Taliban Kembali Pukul Mundur Perempuan Afghanistan

KolomTaliban Kembali Pukul Mundur Perempuan Afghanistan

Perempuan Afghanistan harus kembali menelan pil pahit. Harapan untuk melanjutkan pendidikan di bangku sekolah kandas, menyusul otoritas Taliban membatalkan izin dibukanya sekolah menengah bagi anak perempuan pada Rabu (23/3/2022). Praktis tujuh bulan para siswi ini absen dari kegiatan belajar di sekolah, semenjak Taliban melakukan pembatasan pendidikan untuk anak perempuan di jenjang sekolah menengah. Para siswi yang telah tiba di sekolah dengan penuh harap dan semangat itu pun harus pulang dengan derai air mata sambil menenteng buku kosong di tangan. Sikap Taliban sekali lagi menghina perempuan sebagai makhluk yang berdaya.

Langkah Taliban ini mengundang kecaman masyarakat global. Tak terkecuali Indonesia, Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, mengungkapkan keprihatinan atas keputusan Taliban dan meminta mereka untuk meninjau ulang keputusan itu. Qatar dan Turki tak ketinggalan menyampaikan kritikannya. Banyak pihak menegaskan pada Afghanistan akan pentingnya pemenuhan hak-hak perempuan, salah satunya bidang pendidikan, yang tak lain adalah bagi masa depan Afghanistan sendiri.

Sepekan sebelumnya, Kementerian Pendidikan Afghanistan rezim Taliban menerbitkan izin dibukanya semua sekolah mulai Rabu (23/3/2022), termasuk sekolah bagi siswi tingkat menengah. Namun, pada hari-H, izin bagi sekolah menengah untuk perempuan mendadak dianulir. Dalam rilisnya, pihak Kementerian Pendidikan Afghanistan mengatakan, sekolah menengah bagi perempuan dan sekolah dengan siswi di atas kelas enam tetap tutup sampai konsep yang sesuai hukum Islam dan budaya Afghanistan tersusun.

Taliban masih memerlihatkan keengganan mengakui perempuan sebagai manusia yang setara dengan laki-laki. Mereka masih memakai kacamata eksklusif dan pemahaman sepihak atas tafsir keagamaan terkait perempuan. Taliban masih sama.

Di bawah rezim Taliban jilid I dulu, tahun 1996-2001, kaum wanita Afghanistan hidup dikepung kesengsaraan serta penindasan. Taliban menjalankan roda pemerintahannya secara otoriter dan ultrakonservatif. Tidak hanya dilarang mengakses pendidikan, mereka juga tidak boleh berkiprah dalam dunia kerja. Sekadar untuk keluar rumah saja harus ada mahrom yang mendampingi. Perempuan-perempuan itu hidup hanya dalam zona rumah tangga yang sempit, penuh kekangan dan subordinasi.

Persoalan tak berhenti sampai di situ. Wanita Afghanistan menghadapi segudang masalah lain. Melansir dari Harian Kompas (27/10/2021) A Survey of The Afghan People 2019-The Asia Foundation: Diolah Litbang Kompas, melaporkan setidaknya ada lima masalah utama yang dihadapi perempuan Afghanistan. Pengangguran menempati posisi tertinggi dengan persentase 23,9%. Kemudian KDRT 16,9%, lalu masalah kurang diakuinya hak perempuan ada pada angka 13,5%. Pemaksaan pernikahan dengan jumlah 12,2%, dan persentase 8,7% untuk persoalan kemiskinan. Tersisa 24,8% mencakup beragam masalah lainnya yang melanda para perempuan Afghanistan, termasuk pembatasan akses pendidikan.

Data tersebut mengerucut pada satu premis dasar bahwa hak-hak perempuan Afghanistan selama ini dipenggal. Ini mengapa persoalan pemenuhan hak-hak perempuan menjadi salah satu hal yang dipertaruhkan dengan harga tinggi saat ini. Di mana rezim Taliban harus mau mengubah sikap untuk lebih akomodatif dan menjamin ruang gerak juga hak-hak perempuan jika memang mau mendapatkan dukungan serta pengakuan komunitas global. Tanpa pengakuan dan support itu, Taliban tak bisa berbuat banyak karena minimnya pendanaan yang menjadi basis utama pembangunan negerinya yang kini porak poranda.

Nampaknya belum ada yang berubah dari Taliban. Sejak Taliban mengumumkan susunan kabinet mereka saja, optimisme akan perubahan Taliban sudah terasa redup. Pasalnya, orang-orang yang mengisi pos penting pemerintahan adalah faksi garis keras yang mengatongi catatan hitam. Ini tentu menjadi kekhawatiran yang layak dipersoalkan, sebab konservatisme Taliban lah yang menengarai kebijakan-kebijakannya yang tak manusiawi dan diskriminatif. Di saat yang sama Taliban juga sudah melanggar janji untuk melibatkan kaum hawa dalam komposisi pemerintahan.

Baca Juga  Nikah Sirri, Mudharat!

Elite Taliban dari faksi garis keras antara lain adalah Sirajuddin Haqqani yang diangkat sebagai Menteri Dalam Negeri. Ia adalah putra pendiri jaringan teroris Haqqani dan kini dikenal sebagai pimpinan jaringan tersebut. Sirajuddin bahkan memuji dan mengapresiasi para pengebom bunuh diri yang pernah menargetkan tentara pemerintahan lama Afghanistan dan sekutunya. Ia juga menghadiahi keluarga mereka uang dan sebidang tanah atas pengorbanan para ‘martir’ tersebut.

Taliban tak akan kunjung mendapat kepercayaan publik dunia jika mereka terus mengambil langkah yang tak klop dengan harapan komunitas internasional. Padahal mereka sedang membutuhkan pengakuan dan bantuan internasional untuk membangun ulang negaranya.  Sejak mengakuisisi pemerintahan Afghanistan pada Agustus 2021 lalu, Taliban berjanji akan membentuk kehidupan yang inklusif dan moderat, baik dalam pemerintahan maupun masyarakat. Mereka juga berkomitmen mengakomodasi hak-hak perempuan, anak-anak, serta kaum minoritas.

Kepemimpinan Taliban jilid II ini juga tengah berkejaran dengan waktu untuk segera menyelamatkan rakyatnya dari krisis multidimensional akibat perang dan sanksi dunia internasional. Merujuk pada Harian Kompas, Rabu (26/01/2022), berbagai kelompok dan badan bantuan internasional memperkirakan, sekitar 23 juta jiwa atau lebih dari separuh penduduk Afghanistan mengalami kelaparan parah. Bahkan 9 juta di antaranya terancam mati akibat kelaparan.

Wajah krisis rakyat Afghanistan menjalar ke berbagai lini, seperti kesehatan, lapangan kerja, ekonomi, dan sebagainya. Perang bertahun-tahun, pandemi Covid-19, serta sanksi internasional menambah beban krisis negeri yang berjuluk “Kuburan para Penguasa” tersebut. Catatan yang kian mengkhawatirkan adalah kemelaratan di Afghanistan mengarah pada kemiskinan skala universal.

Dulu, setelah kekuasaan Taliban digulingkan pada 2001, Afghanistan mulai menerima angin segar keterbukaan. Kondisi pendidikan bagi anak perempuan pun membaik. Tingkat literasi perempuan meningkat dua kali lipat dan jumlah sekolah naik tiga kali lipat. Selama dua puluh tahun terakhir, perempuan Afghanistan dapat meraih banyak hal berkat suasana inklusif yang tidak meminggirkan wanita.

Sebab itu, langkah mencabut izin sekolah bagi remaja perempuan merupakan pukulan mundur yang menyakitkan dan merendahkan perempuan Afghan. Menggiring kembali definisi jahiliah, bahwa kaum hawa hanya layak menjadi pekerja domestik rumah tangga semata. Taliban mestinya sadar untuk berpikir panjang, bahwa perempuan adalah sumber daya yang akan menjadi penopang keberlangsungan negerinya. Terlebih ratusan ribu warganya termasuk tenaga profesional banyak yang kabur ke luar negeri karena ketakutan ketika Taliban kembali menduduki kursi pemerintahan.

Rezim Taliban benar-benar harus menurunkan ego dan mengutamakan kemaslahatan umum sebagai kerangka pengambilan tiap kebijakan. Sebagai kartu jaminan nyata untuk menggalang dukungan publik internasional. Apabila tak mau berubah dan bergeser dari status quo, Taliban tak ubahnya sedang mempesulit diri dan masyarakat Afghanistan.

Dengan mengecualikan perempuan, Taliban telah mengirim sinyal yang berseberangan dengan tujuan yang mereka janjikan untuk membangun kehidupan yang terbuka, sejahtera, dan kuat. Taliban selalu membawa klaim hendak menegakkan hukum syariat yang suci. Alih-alih menjalankan syariat, melarang perempuan mengembangkan intelektualisme adalah tindak penyiksaan. Yang sama sekali tak islami dan tidak manusiawi. Wallahu a’lam.[]

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.