Anak Tiri Bernama Palestina

KolomAnak Tiri Bernama Palestina

Penderitaan hampir tiga per empat abad yang dialami rakyat Palestina akibat kolonialisme Israel seolah tak kasatmata. Beda sikap masyarakat dunia terlalu kentara dalam merespons konflik Rusia-Ukraina dengan agresi Israel terhadap Palestina. Hanya dalam tempo singkat setelah serangan militer Rusia mendarat di Ukraina, negara-negara di dunia langsung tanggap memojokkan Rusia dengan berbagai tekanan sanksi. Yang kini menempatkannya sebagai negara dengan predikat sanksi terbanyak, dilansir dari Harian Kompas, Senin (21/3/2022). Akumulasi sanksi yang ditanggung Rusia bahkan ditaksir menyasar 5.532 target. Namun dalam kasus Palestina, kejahatan Israel seperti bukan apa-apa.

Perbandingan ini bukan dimaksudkan untuk meremehkan derita rakyat Ukraina ataupun mendukung invasi ke negara tersebut. Bagaimanapun, semua korban perang adalah pemilik luka. Yang layak dipersoalkan adalah anatomi sikap negara-negara di dunia yang memasang standar ganda dalam skema konflik global saat ini. Berlagu paling humanis saat Ukraina diserang, lalu beringsut menjadi apatis terhadap derita Palestina. Kesengsaraan warga Palestina seolah tak masuk standar penderitaan umat manusia.

Perbedaan sikap negara dalam konteks tersebut salah satunya disorot oleh Richard Boyd Barret, seorang anggota Parlemen Irlandia dalam forum debat parlemen bersama Kemenlu Irlandia. Barret mempertanyakan sikap pemerintahnya serta negara-negara yang berkongsi mengecam Rusia, tapi tidak bersikap sama keras terhadap Israel yang menindas bangsa Palestina selama puluhan tahun. Bukan untuk membela Putin yang menurutnya juga bertindak salah, tapi Barret begitu muak dengan kemunafikan yang dipertontonkan tanpa malu. Kata munafik memang paling tepat untuk mendefinisikan standar ganda pihak-pihak itu.

Barret menyayangkan pula pemerintahnya yang terlalu hati-hati dalam menggunakan bahasa untuk mendefinisikan kelakuan Israel. Padahal, Amnesty Internasional telah menyatakan Israel sebagai pelaku kejahatan yang melanggengkan sistem apartheid kepada bangsa Palestina. Dalam penggalan pernyataannya, Barret menegaskan, “Palestina diperlakukan sebagai ras yang lebih rendah. Mereka dihalangi untuk mengakses makanan dan air. Namun, tidak ada sanksi terhadap Israel atas perilaku apartheid ini. Benar-benar munafik.”

Terlalu banyak perilaku Israel yang pantas warga dunia jadikan alasan untuk mengecam dan menghujani rezim tersebut dengan deretan sanksi. Human Right Watch (HRW), organisasi hak asasi manusia yang berbasis di New York, dalam laporannya juga menyatakan bahwa Israel telah dalam ambang batas layak dikatakan sebagai rezim yang menjalankan praktik apartheid terhadap bangsa Palestina.

Zionis Israel secara terus-menerus melancarkan kekerasan, serangan, pembunuhan, pemindahan paksa, serta penghancuran properti milik warga Palestina. Rakyat Palestina hidup tanpa hak-hak yang utuh sebagai warga negara juga manusia. Semua itu merupakan komponen dari sistem rasial apartheid yang melanggar hukum internasional.

Istilah apartheid merujuk pada sistem segregasi rasial yang diterapkan melalui undang-undang di Afrika Selatan pada 1948. Ini adalah sistem diskriminatif terhadap etnis yang memberlakukan kelas sosial guna melembagakan supremasi kulit putih. Di bawah kendali rezim apartheid Afrika Selatan, mereka yang berkulit hitam tidak memiliki hak-hak politik dan warga negara secara penuh. Mencakup hampir seluruh aspek kehidupan, di antaranya hak politik, pendidikan, pekerjaan, perumahan, bahkan perjalanan.

Pada 1966, PBB melabeli apartheid sebagai kejahatan kemanusiaan. Lalu di tahun 1973 resmi dinyatakan sebagai tindakan kriminal melalui Konvensi Internasional tentang Penindasan dan Hukuman Kejahatan Apartheid.

Bangsa Palestina menyaksikan segala yang tersisa dari negaranya berangsur raib dari hadapan mata mereka seiring Israel menjalankan proyek pemukiman ilegal besar-besaran serta perampokan sumber daya mereka. Sembari terus melakukan diskriminasi terstruktur dan masif untuk melanggengkan segala bentuk dominasi dan penindasan. Tak menghiraukan Dewan Keamanan PBB juga Mahkamah Internasional yang berulang kali menyerukan ketidaksahan ekspansi pemukiman tersebut. Amnesty Internasional mengukur rezim Zionis Israel sebagai wujud dari kejahatan apartheid.

Sebagai gambaran aksi diskriminatif teranyar, tempo hari, Kamis (10/3/2022), parlemen Israel mengesahkan undang-undang yang menyudutkan bangsa Palestina. UU tersebut melarang kewarganegaraan atau bahkan tempat tinggal bagi pasangan Palestina dari warga negara Israel apabila pasangan tersebut berasal dari Gaza atau Tepi Barat yang diduduki. Para kritikus melihatnya sebagai tindakan rasis yang ditujukan untuk memertahankan mayoritas Yahudi di negara itu.

Baca Juga  Sayyidah Fatimah az-Zahra, Perempuan Agung

Kejahatan Israel terlalu nyata untuk dianggap samar, hingga membuat warga internasional tak berinisiatif secara kolektif mengutuk kejahatannya serta menghujani Israel dengan beragam tekanan, seperti halnya mereka merespons konflik Rusia-Ukraina. Perbedaan sikap yang kontras ini tak bisa dilepaskan dari perilaku negara adidaya, dalam hal ini Amerika. Menurut Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) dalam laman kompas.com, manakala AS menghakimi invasi Rusia itu sebagai sesuatu yang salah, banyak negara cenderung akan mengambil sikap serupa.

Rusia adalah rival AS dalam perebutan pengaruh global sejak periode Perang Dingin. Jadi sudah jelas invasi Rusia pada negara sekutu AS akan langsung dikutuk habis-habisan olehnya. Lain cerita dengan agresi Israel di Palestina, yang dilihat dari sudut manapun jauh melampaui serangan Rusia di Ukraina. Washington menganggap serangan Israel sebagai tindakan pembelaan diri dengan dalih legitimasi Pasal 51 Piagam PBB tentang Self Defense. Padahal, Moskwa juga mengklaim invasinya ke Ukraina atas dasar pasal tersebut. Yakni upaya pembelaan dan penjagaan atas keamanan negaranya dari ancaman koalisi AS, Barat, juga NATO yang mulai merangsek ke halaman rumah Rusia.

AS adalah pendukung dan sponsor utama yang mem-back up Israel, baik secara militer, ekonomi, maupun diplomatik. Maka dari itu, sebejat apapun Zionis Israel, sang induk semang akan selalu mencari pembenaran atas tindakan Israel tanpa malu. Walhasil, AS dengan kedigdayaannya, membuat negara-negara pada umumnya tak mengambil sikap konfrontatif terhadap pilihan yang dipertahankan AS, selain juga karena tiap negara tentu punya kepentingan masing-masing di area geopolitik. Berani tampil terbuka menentang AS, kurang lebih akan bernasib seperti Iran yang diembargo sekian lama oleh AS.

Serangkaian upaya mencari solusi damai bagi dua belah pihak sebenarnya sudah beberapa kali diusahakan, tapi perkembangannya stagnan sampai sekarang. Negosiasi-negosiasi yang pernah dilakukan selalu berakhir tanpa titik temu yang mendamaikan.

Dalam karyanya Who Rules the World, Noam Chomsky begitu detail menyigi nasib Palestina di tengah pola perilaku aktor-aktor krusial yang terkait dalam isu Israel-Palestina. Dalam konteks perundingan Oslo di mana Norwegia berperan sebagai mediator misalnya. Perundingan itu diyakini hampir secara dogmatis oleh para pengamat dan intelektual Barat sebagai jalan menuju perdamaian antara Israel-Palestina. Padahal perundingan tersebut, dalam bahasa Chomsky berisi “pengabaian yang disengaja” atas hak-hak, otoritas, dan ruang gerak bagi pihak Palestina.

Bisa dibilang, Oslo adalah proses dialog perdamaian manipulatif dan sepihak. Sebagaimana Chomsky mengutip simpulan Waage, seorang peneliti proses perundingan Oslo, yang menyatakan bahwa proses Oslo berjalan berdasarkan premis Israel, dengan Norwegia bertindak sebagai pesuruh Israel. Di mana hasilnya tetap berkutat pada pemenggalan hak-hak rakyat Palestina.

Dari sini kita bisa melihat besarnya posisi tawar AS dalam kancah internasional sehingga bisa memengaruhi suara arus utama masyarakat dunia. Terlepas memang tiap negara punya kepentingan masing-masing terkait isu geopolitik. Sangat aneh–untuk tak menyebut hipokrit–sebenarnya jika masih abai pada nasib Palestina setelah tahu level kekejian Israel. Sebagai pihak yang berteriak lantang pada perang di Ukraina, semestinya negara-negara tersebut juga memiliki kalkulasi moral-kemanusiaan untuk menyokong keadilan bagi Palestina. Dan lebih jauh lagi demi solusi damai bagi semua pihak. Palestina layak diperlakukan sama adil, bukan dianaktirikan. Satuan rasa sakit kita dan mereka tidak ada beda. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.