Mengenang Figur Kebinekaan Buya Syafii

KhazanahMengenang Figur Kebinekaan Buya Syafii

Kabar wafatnya Ahmad Syafii Maarif pada hari Jumat, 27 Mei 2022 di RS PKU Muhammadiyah Gamping masih menyimpan duka hingga kini. Cendekiawan dan ulama pengayom bangsa ini telah menghembuskan nafas terakhirnya dengan meninggalkan jejak sebagai figur kebinekaannya bagi bangsa Indonesia.

Buya Syafii sapaan akrab Ahmad Syafii Maarif tutup usia pada umur 86 tahun atau lima hari sebelum hari lahirnya 31 Mei. Awal ketokohannya diwarnai dengan pemikiran fundamentalis yang sangat mendukung berdirinya negara Islam. Sampai pada waktu mempertemuannya dengan seorang dosen asal Pakistan, Fazlur Rahman saat menempuh pendidikan di Chicago ada hal kontras yang kemudian mengubah pemikiran sebelumnya secara signifikan terkait Islamic State.

Pemikiran Buya Syafii yang syariat oriented sangat dipengaruhi oleh pemikiran Maududi tentang Khalifah, teori kedaulatan Tuhan, dan sistem pemerintahan berdasarkan syariah. Oleh karena itu, di Athena aktif bergabung dengan komunitas MSA (Muslim Student’s Association). Pengaruh lainnya juga didapat dari M. Natsir yang tidak dapat memisahkan agama. Dengan begitu, jelas sistem pemerintahan yang dimaksudnya adalah Islam.

Namun, semua yang pernah dilalui Buya Syafii itu tidak lain hanya bagian dari proses pencarian kebenaran. Setelah menyelami lebih dalam tentang esensi Islam dan bagaimana Nabi Muhammad SAW memimpin tanpa menyebutkan embel-embel agama dalam Piagam Madinah meski secara praktiknya nilai-nilai Islam itu melekat dalam kepemimpinannya. Ini justru yang harus dipahami lebih dalam bagaimana Islam tidak dijadikan tameng kekuasaan.

Kesalahpahaman juga tersemat pada Buya Syafii atas ketidaksetujuannya pada pemberlakuan syariat Islam pada Piagam Jakarta. Sebenarnya, bukan tentang syariat Islam yang tidak disepakatinya, melainkan penggunaan kalimat tersebut dalam dasar negara sangat eksklusif. Indonesia yang penduduknya beragam agama, suku, ras, dan budaya membutuhkan landasan norma dan payung hukum yang lebih universal tanpa harus menspesifikasi suatu agama.

Terlebih, beberapa contoh negara yang menggunakan label syariat oriented ditengarai kurang berhasil mempertahankan sebuah negara yang baik. Sebut saja misalnya, Syiria, Afghanistan, Lebanon, dan negara Islam lainnya saat ini stabilitas negaranya terancam dan porak-poranda. Oleh sebab itu, Buya Syafii meletakkan Islam sebagai substansi yang memiliki tujuan yang sama dalam menjunjung tinggi nilai, keadilan, kesejahteraan, dan musyawarah sebagaimana yang tersebut dalam al-Quran.

Baca Juga  Khilafatul Muslimin, Sebuah Replikasi HTI

Menyoal Islam substantif, Buya Syafii meminjam ungkapan Bung Hatta tentang filsafat garam dan gincu. “Janganlah gunakan filsafat gincu, tampak tetapi tak terasa; pakailah filsafat garam, tak tampak tapi terasa.” Hal ini mengilustrasikan bagaimana kala itu banyak umat Islam yang lantang berteriak Allahu Akbar, akan tetapi perbuatannya merusak dan penuh hujatan. Esensi Islam kian luntur seiring besarnya simbol-simbol keagamaan.

Dalam Jurnal Manthiq: Hubungan Islam dan Negara dalam Pandangan Syafii Maarif (2018), setelah mengkaji kultur Indonesia sampai saat ini tidak ada konsep lain yang tepat secara rasional dapat mengukuhkan persatuan dan keutuhan bangsa, kecuali lima dasar Pancasila. Jika dipahami secara benar, maka tiap-tiap sila tidak ada yang berbenturan dengan teologi Islam.  Maka dari itu, tidak bisa dipungkiri apa yang disepakati oleh para pendiri bangsa tentang Pancasila menunjukkan eksistensinya sebagai dasar negara kokoh dan universal.

Bahkan, beberapa negara Timur Tengah saat ini sudah mulai banyak yang mengapresiasi eksistensi Pancasila yang menjunjung tinggi nilai Kebinekaan. Bangsa yang bernegara harus memiliki satu rasa, satu jiwa, kendati ada banyak perbedaan. Lagi pula kritik Buya Syafii, persoalan mendasar yang dihadapi bangsa Indonesia, yakni carut-marut akan ketimpangan ekonomi, pengangguran yang tinggi, dan pendidikan yang rendah. Persoalan seperti ini, tidak bisa diselesaikan dengan adanya formalisasi syariat Islam, sehingga tidak cukup baik dibaca oleh kelompok radikal, terlebih dengan pendekatan legal-formal yang eksklusif.

Figur kebinekaan yang masif disemarakkan Buya Syafii bertujuan untuk kemaslahatan bersama. Kebinkeaan adalah rahmat Tuhan yang diberikan kepada umat manusia. Walhasil, kendati Islam tidak dijadikan sebagai dasar negara, sedikitpun tidak mengurangi wibawa agama itu sendiri. Selagi umat Islam mengamalkan norma-norma ajaran al-Quran, melalui kecintaan terhadap Tanah Air dan kepentingan bersama, bangsa ini menjadi lebih berdaya dan unggul dengan kebinekaan yang dimilikinya.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.