih besar dalam berjihad selain berperang, yakni jihad melawan hawa nafsu (HR. Al-Baihaqi dalam Az-Zuhd No. 384).
Jika Rasulullah SAW mengatakan jihad yang besar adalah hawa nafsu, maka ini arti dari jihad yang sebenarnya. Demikian Rasulullah sudah memprediksikan dengan ilmu nubuwah-nya mengenai jihad di masa kini. Betapapun zaman akan berubah, jihad bukan lagi menyerupai perang, tetapi melawan hawa nafsu. Aksi peperangan hanya kemungkinan dapat dilakukan bagi mereka yang masih dalam tekanan para kolonial atau Apartheid, misal Palestina yang dijajah oleh Israel.
Media sosial itu memiliki banyak manfaat untuk mengasah kualitas diri. Tak usah pedulikan jika dalam media sosial ditemukan ajakan untuk gabung menyerang, menghujat satu sama lain, justru laporkan pada pihak Kominfo pemerintah karena akun atau website seperti ini dapat mengganggu ketertiban publik. Orang-orang radikal itu senantiasa menggunakan ajaran Islam sebagai alat untuk membenci, hanya berpihak pada satu kelompok, dan bersikap keras pada hal-hal yang dinilai berseberangan dengan ideologi mereka.
Media sosial kini menjadi medan peperangan antar ideologi. Itu sebabnya, mari kita lebih bisa bersaing lagi dengan membuat dan memasifkan konten media sosial dengan ajaran Islam yang ramah, mencerahkan, dan mencerdaskan.