Fakhruddin Faiz: Tahapan Berpikir Religius

BeritaFakhruddin Faiz: Tahapan Berpikir Religius

Saat dihadapkan dengan sebuah peristiwa, sikap menunjukkan cara berpikir seseorang. Jika orang tersebut memiliki pemikiran religiusitas, maka peristiwa yang dialaminya dilandaskan pada Allah SWT untuk menguji hambanya. Ada tata cara hidup yang mana selalu dikaitkan, bagaimana agama mengajarkan, maka seperti itulah ia akan menanggapinya. Meski begitu, tak semua orang yang terlihat religius mampu menampilkan sikap keberagamaan yang baik, karena kedalaman pengetahuan dan pengalaman spiritual juga menentukan karakter seseorang.

Menurut Fakhruddin Faiz dalam Ngaji Filsafat edisi 320 Berpikir Religius, semua orang memang berpikir, tetapi pemikiran memiliki pola sesuai apa yang diyakininya. Baginya, berpikir religius adalah suatu Tindakan berpikir yang dilakukan oleh seorang dalam menyikapi segala sesuatu yang terjadi pada dirinya maupun di luar dirinya dengan menggunakan parameter norma atau ajaran agama yang dianutnya.

“Berpikir religius ini dasarnya memang keimanan, tetapi keimanan yang aktif, bukan pasif. Tidak sekadar beragama dan percaya, melainkan bisa mengoperasikan keimanan itu dalam tata cara kita hidup menghadapi problema kehidupan sehari-hari,” ungkapnya.

Orang yang berkomitmen pada agama, mau tidak mau pertimbangan-petimbangan agama logikanya ikut bermain dalam mengambil keputusan hidupnya. Ini wajar, konsekuensi sebagai manusia dewasa yang bertanggung jawab warna hidup kita harus sesuai pilihan religiusitasnya.

Lebih lanjut Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menjelaskan, bahwa kesadaran beragama ditempuh melalui empat level, yaitu formalistik, intelektualistik, mistik, dan profetik. “Kesadaran formalistik itu fokus pada apa yang harus dijalankan dan apa yang harus dijauhi. Fokusnya hanya pada mematuhi apa yang harus dijalankan dan dilarang. Ini aspek formal ajaran,” ujarnya.

Memiliki kesadaran formalistik itu memang harus, justru akan dipertanyakan keberagamaannya jika tidak memiliki prinsip taqwa. Namun, berhenti pada formalitas ajaran nanti akan muncul kesulitan-kesulitan saat ada hal lain di luar ajaran yang membuat kekakuan-kekakuan berpikir.

Kedua, aspek intelektualistik. Dengan intelektualitas seorang beragama secara sadar mengetahui dasar, dalil, dan argumennya. Pengetahuan ini menumbuhkan kesadaran akan hikmah di balik suatu peristiwa, lantas membuat keberagamaan seseorang kian dewasa dan kokoh cara beragama pun lebih rileks dan fleksibel. “Orang yang memiliki intelektualitas, ia mau melibatkan dirinya, karena memahami apa alasan ia melakukan dan menjauhi ajaran tersebut,” ungkapnya.  

Baca Juga  Menekuni Amal Ibadah Masing-Masing

Ketiga, kesadaran beragama pada level mistik. Pada level ini, seseorang tidak mencukupkan dirinya beragama secara formal, mengetahui dalil, dan argument, melainkan ia menetapkan lebih jauh ajaran agamanya untuk meningkatkan kualitas dirinya, seperti para sufi. “Para sufi itu berusaha seserius mungkin untuk meningkatkan bukan saja pada level mental, tetapi spiritual ruhaniahnya yang lebih tinggi, kualitas akhlak,” jelas penulis Lintasan Perspektif: Ihwal Pemikiran dan Filsafat.

Memerhatikan lebih dalam hubungan antar sesama, kepada Tuhan, alam dan sebagainya. Beragama dengan kesadaran mistik, akal budinya tentu saja digunakan sebagai refleksinya diri. Muhasabah atas kekurangan dan kelebihan apa yang belum dicapai agar bisa lebih dekat dengan Allah SWT.

Terakhir, cara beragama yang lebih tinggi yaitu memiliki kesadaran profetik. Hal ini persis seperti yang dijalankan para Nabi. Setelah melalui fase kedekatan, bahkan melebur dengan Tuhan tercapai, ia tetap tidak merasa itu sebagai puncak akhir pencapaian. Ada tanggung jawab selanjutnya untuk mengajak yang lain untuk melakukan hal yang sama, menyebarkan kebaikan-kebaikan puncak yang sudah dialami kepada orang lain.

“Dalam kalangan tasawuf masyhur sekali saat Rasulullah SAW melakukan mi’raj. Beliau bertemu dengan Allah, bahkan bisa berdialog,” ungkapnya.

Bagi kalangan manapun bertemu Allah SWT merupakan puncak kenikmatan yang dimimpikan umat, bahkan di surga pun demikian. Namun, Nabi Muhammad SAW justru kembali turun ke bumi karena peduli dengan umatnya. dengan begitu, beliau kembali berdakwah kepada kaumnya untuk mengajak kebaikan agar dapat mengalami kenikmatan yang sama atas apa yang telah diperoleh dirinya. Demikian untuk meningkatkan kualitas cara berpikir religius, seseorang harus mengetahui lebih dulu pada level mana kita berada agar menjadi motivasi memperbaiki untuk terus memperbaiki diri.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.