Hakikat Perjalanan

KolomHakikat Perjalanan

Ada yang mendefinisikan hidup sejatinya sebuah perjalanan. Lantas kesamaan apa yang dimiliki keduanya? Barangkali saat menempuh safar seseorang akan menghadapi banyak ujian kesabaran, karena orang yang melakukan safar mudah sekali dihinggapi perasaan gelisah. Para ulama, khususnya kalangan tasawuf banyak yang membahas hakikat safar, yakni dengan memberi panduan berupa tata cara safar, doa-doa, aturan, bekal, adab, bekal, manfaat, dan ujian-ujian dalam safar.

Bepergian bukanlah suatu tujuan tanpa makna, sebabnya motivasi bepergian itu yang menunjukkan apa arti dari safar yang dilakukannya. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, menyebut perjalanan dengan kata safar dan membaginya dalam dua jenis. Pertama perjalanan seseorang dari satu tempat ke tempat yang lain. Safar ini bersifat fisik atau duniawi, seorang bashariyah (manusia), seperti untuk mencari nafkah kehidupan dan sebagainya.

Pada masa nomaden, manusia bertahan hidup dengan terus berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Dengan begitu, perjalanan yang dilakukan manusia untuk mencari duniawi nafkah penghidupan merupakan sesuatu yang niscaya. Tidak semerta-merta dikatakan tidak religius atau anti ukhrawi. Termasuk di antara hikmah melakukan safar seperti yang dikatakan Imam Syafii, “Pergilah meninggalkan tanah kelahiran untuk mencari derajat tinggi, bersafarlah. Karena dalam safar banyak faedah (manfaat), yaitu melapangkan kesusahan hati dan mencari kehidupan, ilmu, adab dan begaul dengan orang yang terpuji.”

Kedua, perjalanan seorang hamba menuju Tuhannya, yang disebut perjalanan spiritual. Setiap safar yang dilakukan seorang salik dalam menempuh perjalanan spiritual menuju Tuhannya dalam proses penyucian jiwa. Di antara safar ruhani tersebut, menuntut ilmu dengan tujuan menambah pengetahuan dan memperbaiki akhlak. Syahdan, safar yang ditujukkan pula pada melihat tanda-tanda kebesaran dan ciptaan Allah, safar untuk beribadah, melarikan diri dari sebab yang merusak agama, menyelamatkan diri dari wabah penyakit, maka ia masuk kategori safar yang bersifat ukhrawi.

Namun, sebagaimana yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a, bahwa Nabi SAW bersabda, perjalanan (safar) itu ialah bagian dari azab yang menghalangi salah seorang di antara kamu dari makan, minum, dan tidur. Ketika telah menunaikan hajatnya segeralah ia kembali kepada keluarganya (HR. Muttafaq ‘alaih).

Pada hadis disebutkan kalau safar itu azab atau sesuatu yang di dalamnya tak lepas dari kesulitan. Terlebih zaman dahulu yang masih terbatas dalam transportasi, fasilitas umum, dan pemukiman warga yang saling berjauhan lantas melewati gurun, padang rumput, hutan yang disertai terik serta badai di perjalanan laut mengundang kegelisahan yang akut.

Kendati menempuh safar saat ini tak sesulit zaman dahulu, tetapi kesukaran itu tetap ada. Habisnya bekal, terkendala dengan kendaraan, macet yang menelan waktu Panjang atau menjumpai situasi yang tidak baik bagian dari kesukaran yang tak terhindarkan ketika safar.  Maka kunci menyikapi situasi tersebut adalah kesabaran. Dengan kesabaran, kegelisahan yang dialami saat perjalanan dapat diredam.

Oleh karena itu, shalat menjadi penting sebagai pengingat Allah akan senantiasa bersama dan melindungi hambanya. Ada keringanan khusus bagi musafir untuk tetap menjaga shalatnya dalam situasi sulit dengan melakukan jama’ qashar.

Rasulullah SAW menganjurkan agar orang yang hendak bersafar melakukan persiapan yang matang dan membaca doa. Dengan nama Allah, aku berserah diri kepada-Nya, Ya Tuhan aku berlindung kepada-Mu agar aku tidak disesatkan dan menyesatkan orang lain, bahwa aku tidak akan tergelincir dan aku tidak akan menggelincirkan orang lain, bahwa aku tidak menzalimi dan tidak dizalimi orang lain, bahwa aku tidak akan membodohi dan dibodohi oleh orang lain.

Disadari atau tidak, orang yang melakukan safar lebih mudah mengambil hikmah, ketimbang dalam kondisi pada umumnya. Menukil dari An-Nufus: Jurnal Kajian Islam, Tasawuf, dan Psikoterapi, menunjukkan hasil survei, bahwa orang yang bersafar mudah mengambil pelajaran terbaiknya, sekalipun dari situasi terburuknya.

Baca Juga  Keawaman tentang Wacana Syariat Islam

Misalnya, salah seorang korban kecelakaan pesawat yang dirawat di rumah sakit mengatakan merasa bersyukur, karena masih bisa selamat, sementara yang lain meninggal. Artinya Allah masih sayang dengan dirinya. Bersosialisasi, berdiskusi, mendapati bantuan dari orang yang baru bertemu ketika safar juga memunculkan perasaan yang tak kalah berkesan. Rintangan yang dihadapi dalam perjalanan menempa mental yang lebih kuat dan adaptif dengan hal-hal tak terduga.

Wajar jika rintangan atau kesulitan yang dialami saat safar signifikan memengaruhi keadaan psikologis musafir. Ujian tersebut dapat membentuk kepribadian yang lebih dewasa dan kreatif. Setiap permasalahan yang muncul, baik dari luar maupun dalam diri musafir secara spontan harus teratasi ketika itu juga, demi kelancaran melanjutkan perjalanan agar sampai pada tujuan. Maka dari itu, safar bisa memicu rangsangan nalar kognitif, afektif, psikomotorik, dan spiritual.

Sebuah pembelajaran yang disertai praktik langsung adalah saat menempuh safar. Tak ayal, jika pengalaman tersebut sangat berharga dan tidak akan mudah dilupakan, hingga sudah menjadi bagian dari keterampilan hidup.

Kedua jenis perjalanan itu sama pentingnya, perlu kesungguhan dan kesabaran agar bisa sampai pada tujuannya. Tidak melakukan safar untuk bermaksiat dan tidak mengindahkan adab-adab. Bagaimanapun saat menempuh safar, seseorang tengah berada dalam tempat yang bukan wilayahnya. Tempat asing tersebut, lazimnya memiliki perbedaan nilai-nilai kebudayaan, yang mana kita harus bisa menghormati dan memaklumi.

Safar yang menjadi sarana meninggalkan hal yang tidak menyenangkan menuju tempat yang lebih menyenangkan ini, memerlukan kewaspadaan akan bahaya yang mungkin terjadi. Perbanyak zikir selama perjalanan untuk mendapat perlindungan Allah, membaca buku untuk mengisi safar dengan kegiatan bermanfaat, berpikiran positif sepanjang jalan, dan menghubungi pihak keluarga saat ada kendala bagian dari hal-hal yang harus diperhatikan musafir saat menempuh perjalanan.

Terlepas dari apa bentuk perjalanannya, kalangan tasawuf menjadikan safar sebagai sarana melembutkan hati dan menundukkan hawa nafsu. Segala musibah yang terjadi di pertengahan jalan, jauh dari hal-hal kenikmatan, perasaan selalu ingin dekat, dan seolah-olah tak ada lagi yang bisa diharapkan selain Allah, justru menambah penghambaan diri terhadap Tuhannya.

Dengan demikian, safar dalam konsep tasawuf yang disebut suluk, ini sebagai hakikat safar. Kendati bentuk fisiknya duniawi, tetapi sebenarnya proses secara kebatinan tetap mengarah pada Tuhan. Membersihkan diri dari sifat tercela dan membentuk kepribadian yang berakhlakul karimah serta terampil menemukan solusi saat menghadapi musibah kehidupan.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.