Cerdas Hidup dengan Berliterasi

KolomCerdas Hidup dengan Berliterasi

Literasi merupakan pangkal metamorfosa menuju manusia berdaya yang cakap dalam berkehidupan. Tidak saja kemampuan membaca menulis, literasi melibatkan cara-cara memahami dan keterampilan bernalar. Menjadi manusia literat dalam berbagai area akan menyempurnakan mentalitas orang terkait. Sebaliknya, sastrawan kawakan, Taufiq Ismail menuturkan, tanpa tradisi literasi manusia akan hidup dengan batin yang sempit dan kedangkalan imajinasi.

Manusia yang tak membudayakan literasi akan menjadi pribadi rendah bermental teri. Mereka hidup dalam lingkaran kumuh pemikiran, mudah terprovokasi isu tak jelas, ringan memaki, senang merundung, dan seterusnya. Individu yang tak literat akan mengalami kesulitan-kesulitan dalam pancaroba kehidupan dan menjadi oknum yang acap kali menyebalkan.

Bangsa kita masih jauh dari idealitas literasi yang hidup. Lampu literasi kita sangat redup, memprihatinkan. Bagaimana tidak? Dalam riset Central Connecticut State University tahun 2016 dengan tajuk “Most Littered Nation In the World”, Indonesia dinyatakan menduduki posisi ke-60 dari 61 negara menyangkut minat baca. Posisi nyaris terbelakang yang membuat kita sesak, antara sedih dan malu. Definisi bangsa besar bagi Indonesia, dengan demikian masih sebatas mengacu aspek kuantitas dan hal-hal yang bisa dihitung, belum menyentuh bobot kualitas.

Kembali menyeret penghayatan Taufiq Ismail. Keprihatinan akan budaya literasi yang sekarat di negeri ini menjadi perhatiannya, yang ia tuangkan dalam karya puisi berjudul Kupu-Kupu di Dalam Buku. Dalam puisi tersebut, Taufiq melukiskan harapan besar agar membaca, berliterasi menjadi tradisi populis di semua lapisan masyarakat. Kegundahan itu ia sampaikan melalui bahasa imajinasi konseptual akan betapa pentingnya membaca, dengan sedikit intensi sindiran. Mari kita baca sepenggal dari bait-bait pusinya.

Ketika singgah di sebuah rumah, kulihat ada anak kecil bertanya tentang kupu-kupu pada mamanya, dan mamanya tak bisa menjawab keingintahuan putrinya, kemudian katanya, “tunggu mama baca buku ensiklopedia dulu, yang tahu tentang kupu-kupu,” dan aku bertanya di rumah negeri mana gerangan aku sekarang.

Agaknya inilah yang kita rindukan bersama, di stasiun bis dan ruang tunggu kereta api negeri ini buku dibaca, di tempat penjualan buku laris dibeli, dan ensiklopedia yang terpajang di ruang tamu tidak berselimut debu karena memang dibaca. Dilansir dari laman pena.belajar.kemendikbud.go.id.

Dari membaca, aksi literasi bermula. Tak akan ada capaian pencerahan tanpa baca tulis. Firman pertama Allah kepada Nabi Muhammad bukan suatu perintah abstrak cum rumit. Iqra’ adalah narasi konkret agar manusia membaca, menelaah, memaknai, memahami dan memperhitungkan. Membaca merupakan ruh perubahan yang dari proses itu akan menghasilkan pergeseran yang dikehendaki Tuhan terhadap manusia. Membaca sebagai tuntutan asasi yang ditetapkan wahyu dalam al-Alaq: 1-5, menunjukkan bahwa insan literat adalah manusia yang aksen spiritualnya bertumbuh, sebab berliterasi, membaca adalah wajib agama.

Menulis juga menjadi komponen praktis literasi. Dalam olah tulisan melibatkan proses berpikir, membaca, menata gagasan, serta dialektika mengenai suatu perkara. Kita berlatih membina daya nalar. Majunya tradisi tulis dengan terbitnya karya monumental sedemikian kaya adalah faktor dominan gemilangnya peradaban manusia selama ini. Imperium-imperium besar dunia, mulai dari Romawi, Yunani, India, hingga Islam adalah bukti sah akan signifikansi literasi bagi peradaban yang unggul.

Baca Juga  Hadis Misoginis itu Tidak Ada

Tinggalan peradaban pendahulu itu abadi, meninggalkan jejak manfaat sepanjang zaman. Dalam kapasitas ini, terang bahwa menulis, berliterasi adalah kerja-kerja peradaban. Menulis menjadi cara mempertahankan keberadaan, sekalipun pelakunya telah tertutup tanah. Sejumlah antropolog memandang literasi sebagai dasar pembeda masyarakat primitif dan masyarakat beradab. Sebab itu, paradigma peradaban maju mengacu pada seberapa baik kualitas literasinya.

Literasi adalah suatu gerakan sadar pikir. Berpikir secara logis, faktual, kritis, dan eksploratif. Masyarakat yang melek literasi akan terhindar dari miskomunikasi sosial yang tak perlu. Karena mereka terbiasa menahan diri untuk mencerna telebih dahulu apa-apa yang terjadi sebelum kemudian memberikan respons keluar. Artinya, orang itu mampu mengolah pengetahuan dan informasi untuk kecakapan hidup melalui kerja akal budinya.

Mengenai skema runut berliterasi kita bisa mengetengahkan catatan Prof. Djoko Saryono yang dikutip oleh Sutejo dalam Nalar Kritis Keberagamaan, Menguatkan Ruh dan Hakikat Agama (2021, hlm. 48). Menurutnya, literasi itu berkaitan erat dengan pemahaman, penyadaran, pemaknaan, penyintesaan antara teks dan konteks–problem sosial kehidupan–kesemuanya merupakan tahapan hakikat dari literasi itu sendiri.

Terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan adanya dalam gerakan literasi agar tercapai tujuan menjadi insan hingga masyarakat yang literat. Kemampuan baca tulis tentu menjadi unsur pokok yang tak bisa ditawar. Selanjutnya ialah keteladanan dari para pihak-pihak berpengaruh, terutama pemerintah dan pejabat, yang berlanjut pada pembuatan kebijakan kreatif untuk menyangga gerakan literasi. Dari situ diharapkan akan tercipta kebiasaan literasi yang kokoh. Literasi pada dasarnya adalah proses pembiasaan yang membutuhkan pengorbanan dan kesetiaan untuk memenuhi panggilan suci. Keluarga adalah komunitas awal yang bisa menjadi tonggak kehidupan literasi tiap individu.

Kita bisa menarik pengertian, bahwa literasi adalah gerakan padat kerja, mulai dari gerakan pemikiran, gerakan ilmu, gerakan kebudayaan, juga gerakan spiritual. Mengembangkan diri melalui jalan belajar adalah jihad. Yusuf Qardhawi di dalam kitabnya Fikih Jihad: Sebuah Karya Monumental Terlengkap tentang Jihad menurut al-Quran dan Sunnah, yang dikutip oleh Sutejo dalam Nalar Kritis Keberagamaan, Menguatkan Ruh dan Hakikat Agama (2021, hlm. 56) mengklasifikasikan bahwa di antara jihad yang berharga bagi masyarakat sipil adalah jihad ilmu. Sebuah upaya serius dengan segala daya, penuh kerelaan berkorban demi mewujudkan amal keilmuan.

Literasi adalah aktivitas penting dalam hidup. Dari produksi intelektualitas akan lahir kecakapan membawa diri. Individu yang menjauh dari jalan literasi akan mengalami kesulitan-kesulitan dalam menyikapi kehidupan. Namun sebaliknya, hidup yang penuh skenario anomali bukan persoalan serius bagi insan literat, para pembelajar. Kebingungan pada anomali akan teratasi karena manusia literat sudah terlatih menghadapi simpul-simpul rumit yang butuh penalaran.

Cerdas hidup pada puncaknya ialah capaian perilaku bermoral yang berbasis pengelolaan kesadaran. Semua itu terangkai dari praktik literasi penuh pemaknaan. Aku berliterasi maka aku ada. Dengan kata lain, literasi adalah penyangga eksistensi manusia. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.