Keunikan Gus Dur Saat Belajar di Kairo

KhazanahHikmahKeunikan Gus Dur Saat Belajar di Kairo

KH. Abdurrahman Wahid, bapak pluralisme yang akrab disapa Gus Dur, merupakan salah seorang tokoh pemikir Muslim berpengaruh yang menjembatani dunia Islam tradisional dengan kemodernan. Berbarengan dengan para intelektual pembaharu Islam lainnya pada pertengahan abad ke-20, seperti Fazlur Rahman dan Nurcholish Madjid, Gus Dur mewarnai pemikiran Islam selama empat dekade terakhir. 

Buah pemikirannya sebagian besar terdokumentasi rapi dalam karya tulisnya, menyentuh berbagai aspek masalah kemasyarakatan, dan memiliki relevansi universal yang luas untuk menegaskan bahwa pesan humanisme dalam ajaran Islam. Gus Dur memurnikan pemahaman Islam yang dipolitisasi, menentang pemahaman teks agama yang sempit, literalis, dan tidak kontekstual. Gus Dur menuangkan perhatian ke berbagai topik dalam narasi yang kaya, diskursif, dan lucu.

Uniknya, perjalanan intelektual Gus Dur sedikit berbeda dengan pendidikan para intelektual Islam progresif lainnya yang, umumnya, mengenyam pendidikan formal dalam studi-studi keilmuan Islam secara berjenjang. Mulai dari ngaji Islam klasik di pesantren atau madrasah, sampai menyelesaikan program doktor dalam ilmu-ilmu sosial kritis di universitas-universitas besar dunia.

Di masa awal rihlah intelektualnya yang penuh gairah di Mesir, nyatanya, ia menghabiskan sebagian waktunya di cafe untuk berdiskusi membahas politik dan filsafat. Menonton pertandingan sepak bola Prancis, menikmati film, dan yang terpenting, membaca literatur Barat di perpustakaan Universitas Amerika.  Greg Barton memotret kekecewaan berulang yang dihadapi Gus Dur selama masa studinya di al-Azhar Kairo (Abdurrahman Wahid Muslim Democrat, Indonesian President: a View From Inside, h. 83-97)

Bermula saat Gus Dur tiba di Kairo pada tahun 1963, ia ragu melihat gaya pendidikan yang masih kuno di al-Azhar, yang tidak banyak menawarkan hal baru lebih dari apa telah diperolehnya dengan cemerlang di pesantren. Ia tidak puas hanya belajar dengan banyak menghafal. Ditambah lagi, pihak kampus memasukkannya pada kelas ‘perbaikan bahasa Arab’ dari bersama para pemula yang bahkan baru mengenal huruf hijaiyah. 

Hal ini sangat membuatnya kecewa. pasalnya, Gus Dur tidak hanya fasih berbahasa Arab lisan maupun tulisan, tetapi ia telah menghafal seluruh teori gramatikal bahasa Arab sejak bertahun-tahun sebelumnya, dan menguasai kitab-kitab Islam klasik. Jadi, Gus Dur sering bolos dari kelas bahasa Arabnya, bukan karena malas, melainkan karena ia memang tidak perlu repot-repot belajar untuk lulus dengan sempurna pada ujian akhir. Pada akhirnya, pihak kampus mengakui bahwa Gus Dur seharusnya tidak perlu mengikuti kelas pengembangan bahasa.

Baca Juga  Tidak Ada Paksaan dalam Berjilbab

Daripada mengikuti kelas bahasa arab, ia memilih untuk menghabiskan waktu di kedai kopi, berdiskusi, membaca buku, dan menikmati kebebasannya. Ia melahap sastra dari seluruh dunia serta karya-karya tentang filsafat, musik, dan politik. Walhasil, meskipun pengalaman pendidikan formalnya di Al-Azhar agak mengecewakan, namun masa-masa ini memberikannya kebebasan menghabiskan waktu untuk hal-hal yang dianggapnya berarti bagi rasa keingintahuannya yang besar. Kebebasan adalah kemewahan baru yang diperolehnya. Sebab, terlahir dengan garis keturunan istimewa dari ayah dan kakeknya, membuatnya terus menjadi perhatian dan diawasi masyarakat Jawa. 

Tidak puas dengan apa yang ditawarkan di Al-Azhar, Gus Dur pindah ke Universitas Baghdad. Di sana ia belajar sastra Arab dan bekerja sebagai penulis bersama seorang Yahudi Baghdad yang menjadi temannya. Gus Dur juga mengelilingi Irak untuk berziarah ke ratusan makam bersejarah. Ia pulang ke Jawa pada tahun 1970 untuk melanjutkan studi pascasarjana ke Eropa. Gus Dur pergi ke Belanda untuk mendaftarkan diri pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi, tapi sayangnya, ijazahnya ditolak dan studinya di Baghdad tidak diakui.

Namun demikian, meskipun Gus Dur lebih informal daripada banyak rekan-rekan intelektualnya yang lain, tidak ada yang dapat membantah bahwa Gus Dur berhasil menggabungkan keilmuan Islam klasik dengan pemikiran modern kritis. Sebagai penulis yang produktif, Gus Dur menuangkan perhatian ke berbagai topik dalam narasi yang kaya, diskursif, dan lucu. Tulisannya biasanya ditandai dengan cinta kemanusiaan, keadilan, dan keyakinan bahwa Tuhan ada di pihak yang lemah dan tertindas.

Dari sini, kita dapat mengambil pelajaran dari keunikan Gus Dur ketika belajar di Kairo. Faktanya, meskipun materi pelajaran di al-Azhar nampaknya tidak memuaskan Gus Dur, sebab ia sudah menguasai hampir semua literatur Islam klasik yang diajarkan di sana, Gus Dur membuat waktunya dan kedatangannya ke Kairo tidak menjadi sia-sia. Ia tidak pernah tenggelam dalam kekecewaan yang berulang kali datang. Ketika sistem pendidikan di kampus tidak memenuhi ekspektasinya, ia bergerak untuk membuat jalannya sendiri. Dengan demikian, Gus Dur berhasil mengatasi situasinya dengan baik dan mengubah kesulitan menjadi kemudahan. Persis energi dalam kutipan populernya, “gitu aja kok repot!”

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.